
Apa hubungan antara iman dengan usaha untuk menghilangkan ketidakadilan? Hubungannya tentu saja adalah cinta kasih. Cinta kasih adalah inti hukum Yesus. Mencintai berarti: mendukung, membenarkan, memajukan, menghilangkan rintangan perkembangan, mengharapkan dan sedapat-dapatnya mengusahakan penyelamatan orang yang dicintai. Cinta terutama berarti: berbuat segala-galanya agar orang yang dicintai tidak perlu menderita. Membebaskan dari segala penderitaan berarti: membebaskan dari dosa, dari penyakit, dari segala kehinaan dan penindasan. Pendek kata, dari segala ketidakadilan.
Oleh karena itu Injil merupakan berita pembebasan dari segala yang bertentangaaan dengan martabat manusia sebagai ciptaan dan anak Allah tercinta. Maka, orang yang beriman pada Yesus tidak boleh acuh tak acuh terhadap adanya ketidakadilan. Adanya ketidakadilan berarti ada di antara saudara-saudara kita yang hidupnya menderita. Padahal Yesus mengutus RohNya ke dalam diri kita agar kita dapat ikut membebaskan manusia dari segala penderitaan. Jadi, iman dengan sendirinya mengimplikasikan perjuangan untuk meniadakan ketidakadilan dan menegakkan keadilan dalam semua dimensi kehidupan manusia.
Kita harus berbelaskasihan dan adil bukan hanya dalam hubungan langsung dengan sesama. Iman yang sama juga mengutus kita agar berusaha sekuat tenaga untuk membongkar struktur-struktur ketidakadilan yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat; ketidakadilan dalam bidang politik, dalam proses-proses ekonomis serta dalam berbagai kepincangan sistem nilai budaya. Misalnya: agar kaum buruh berani untuk menyuarakan penderitaan, harapan dan tuntutan mereka; agar kaum petani mendapat bagian yang adil dari kekayaan yang mereka usahakan; agar semua golongan masyarakat dapat menyuarakan aspirasi dan harapan mereka.
Pemahaman Cinta Kasih Dan Keadilan
Cinta kasih Allah terhadap orang yang mengalami ketidakadilan merupakan salah satu ciri utama dalam pewartaan Yesus. Allah memang mencintai semua orang, terlebih terhadap mereka yang “kecil, miskin dan lemah”. Cinta kasih tidak lepas dari kenyataan bahwa orang kecil dan miskin itu senantiasa menjadi korban para penguasa dan orang kaya (Luk 1:51-54). Mereka dibebani dan ditekan oleh aneka ragam perintah dan aturan yang tidak terpikul (Luk 11:46). Terdorong oleh Roh yang sama itu, Yesus pun merasa secara khusus diutus kepada orang miskin, tahanan dan sakit itu (Luk 4:16-21; 7: 18-23). Perutusan itu terwujud secara nyata dalam seluruh hidupNya, baik dalam pewartaan maupun dalam karyaNya. Kotbah di bukit (Luk 6: 20-26), perupamaan tentang Lazarus (Luk 16: 19-31) dan pembicaraan tentang penghakiman terakhir (Mat 25:31-46) merupakan contoh yang jelas bahwa Yesus memihak orang miskin.
Dengan demikian keterlibatan karya cinta kasih diaktualisasikan dalam penegakkan keadilan. Akan tetapi patut diperhatikan bahwa memperjuangkan keadilan maksudnya bukanlah dalam suatu arti umum atau biblis sebagai, keselamatan dari Allah yang adil atau sebagai upaya membebaskan manusia dari egoismenya. Memperjuangkan keadilan yang dimaksudkan ialah suatu yang nyata dan pertama-tama duniawi, yaitu menyatakan perang terhadap ketidakadilan, bukan hanya yang individual tetapi yang melembaga: yang menjelma dalam struktur-struktur ekonomi, sosial dan politis.
Oleh tuntutan iman tersebut, sikap prihatin tidaklah cukup sebagai tekad untuk selalu bersikap adil. Kiranya jelas bahwa tanpa perhatian terhadap orang lain, setiap keterlibatan demi keadilan akan bersifat teoretis dan ideologis belaka. Perasaan prihatin terhadap penderitaan orang lain merupakan dasar kokoh bagi suatu ketekadan yang tidak mau membiarkan orang lain menderita. Tetapi untuk dapat mengetahui apakah dengan sikap adil saja sudah terjamin? Baiklah memahai terlebih dulu apa fungsi paham keadilan bagi manusia.
Sebagai mahluk sosial dan jasmani, manusia berhadapan dengan dua masalah dasar: bagaimana membagi benda-benda alamiah yang dibutuhkan oleh semua, tetapi tidak dapat dinikmati oleh semua (mobil yang dipakai A, tidak dapat dipakai oleh B), dan bagaimana membagi pekerjaan yang menghasilkan apa yang kita butuhkan (siapa yang mengajar, siapa yang harus memperbaiki sarana dan prasana, siapa yang menjaga keamanan, siapa yang mengatur pekerjaan dan sebagainya?).
Dua masalah ini merupakan konflik antara kepentingan kita masing-masing: semua ingin menguasai sebanyak mungkin dan ingin bebas dari pekerjaan berat. Konflik tersebut dapat dipecahkan dengan dua cara: melalui perang atau melalui kesepakatan bersama. Perang berarti bahwa kepentingan yang kuat akan menang, dan yang lemah akan kalah. Kesepakatan berarti bahwa semua menyetujui satu cara pemecahan, dan hal itu hanya mungkin terjadi apabila pemecahan konflik terjadi secara adil. Maka keadilan dapat kita pahami sebagai cara pemecahan konflik yang tidak ditentukan menurut tolok ukur kuat-lemah, tetapi menurut kesamaan hak semua orang.
Keadilan dengan demikian bertentangan dengan kepentingan pihak yang merasa diri kuat. Keadilan berarti bahwa, ia tidak mendapat lebih daripada yang lemah. Maka yang kuat cenderung untuk mempertahankan kekuasaannya, karena dengan demikian ia tidak perlu menghiraukan keadilan. Ia dapat menentukan sendiri apa yang dikehendakinya. Dan sebaliknya, ketidakadilan erat berhubungan dengan ketergantungan. Orang atau kelompok akan menderita ketidakadilan, artinya tidak memperoleh apa yang menjadi haknya, karena ia tergantung dari orang atau kelompok lain. Ketergantungan dari kekuasaan pihak lain berarti ia tidak dapat memperjuangkan keadilan.
Kesimpulannya, kalau kita sungguh-sungguh mau memperjuangkan keadilan berarti harus sampai pada memperjuangkan kebebasan, kemandirian dan daya juang bagi mereka yang menderita ketidakadilan. Selama ketergantungan masih berlangsung, setiap kemajuan ke arah keadilan sebenarnya hanya merupakan anugerah atau konsesi dari pihak yang berkuasa, yang setiap saat dapat ditarik kembali, sehingga justru tidak menjamin keadilan.
Ketidakadilan
Kitab Suci menunjukkan bahwa orang miskin mengalami ketidakadilan. Orang miskin dan kemiskinan dipandang sebagai sesuatu yang negatif: orang yang tertekan, terbungkuk (ani), orang yang bergantung kepada orang lain (dal), orang yang berkebutuhan sehingga harus minta-minta (ebyon, ptocos). Dengan pilihan kata tersebut orang miskin berada dalam keadaan yang ditolak.
Dalam Kitab Suci, keadaan itu tidak dipandang sebagai nasib buruk yang ditentukan Tuhan. Sebaliknya manusialah yang bertanggung jawab atas adanya kemiskinan; tidak terkecuali orang miskin sendiri yang ada kalanya malas atau bodoh (Ams 6:10-11). Tetapi penyebab kemiskinan yang dimaksud di sini ialah perilaku yang mengakibatkan ketidakadilan terhadap sesama manusia, ialah: orang yang mendesak orang miskin, merampas tanahnya, kawanannya dan kepunyaannya yang lain, bahkan merampas anak-anak orang lemah dengan sistem gadai yang licik (Ayb 24:1-9). Surat Yakobus dalam Perjanjian baru menuduh kalangan kaya telah menindas orang miskin (Yak 2:6); menahan upah buruh dan membunuh orang lemah (Yak 5:1-6).
Para nabi tidak henti-hentinya mengecam kaum berkuasa sebab mereka menyalahgunakan kelemahan rakyat misnin sehingga mereka semakin miskin. Cara-cara yang dipakai oleh kalangan kuat itu misalnya: tindakan kekerasan (Am 3:10) dan pemerasan (Am 4:1), kecurangan dalam perdagangan (Am 8:5), korupsi dalam pengadilan (Am 5: 7, 12) dan menjual orang sebagai budak (Am 2:6, 8:6).
Dalam Taurat Musa tersimpan banyak ketetapan yang bermaksud menghalangi penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang saja; mengatasi kemelaratan dan penindasan yang biasanya merupakan sisi belakang penumpukan kekayaan itu. Orang miskin harus diberi kredit tanpa bunga (Im 25:35-37). Pada masa panen, sebagian gandum atau buah-buahan harus ditinggalkan di ladang dan kebun sebagai nafkah untuk orang miskin dan orang asing yang tidak mempunyai tanah (Im 19:9-10; Ul 24:19-21).
Setiap tahun ketiga, persepuluhan hasil bumi diperuntukkan bukan bagi Bait Allah, tetapi bagi orang miskin (Ul 14: 28-29). Istirahat Sabat tidak hanya dimaksudkan untuk tuan dan nyonya, tetapi perlu dinikmati juga oleh pelayan dan buruh (Ul 5:14). Setiap tahun ketujuh ladang dan kebun harus dibiarkan saja, supaya orang miskin dapat makan dari padanya (Kel 23:10-11); budak Ibrani harus dibebaskan dengan cuma-cuma (Kel 21:2); dan hutan harus dihapus (Ul 15:1). Dalam tahun Sabat dan Yobel semua anggota umat dibebaskan kembali; hubungan di antara mereka dikembalikan kepada keadaannya yang asli, keadaan yang adil dan benar. Harus diakui bahwa umat Israel ternyata tidak berhasil mewujudkan ideal itu. Akan tetapi perjuangan menegakkan keadilan seharusnya tidak boleh berhenti.
Cinta Kasih Terkait Keadilan
Motif terdalam dari perjuangan menegakkan keadilan bagi orang miskin itu tidak lain ialah bahwa kehadiran Tuhan ditemukan justru dalam saudara yang kecil, miskin dan lemah (bdk. Mat 25:40). Lupa terhadap orang miskin yang mengalami ketidakadilan berarti lupa akan Tuhan sendiri. Menyalahgunakan orang miskin berarti melawan Tuhan sendiri. Membiarkan perbedaan antara orang kaya dan miskin berarti menggagalkan karya keselamatan Tuhan sendiri dan mengingkari kehadiranNya. Justru dengan mengasihi orang miskin seseorang mengalami pertobatan, dekat dengan Tuhan, ingat akan Tuhan, menaati perintah Tuhan dan turut serta dalam karya keselamatanNya membawa kabar gembira pada sesama.
Paus Yohanes Paulus II lewat ensiklik Centesimus Annus, dalam rangka mengenang 100 tahun keluarnya ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII, mengamanatkan:
“Cinta kasih terhadap sesama, dan terutama terhadap kaum miskin, yang bagi Gereja menampilkan Kristus, diwujudkan secara nyata dalam usaha memajukan keadilan. Keadilan takkan pernah tercapai sepenuhnya selama orang miskin, yang meminta bantuan untuk mempertahankan hidupnya, masih dianggap menganggu atau suatu beban, dan bukan sebagai kesempatan beramal baik, dan peluang untuk memperkaya kepribadian. Hanya kesadaran resiko dan mulai mengubah sikap, seperti diperlukan dalam usaha yang serius memberikan hal-hal untuk membantu sesama. Sebab soalnya bukan hanya memberikan hal-hal yang sudah dibutuhkan lagi, melainkan membantu sepenuhnya bangsa-bangsa yang tersisihkan dan telantar, yang terhalang memasuki gelangang pengembangan ekonomi. Ini baru akan terlaksana, bila didayagunakan kelebihan buah hasil bumi yang melimpah, dan terutama bila ada perubahan-perubahan dalam corak cara hidup, dalam pola pola produksi dan konsumsi, begitu pula dalam sistem maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarang ini menguasai masyarakat.
Soalnya bukan pula meniadakan upaya-upaya organisasi kemasyarakatan, yang terbukti masih berfaedah, melainkan mengarahkannya menurut pengertian yang memadai tentang kesejahteraan umum, dan mengindahkan segenap keluarga manusia. Sebab sekarang ini terjadi apa yang disebut globalisasi tata perekonomian yang memang tidak usah ditolak karena dapat membuka peluang-peluang yang luar biasa, untuk secara intensif meningkatkan kesejahteraan.
Akan tetapi semakin terasa betapa perlulah internasionalisasi perekonomian itu diiringi dangan lembaga-lembaga internasional yang efektif untuk mengendalikan serta mengarahkan tata perekonomian bangsa-bangsa kepada kesejahteraan umum, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh negara secara individual, kendati yang paling berkuasa di seluruh dunia sekalipun. Untuk mencapai sasaran itu, perlulah koordinasi yang semakin mantap antara Negara-Negara besar, begitu pula perlindungan kepentingan-kepentingan maupun hak wewenang seluruh bangsa manusia secara serasi pada badan-badan internasional.
Selain itu dalam mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi keputusan-keputusannya, badan-badan itu perlulah mengindahkan secukupnya bangsa-bangsa serta Negara-Negara, yang kurang berperanan dalam pasar internasional, melainkan justru tertindih oleh beban kebutuhan-kebutuhan yang amat berat dan mendesak, sehingga memerlukan bantuan-bantuan yang lebih besar untuk mengembangkan diri. Sudah jelaslah, bahwa di bidang ini masih banyak sekali yang perlu diusahakan.” (CA. 58).
Jelaslah bahwa keprihatinan Paus Yohanes Paulus II menandakan bahwa yang menjadi sasaran perang melawan ketidakadilan itu bukanlah dosa pada umumnya, tetapi suatu keadaan yang ditentukan oleh faktor-faktor ekonomis, sosial dan ideologis yang dinilai sebagai tidak pantas dan tidak menghormati martabat manusia. Yaitu suatu situasi dunia yang semakin interdependen, namun terpecah secara tragis oleh ketidakadilan. Terhadap situasi itu tidaklah mungkin untuk menghadirkan Yesus kepada manusia atau untuk mewartakan kabar gembira secara efektif, selain keputusan untuk melibatkan diri pada penegakkan keadilan.
Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan ensiklik Centesimus Annus tersebut, jelaslah ketidakadilan yang terjadi sudah bukan merupakan kehendak jahat individu-individu tertentu, tetapi sudah tertanam dalam struktur proses-proses ekonomis, politis dan sosial. Maka menghapus ketidakadilan menuntut perubahan dari struktur-struktur yang tidak adil itu. Penegakkan keadilan menuntut perjuangan untuk membongkar struktur-struktur kekuasaan. Kesulitannya, struktur-struktur tersebut justru menjamin kepentingan vital para penguasa, sehingga penegakkan keadilan mengharuskan konfrontasi dengan para penguasa. Perjuangan menegakkan keadilan dan karya cinta kasih ternyata tidak mudah dan merupakan pilihan yang mengandung resiko.
Akan tetapi patut diingat, jika kita hendak menegakkan cinta kasih dan keadilan, bukan berarti hendak menganut suatu sistem atau cara untuk main siasat, tipu daya untuk mencari menangnya sendiri, namun lebih untuk ikut solider dan berbelarasa terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan. Penegakkan keadilan bukan dalam kebencian dan usaha menggulingkan suatu sistem, tetapi untuk melawan kejahatan individual dan struktural dengan cinta kasih, sebagai puncak kriteria moral Kristiani.
Kriteria moral Kristiani yang berpuncak pada cinta kasih bukanlah sikap yang beriklim kekerasan, tetapi lebih tepatnya perlawanan tanpa kekerasan. Penegakkan keadilan bukan untuk menyulut pertikaian antara orang-orang kaya dengan orang-orang kecil, miskin dan lemah. Karena perjuangan tersebut bukan untuk menjilat kaum kaya dan sekaligus mempermalukan mereka di hadapan orang miskin. Karena perjuangan Kristiani ialah perjuangan cinta kasih, bukan perjuangan kelas. Karena kabar gembira diwartakan untuk semua orang, tanpa memandang siapa dia.