
Sejak tanggal 1 Maret ini, umat Katolik memasuki masa persiapan paska atau yang disebut masa prapaska. Sudah menjadi tradisi, bahwa masa pra paska ini menjadi momen pertobatan bersama seluruh Gereja. Momen pertobatan itu di awali dengan perayaan Rabu Abu (Ash Wednesday), di mana seluruh umat yang hadir dalam misa akan menerima tanda abu di dahinya masing-masing. Tanda abu sejalan dengan momen pertobatan itu, karena mengandung makna: bartobatlah, ingatlah manusia berasal dari debu dan kelak juga akan menjadi debu. Maka, pertobatan menemukan bentuknya dengan sebuah ajakan untuk sadar betapa manusia harus tunduk kepada Tuhan yang disimbolkan dengan lambang abu di dahi tersebut. Dan pada hari itu akan diperdengarkan sabda Tuhan agar bertobat dan percaya kepada Injil.
Momem pertobatan bersama seluruh Gereja itu ditandai pula dengan beberapa bentuk kegiatan iman. Ialah kegiatan iman berupa meningkatkan kegiatan doa, kegiatan puasa dan pantang serta kegiatan amal dalam rupa aksi puasa pembangunan. Itulah sebabnya masa persiapan paska itu sering disebut juga dengan masa puasa bagi umat Katolik. Sebagaimana umat Islam di bulan suci Ramadhan meningkatkan kegiatan doa, puasa dan amal dalam rupa memperbanyak kegiatan rohani dengan tarawih, puasa dan zakat, demikian juga umat Katolik memaknai masa persiapan itu.
Tahun ini, rupa kegiatan rohani yang disebut aksi puasa pembangunan 2006 difokuskan dengan sebuah tema bersama, ialah: Budaya Bebas Korupsi. Aksi puasa pembangunan 2006 akan dimulai sejak 1 Maret 2006 selama 40 hari hingga memuncak di Hari Raya Paskah. Demikianlah, dalam pertobatan bersama itu kegiatan iman, puasa serta amal, dimaksudkan sebagai tanda keprihatinan terhadap budaya korupsi yang marak terjadi di masyarakat sekaligus hendak membangun sikap solider terhadap korban korupsi.
Budaya Korupsi
Di dalam masa pertobatan ini, Gereja akan mengajak umatnya bertobat dengan membebaskan diri dari budaya korupsi. Korupsi berasal dari kata berbahasa Latin corruptio, corrumpere yang artinya: busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik. Kata berbahasa Yunani corruptio berarti perbuatan yang buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma agama, material, mental dan hukum. Lubis dan Scoot (1990; 19) mengartikan korupsi secara terbatas sebagai tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain yang dilakukan oleh pejabat publik yang langsung melanggar batas-batas hukum.
Lebih jelasnya, Mohammad Hatta dalam bukunya Sosiolgi Korupsi menunjukkan bahwa perilaku korupsi cenderung menhalami perluasan dan tidak melulu terkait dengan uang. Hal-hal yang berkaitan dengan korupsi ialah: mental busuk, curang, tidak bermoral, mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, korupsi dipahami sebagai budaya bukan dalam arti sistem nilai, tetapi budaya dalam arti cara piker, cara bertindak, cara perilaku, cara berelasi dan cara bekerja. Karena sudah menjadi budaya, penegakkan hukum tidak mampu menjadi alat ampuh pemberantasan korupsi. Kekuatan imperatif pun tidak tuntas menuntaskan korupsi.
Dengan demikian membebaskan diri dari budaya korupsi dimaksudkan untuk menolak, melepaskan diri dari segala dosa, keserakahan, keberlebihan yang tak halal, karena tindakan korupsi. Maksud berikutnya ialah ajakan untuk mendesain suatu perubahan dengan menciptakan budaya tandingan. Budaya korupsi yang berciri tidak adil, mau enaknya, tak kenal rasa malu, serakah dan tidak takut akan Tuhan, hendak ditandingkan dengan budaya bebas korupsi yang berciri adil, mau bersusah payah dan bekerja keras, tahu batas, secukupnya, solider dan takut pada Tuhan.
Dari sudut budaya sedemikian ini dapat dipahami bahwa korupsi adalah masalah yang tersembunyi (so hidden). Korupsi adalah masalah yang kasat mata, sulit dilihat tetapi terjadi, merugikan, menciptakan ketidakadilan, merusak ekonomi, merusak persaudaraan, merusak moral dan iman. Dengan demikian tidak ada pembenaran terhadap korupsi.
Keprihatinan dan Solidaritas
Ada banyak alasan untuk prihatin dengan maraknya budaya korupsi. Karena korupsi, langsung atau tidak langsung perekonomian dan keuangan negara bisa kacau dan terjadi ketidakadilan. Ada yang mendapatkan keuntungan dengan cara tidak halal, dengan usaha yang sangat licik, sementara itu ada yang tidak mendapatkan dan harus bekerja keras demi mendapatkan setitik keuntungan. Karena ada yang memunggut uang sogok, maka ada yang diuntungkan, sekaligus ada yang tersingkir. Tanpa uang sogok, maka orang yang patut dan layak dengan sendirinya akan gagal dan kalah. Karena ada penyelewengan dana, maka proyek-proyek fisik kualitasnya sungguh amat rendah, si miskin tidak utuh menerima dana kompensasi, terjadi kecemburuan, dan penderitaan manusia. Dengan demikian tidak ada pembenaran untuk tindakan korupsi yang jelas-jelas melanggar norma hukum dan mengkhianati kebersamaan hidup. Dan Indonesia pun mendapat perhatian dunia karena sampai tahun 2005 lalu menempati posisi ke-5 untuk tingginya angka korupsi.
Demikian pula praktek korupsi di dalam Gereja. Dalam aneka kepanitiaan, misalnya dalam penentuan anggaran pembangunan, penggadaan aneka keperluan dalam panitia Natal atau Paskah, sewa kursi, sewa terob, biaya keamanan, biaya konsumsi semua bisa digelembungkan. Juga korupsi yang terjadi dalam pencarian dana, di mana panitia yang berbekal stempel Gereja, aneka lembaga pelayanan Katolik seperti rumah sakit, sekolah, yayasan sosial dan tanda tangan pastor atau suster bisa mendapatkan dana, namun bisa jadi lemah dalam penyaluran dan transparansinya. Belum lagi penyelewengan dana yang mengatasnamakan nama lembaga Katolik atau nama perorangan pribadi pastor, suster bahkan frater atau komunitas hidup bakti tertentu. Tak terkecuali transparansi dan akutabilitas publik yang perlu dilakukan oleh kaum klerus dan lembaga-lembaga yang dipimpinnya.
Semuanya itu menjadi penting dalam rangka menciptakan kepercayaan dan kemurnian dalam pelayanan. Karena, selama ini nama Gereja Katolik sungguh sangat dipercaya oleh para donatur dan dermawan. Atas nama kepercayaan dan pelayanan itulah maka penyaluran dana dan donasi hendaknya sungguh digunakan sesuai sasaran yang dimaksud, tentu dilengkapi dengan transparansi. Jika tidak, maka nama Gereja Katolik akan terpuruk.
Memang sudah ada kontrol sosial bahkan piranti hukum yang jelas-jelas dirumuskan untuk menjerat dan meminimalkan tindakan korupsi. Bahkan ada banyak lembaga yang bertugas untuk memerangi korupsi, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Transparency International. Hal ini sungguh menunjukkan keseriusan bangsa ini untuk melawan korupsi. Tidak kurang lembaga agama semacam PP Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, bersama Konferensi Waligereja Indonesia pernah bersama-sama menyatakan sikap menolak korupsi.
Keprihatinan dan solidaritas Gereja Katolik sendiri telah muncul sejak lama. Para Uskup dalam Dokpen MAWI tahun 1985, art. 147 menyebutkan berharap dan berdoa supaya ada kalangan warga Gereja dengan tegas menolak permainan kotor, sembari tidak cepat putus asa dan menyerah, supaya tidak membenarkan segalanya dengan alasan atau dalih bijaksana dan terpaksa atau ikut-ikt saja. Keprihatinan terhadap korupsi semakin jelas dan intens dalam beberapa peryataan mengecam korupsi dalam Surat Gembala Paskah 2003, Nota Pastoral KWI 11 November 2003, serta siaran pers Pasca Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), 16-20 November 2005 lalu. Di akhir tahun 2005lewat SAGKI 2005 Gereka sekali lagi menegaskan untuk memulai pertobatan dan mencari jalan untuk membentuk budaya baru yang berkeadaban publik.
Dengan demikian sikap Gereja Katolik jelas dalam menghadapi korupsi, ialah tidak setuju dan mengecam. Sikap ini tentu didasari dengan kepedulian Gereja terhadap aneka masalah yang ada, menegaskan kehadiran Gereja di dunia dan tidak boleh diam menyaksikan aneka masalah tersebut. Selain itu sikap Gereja juga berarti tanda solidaritasnya terhadap kaum miskin, mereka yang terpingirkan, yang tergusur, yang kalah karena permainan kotor, yang menjadi korban korupsi, yang disakiti karena dicurangi. Dalam hal ini termasuk korupsi yang dilakukan di dalam tubuh Gereja sendiri.
Namun harus diakui, memerangi korupsi bagaimanapun menuntut keterlibatan sebanyak mungkin pihak, cara dan upaya. Tidak ketinggalan pihak Gereja Katolik dengan aneka cara dan upayanya. Karena jika Gereja Katolik diam, maka Gereja Katolik kehilangan citra dan identitasnya sebagai pewarta keselamatan bagi manusia. Terlebih Gereja Katolik dipanggil mewartakan amanat dan panggilan untuk mewartakan kabar gembira bagi para penderita dengan menjadi garam dan terang bagi sesamanya.
Momen Pertobatan Komunal
SAGKI 2005 menengarai bahwa korupsi sebagai masalah budaya dan masalah lemahnya mekanisme kontrol. Dalam SAGKI 2005 disebutkan bahwa pintu masuk mengatasinya ialah melalui pendidikan nilai, meningkatkan mekanisme kontrol dan memperbaiki sistem hukum. Dengan segalan keterbatasan, termasuk SDM, peran strategis dan perhitungan mendesak, maka hal yang mungkin dilakukan ialah melalui pendidikan nilai kepada umat Katolik.
Dalam masa pertobatan, pra paska 2006 kali ini, Gereja Katolik hendak mengajak umat di lapisan basis (dasar; terbawah), di lingkungan untuk berani terbuka membicarakan, tukar informasi, tukar pengalaman, berbagi keprihatinan dan berbagi kepedulian menyikapi korupsi. Maksud diadakannya aksi puasa pembangunan 2006, diharapkan umat bersikap, ikut prihatin dan mengkritisi dunia saat ini. Di dalamnya termasuk sebuah pertobatan di mana secara bersama-sama hendak melihat diri sendiri, menyadari kesalahannya dalam cara berpikir, cara bertindak dan cara berprilaku disamping mengajak untuk menemukan solusi alternatif. Tidak dimaksudkan pertama-tama untuk menghakimi, menuduh, mencaci, mengutuk, pesimis, kecewa atau marah dengan maraknya tindak korupsi yang memprihatinkan itu. Tetapi untuk melihat diri, berefleksi dan mengoreksi diri untuk menumbuhkembangkan sikap baru yang berciri adil, adil, mau bersusah payah dan bekerja keras, tahu batas, secukupnya, solider dan takut pada Tuhan. Inilah yang dimaksud sebagai gerakan bersama seluruh Gereja yang merupakan sikap kerendahan hati untuk bertobat terus-menerus.
Demikianlah kegiatan rohani, puasa dan pantang maupun kegiatan amal diarahkan kepada satu tujuan ialah menyikapi suatu masalah yang menjadi keprihatinan, ialah masalah korupsi. Gereja secara bersama meningkatkan kegiatan rohani, melakukan pantang dan puasa, melakukan amal dalam rangka memohon bantuan Allah menyikapi korupsi. Semoga ajakan ini membuka mata umat Katolik untuk semakin peduli terhadap aneka masalah dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Hidup, 19 Maret 2006)