Pages

Thursday, November 17, 2005

Mempersoalkan Hukuman Mati



"Examines capital punishment through a political lens and with a concentration on cases and anecdotes that illustrate the systemic flaws she uncovered during her research. Who were executed despite strong evidence of innocence. Who was executed despite the fact that he suffered from paranoid schizophrenia and was repeatedly turned away from mental health facilities because he wasn't considered violent. A crime victim herself" (Susan Lee Campbell Solar)

Sejak Presiden Megawati menolak grasi enam orang terpidana mati, masalah hukuman mati kembali menarik perhatian. Hukuman mati selalu memunculkan kontroversi. Di satu sisi, hukuman mati dianggap efektif mengurangi angka kejahatan, tetapi di sisi lain hukuman mati dianggap tidak manusiawi karena melanggar hak hidup manusia.

Penolakan grasi terpidana mati oleh Presiden Megawati dianggap bertentangan dengan konstitusi. Alasannya, UUD 1945 pasal 28 A dan 28 I menyebutkan, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Inilah yang mendasari pendapat bahwa hukuman mati tidak boleh diterapkan lagi di Indonesia.

Pendapat kontra terkait pula dengan sikap PBB yang mengeluarkan sebuah Konvenan Hak Sipil dan Politik beserta protokolnya yang sudah menghapus hukuman mati. Aturan internasional ini seharusnya diikuti oleh Komnas HAM Indonesia yang dalam fungsi dan tugasnya mengacu pada Komisi Tinggi HAM di PBB.

Beberapa kalangan justru berpendapat bahwa hukuman mati masih menjadi hukum positif. Karena itu, hukuman mati harus ditimpakan pada terpidana mati. Sikap tersebut didasari oleh adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal 28 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang…”. Kenyataannya, hukuman mati memang masih tercantum dalam KUHP negara ini.

Akan tetapi, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munarman (Kompas, 19/2/2003) mengatakan bahwa Presiden seharusnya tunduk kepada konstitusi bukan tunduk kepada UU yang bertentangan dengan konsitusi. Sekalipun ada UU yang masih mencantumkan hukuman mati.

Hukuman mati atau capital punishment akar katanya berasal dari caput (bahasa Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati dimengerti sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah.

Dalam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secara preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran.

Tujuan hukuman mati yaitu: pembalasan yang lebih menonjol dalam masyarakat primitif, penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal, membuat jera untuk pelaku kejahatan lain. Hukuman mati bertujuan pula melindungi kepentingan umum dan memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan.

Hukuman mati sebenarnya telah tercantum dalam kitab hukum Hammurabi dari Babilonia (1750 SM). Saat itu disebutkan 25 pelanggaran yang memungkinkan seseorang dihukum mati. Kitab hukum Asiria (1500 SM) secara eksplisit menyebutkan pelaku pembunuhan patut dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi dalam prakteknya sanksi yang diberikan tidak selalu hukuman mati dan yang mengalami justru masyarakat kelas bawah, misalnya kaum budak serta kaum heretis yang melawan Gereja.

Ketika kejahatan merajalela di abad Pertengahan, Sir William Blackstone (1723-80) menegaskan adanya 160 jenis pelanggaran yang bisa dikenai hukuman mati. Demikian pula Raja William I (1027-1087). Kenyataanya, cara ini tidak mampu mengurangi jumlah kejahatan yang tetap marak hingga masa revolusi industri.

Gagalnya penerapan hukuman mati untuk mencegah dan memberantas kejahatan memicu berbagai pihak mencari alternatif lain. Pada abad ke-19 pelaku kejahatan dikenai sanksi hukuman seumur hidup. Munculnya berbagai alternatif terhadap pelaksanaan hukuman mati justru memacu upaya penghapusan hukuman mati. Upaya penghapusan hukuman mati mencerminkan berkembangnya tata nilai dan sikap hormat terhadap martabat luhur manusia.

Gerakan penghapusan hukuman mati telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Beberapa tokohnya antara lain: Montesquieu menulis Lettrespersanes (1721), Voltaire membela Jean Callas yang telanjur dihukum mati, Cesare Beccaria (1738-1794) menerbitkan buku An Essay on Crimes and Punishment.

Argumen penghapusan hukuman mati didasarkan pada alasan yang meragukan efektivitas hukuman mati. Putusan seseorang dihukum mati seringkali dianggap tidak berdasarkan observasi empirik tetapi terbatas pada opini polisi dan bantahan para jaksa. Lebih buruk lagi, terhukum kerapkali dihukum berdasarkan motif-motif politik seperti mengancam status quo atau berasal dari kelas sosial dan ras tertentu. Hal ini dialami oleh para budak dan kulit hitam di Amerika pada tahun 1930-1964.

Keberatan lain didasarkan pada pendapat bahwa seseorang yang dihukum mati tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Von Henting menilai hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai martabat luhur warganya. Padahal negara seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun. Leo Polak menganggap hukuman mati beresiko tinggi jika hakim keliru dalam menentukan keputusan sementara terhukum sudah mati.

Alasan bahwa pelaku akan takut jika diberlakukan hukuman mati, tidak sepenuhnya tepat. Di negara yang memberlakukan hukuman mati pun angka kejahatan tidak turun. Contohnya para teroris siap mati untuk tugas mereka dan menghukum mereka justru menjadikan mereka sebagai pahlawan. Pemberlakuan hukuman mati tidak menyelesaikan masalah dan seringkali tidak adil. Sulit sekali membuat putusan hukuman mati bila ada aturan membawa 10 gr heroin akan dihukum mati, lantas bagaimana dengan pelaku yang membawa 9,8 gr.

Dalam beberapa penelitian tentang hubungan antara tindak kejahatan dengan hukuman mati, tidak ada kaitan yang erat. Sejak tahun 1874 Italia tidak menerapkan hukuman mati, namun di tahun 1876-1907 angka pembunuhan menurun dari 9,86/100.000 jiwa menjadi 4,86/100.000 jiwa. Sementara di Rumania yang menghapus hukuman mati sejak tahun 1865, justru angka pembunuhan menurun dari 5,6/100.000 jiwa menjadi 2,5/100.000 jiwa pada tahun 1876-1907.

Gerakan penghapusan hukuman mati segera menyebar ke berbagai negara. Negara-negara tersebut antara lain: Portugal, San Marino, Venezuela, Toskane, Columbia dan Rumania, Belanda, Costa Rica, Italia, Brazilia, Ekuador dan Peru, Norwegia, Austria, Swedia, Lithuania, Selandia Baru, Uruguay, Chili, Denmark, Prancis, Islandia, Swis, Finlandia, Jerman Barat, Inggris, Rhode Island, Wincosin, Maine, Minnesota, North Dakota, Alaska, Hawai, Oregon, Iowa, Vermont, West Virginia dan New York. Saat ini ada 35 negara yang menghapus total hukuman mati, 18 negara menghapusnya kecuali untuk kejahatan perang dan 27 negara mempertahankan hukuman mati tetapi tidak pernah melaksanakannya.

Meskipun angin penghapusan hukuman mati telah berhembus, masih ada negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati kebanyakan adalah negara-negara totaliter komunis. Dalam ideologi komunis, pribadi manusia harus kalah dengan kepentingan negara, partai dan ideologi komunis. Negara dunia ketiga yang menerapkan hukuman mati lebih karena kecenderungan kolektivisme, pemerintah yang otoriter serta adanya kaum fundamentalis. Pada tataran moral dapat dikatakan kepekaan negara-negara tersebut terhadap keluhuran martabat manusia dan hak-haknya belum sangat halus atau mereka berpendapat bahwa pribadi manusia dapat dikorbankan demi stabilitas nasional.

Dari uraian di atas tampak bahwa sebenarnya pro dan kontra terhadap hukuman mati telah berlangsung sejak lama. Ketika Litbang Harian Kompas mengadakan jajak pendapat, sebagian besar responden (76 %) menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman paling berat kepada terpidana kasus berat. Para responden menyebutkan beberapa kasus yang pantas dijatuhi hukuman mati yaitu: pembunuhan berencana 32,4 %, narkoba 29,2 %, terorisme 11,7 %, pemerkosaan 10, 4 % dan korupsi 9,1%. Sikap setuju terhadap hukuman mati tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor lemahnya penegakan hukum, ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan makin maraknya aksi kejahatan. Legitimasi negara untuk menentukan hidup mati seseorang pun semakin kuat dengan bertambahnya kasus-kasus pidana yang diganjar hukuman mati dalam enam tahun terakhir ini.

Sikap kontra yang muncul didasari oleh konstitusi negara ini yang melindungi hak hidup manusia dan diberlakukannya Konvenan Hak Sipil dan Politik PBB yang menghapus hukuman mati. Dari pihak terhukum muncul pendapat agar putusan hukuman mati patut ditunda atau diberikan keringanan. Alasannya beraneka seperti: pada kasus Jurit terdapat beberapa kejanggalan dalam vonis, putusan terhadap Adi Kumis dinilai tak adil karena ada pelaku yang belum tertangkap, pada kasus Sumiarsih dan Sugeng diakui bahwa inisiatif pembunuhan bukan dari Sugeng sedangkan dalam kasus Ayodya telah ditemukan bukti baru yang bisa mengubah vonis hukuman mati. Selain itu mereka telah berubah setelah menjalani hukuman penjara sekian lama. Dr Arief Budiman (Kompas 17/2/2003) menilai sistem peradilan kita masih lemah dan berlumuran KKN sehingga kemungkinan besar terjadi ketidakadilan dalam putusan, apalagi mengingat ada banyak orang yang dosanya lebih besar justru dibiarkan bebas.

Persoalan pro dan kontra hukuman mati, jika dilihat dengan budi nurani jernih, memang tidak mudah dituntaskan. Di Indonesia, hal ini terkait dengan maraknya kejahatan sebagai akibat ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan peradilan. Seringkali setelah hukuman mati dilaksanakan, aneka akar permasalahan itu tidak diselesaikan secara tuntas.

Akhir-akhir ini berkembang penghargaan terhadap nilai-nilai hidup manusia seiring dengan berhembusnya isu penegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia. Ketika Presiden George W Bush hendak menyerang Irak aneka protes muncul dari berbagai kalangan suku, agama, ras dan golongan. Mereka bersatu padu menentang pelanggaran hak asasi manusia. Demikian pula penghargaan hak asasi manusia seharusnya dijunjung tinggi di negeri ini.

Sebuah ensiklik keluaran Vatikan, Evangelium Vitae artikel 56 menegaskan bahwa: “Makin kuatlah kecenderungan untuk meminta supaya hukuman itu diterapkan secara terbatas atau bahkan dihapus sama sekali… hakikat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat dan jangan sampai kepada ektrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila mutlak perlu.” Upaya yang lebih penting ialah mempromosikan penghargaan hak asasi manusia kepada seluruh warga sehingga memiliki nurani jernih sebagai kontrol yang menghalangi mereka melakukan tindak kejahatan. Di samping upaya hukum, seiring dengan kampanye penghargaan terhadap hak asasi manusia, saat ini perlu dilakukan pendampingan terhadap 42 orang yang sedang menunggu eksekusi pidana mati, menghibur, bersikap empati dan meyakinkan bahwa mereka berharga. Karena mereka adalah manusia yang hak hidupnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (Hidup, 6 April 2003)