Pages

Monday, February 27, 2006

In Memoriam Rm. Francesco Lugano, Pr: Pastor Nelayan Itu Kini Sudah Berlabuh




Umat Katolik Keuskupan Surabaya, untuk kesekian kalinya harus merelakan kepergian gembalanya terbaiknya. Belum lagi, Uskup baru terpilih, pasca wafatnya Mgr. J. Hadiwikarto, Pr, salah satu imam praja asli Italia harus menghadap ke pangkuan Allah Bapa. Beliau adalah Romo Fransesco Lugano, Pr.

Imam praja asli Italia yang akrab disapa dengan sebutan Romo Lugano itu meninggal dalam tugas di stasi Dongko, Trenggalek, Jawa Timur. Stasi yang berjarak sekitar 90 km dari kota Tulungagung itu berada di wilayah kegembalaan beliau, ialah Paroki St. Maria Tak Bernoda Asal, Tulungagung.

Malam itu, Kamis, 9 Februari 2006, Romo Lugano usai melaksanakan misa di kapel Stasi Dongko. Karena memang stasi ini cukup jauh, sebagaimana kebiasaan beliau untuk mengakrabkan diri bersama umatnya, Romo Lugano hendak menuju rumah salah seorang umat. Rumah inilah yang akan sedianya akan dipakai untuk istirahat semalam. Namun ketika sampai di halaman rumah yang dimaksud, saat itu sopir setianya memberitahunya, tetapi Romo Lugano tidak bereaksi. “Sampun dugi romo (sudah tiba romo)”, kata sopir tersebut. Romo Lugano tidak menyahut. Sopir bersama beberapa umat pun segera memastikan keadaan Romo Lugano. Dalam posisi duduk di mobil itulah, Romo Lugano diketahui meninggal sebagai imam dalam tugas mulia kegembalaan. Malam itu juga dengan menggunakan mobil ambulance, jenazah Romo yang akrab dengan kaum nelayan pantai selatan Jawa, sekitar Tulungagung, Blitar, Trenggalek dan Pacitan itu dibawa ke Tulungagung untuk disemayamkan.

Menjala Ikan

Romo muda Francesco Lugano, datang ke Indonesia sejak Agustus tahun 1963. Semula, ia mengenal Indonesia dari seorang Romo asli Indonesia yang belajar di Seminari Tinggi Genoa, Italia tahun 1962. Sejak perkenalan itu, ia mulai mempelajari tentang latar belakang dan keadaan Gereja di Asia. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bermisi ke Indonesia.

Putra kedua dari lima bersaudara, anak pasangan Carolus dan Yohana Lugano ini pergi ke Indonesia bersama enam pastor asli Indonesia yang pulang belajar dari Italia. Sebagai imam diosesan, Lugano menghadap ke Keuskupan Surabaya. Ia pun ditempatkan di Blitar.

Di Blitar inilah, Romo Lugano mulai belajar bahasa Indonesia pada seorang guru bahasa. Ia pun memulai kerasulan hari demi hari sambil mencoba menemukan niat misinya di daerah pesisir yang belum banyak diperhatikan. Tahun 1967, Lugano harus mendapat tambahan tugas mengembalakan umat di seputaran Mojorejo, daerah Blitar Selatan. Karena mayoritas umat desa menggunakan bahasa Jawa, maka ia pun mempelajari bahasa Jawa. Namun karena kedekatannya dengan umat desa, ia tak membutuhkan waktu lama untuk lancar berbahasa Jawa.

Romo yang lahir pada tanggal 7 Mei 1938 itu memang lahir sebagai warga pesisir dekat Pelabuhan Savena, Genoa, Italia. Kecintaannya pada laut tumbuh kembali ketika wilayah kegembalaannya di Blitar Selatan ternyata berbatasan dengan Samudera Indonesia. Ia pun berpikir untuk mengembangkan daerah itu, terlebih karena keadaannya yang terpencil. Meskipun ia banyak tantangan dari masyarakat sekitar yang masih percaya hal gaib, menganggap daerah hutan, laut sebagai tempat yang wingit (angker) dan mitos tentang daerah itu sebagai janma mara janma mati (berbahaya).

Romo Lugano tak menyerah. Bersama seorang warga bernama Sundoro, ia mulai mengadakan penelitian di kawasan Jalasutra, Kecamatan Wates. Dalam penelitian itu tak jarang ia harus tidur bermalam sendirian di atas pasir, di tepi pantai. Sekalipun warga memberitahunya kalau di sekitar daerah tersebut masih ada harimaunya, Romo Lugano tidak takut. Pernah saat gelap malam tiba, Romo Lugano pernah melihat sepasang sorot mata yang bergerak-gerak dari jarak sekitar 15 meter, namun tiba-tiba menghilang. Romo Lugano pun tidak menghiraukan karena toh tidak menganggu, pikirnya.

Setelah penelitian, akhirnya dipilihlah lokasi strategis untuk kegiatan bersama para nelayan, yakni Pantai Jalasutra dan Tambakrejo, Kecamatan Wates dan Bakung, Blitar Selatan. Romo Lugano mendirikan Lembaga Pengembangan Kenelayanan. Pada tahun 1969, dengan didukung aparat kecamatan dan desa setempat serta Lembaga Karya Dharma Keuskupan Surabaya, dimulailah pembuatan jalan makadam (bebatuan) sepanjang 12 kilometer yang menghubungkan daerah Wates-Gondangtapen-Jalasutra. Proyek padat karya yang melibatkan seluruh warga setempat dilanjutkan kembali dengan merintis jalan antara Wates-Mirigede sepanjang 4 kilometer, Wates-Tugurejo sepanjang 4 kilometer dan Wates-Bantengan sejauh 6 kilometer. Pengerjaan tersebut berlangsung selama 3 tahun dan berakhir tahun 1972.

Di Lembaga Pengembangan Kenelayanan itulah, Romo Lugano merintis pengembangan ketrampilan bersama warga setempat. Saat itu mulai diadakan pembuatan perahu untuk memancing hingga perahu yang agak besar yang disertai jaring. Pelan-pelan ia mulai juga mengembangkan dan membuat kapal motor untuk operasi di lepas pantai.

Romo Lugano, yang ditahun 1982 mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sebagai WNI, tahun 1986 mulai melebarkan pengembangan karya di Pantai Prigi, Trenggalek. Di daerah ini ia membuat bengkel perbaikan dan pembuatan perahu. Ia pun merancang perahu yang lengkap dengan jaring purse seine, ciptaannya sendiri. Selain itu, Romo Lugano merancang beberapa perahu yang dijual ke nelayan setempat dengan harga 40 persen lebih murah.

Ketika dipindahkan ke Paroki St. Maria Tak Bernoda Asal, Tulungagung tahun 1991, Romo Lugano pun tinggal melanjutkan karya yang sudah dirintisnya sejak ia bertugas di Blitar. Bahkan ia berhasil membangun sebuah peristirahatan dengan enam kamar tidur di tepi Pantai Karanggoso, menghadap ke Teluk Prigi. Namun Romo Lugano dengan ikhlas menyerahkan gedung dan fasilitasnya kepada Lembaga Pengembangan Kenelayanan untuk kegiatan kenelayanan. Daerah itu pun saat ini mulai berkembang sebagai pariwisata pantai.

Menjala Manusia

Bukan hanya menjala ikan, Romo Lugano juga dikenal berbagai umat di wilayah Blitar Selatan, Wlingi, Tulungagung dan Trenggalek sebagai gembala yang sederhana, tak kenal menyerah, tangguh dan setia. Kesederhanaannya, tampak dari selalu menerima apa adanya apa yang disediakan umat entah itu makanan dan tempat tidur. Ketangguhannya, tampak dari imannya yang teguh saat menghadapi tantangan dan cobaan. Romo Lugano pernah diracun melalui minuman ketika menjalankan karyanya di daerah Blitar Selatan.

Meskipun badanya sempat lemas dan hampir pingsan, ia masih mampu mengendarai kendaraan menuju Stasi terdekat di Wlingi. Pernah pula seusai memimpin misa, ia dilempari batu dari atas perbukitan di sekitar Wlingi Utara, tepatnya di Stasi Banjarsari. Kesetiannya ditunjukkan dengan kesetiaannya mempersembahkan ekaristi bagi umat, sekalipun disibukkan oleh aneka pekerjaan. Bahkan beliau pun secara rutin menghadiri UNIO bersama para imam praja Keuskupan Surabaya, setiap bulan sekali.

Kiprah Romo Lugano semakin diakui dengan tampilnya beliau sebagai moderator nasional Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun 1991, bersama Romo Gregorius Utomo Pr (pendiri HPS) di Yogyakarta untuk bidang pertanian/tanaman pangan. Bersama nalayan-nelayan di Jawa Timur yang berkumpul di Prigi, Trenggalek 13-16 Oktober 1994, Romo Lugano memprakarsai sebuah deklarasi yang disebut Harapan Tulungagung, yang diantaranya memuat ajakan untuk mencintai dan melestarikan lingkungan, membuka komunikasi, pengembangan ketrampilan serta meningkatkan kesejahteraan bagi petani dan nelayan.

Sekalipun dekat dengan kaum nelayan yang bukan Katolik, Romo Lugano tetap menghormati kebebasan beragama rekan kerja dan para nelayan. Romo Lugano tak pernah memaksakan agama Katolik kepada mereka. Bahkan di Prigi, tempat dimana beliau menghabiskan waktu selama 15 tahun terkahir, mayoritas peserta Lembaga Pengembangan Kenelayanan tetap beragama Islam. Hanya seorang saja yang beragama Katolik, itupun pendatang dari Jawa Tengah. Dalam karyanya, Romo Lugano melibatkan kawan-kawan dari agama Islam, terutama dari kalangan NU dan mahasiwa dari PMII, sekaligus sebagai sarana untuk menembangkan sosial kemasyarakatannya. Tak heran, Romo Lugano dikenal baik di kalangan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, (FKAUB), para kiai, kalangan Pondok Pesantren dan para pejabat PEMDA Tulungagung.

Wis, Malah Wis Tak Lakoni

Romo Lugano memutuskan menjadi imam karena sebuah pertanyaan sederhana dan mengusik hatinya: untuk apa hidup di dunia ini jika begitu gampang manusia menemui ajalnya ? Pertanyaan itu muncul setelah menyaksikan teman SMU-nya meninggal saat berusaha mengejar kereta api, di tanah kelahirannya Italia. Memang temannya berhasil meraih pintu, tetapi malang, ia jatuh terpeleset karena rel yang licin dan akhirnya terlindas kereta api. Peristiwa itu terjadi saat Romo Lugano berusia 18 tahun. Sejak itu pertanyaan yang muncul tersebut berusaha untuk dijawab. Sempat Lugano menjadi polisi negara, bahkan berkeinginan menjadi insinyur, tetapi akhirnya ia justru mendaftar ke Seminari Tinggi di Genoa, Italia dan ditahbiskan sebagai Imam Praja, 10 Juni 1962.

Sekalipun imam praja, Romo Lugano memutuskan untuk bermisi. Sejak beliau tiba di Indonesia sejak Agustus 1963 hingga saat akhir hidupnya, Kamis 9 Februari 2006 pukul 21.30, telah hampir 43 tahun, Romo Lugano berkarya di negara yang dicintai ini. Banyak sekali yang telah diperbuatnya, tak terhitung teladan iman, kesetiaan dan pengabdiannya kepada umat Katolik. Tidak hanya itu, tak terbilang ide dan karya yang coba dikembangkan bersama kaum nelayan di wilayah pantai selatan Jawa, sekitar Tulungagung, Blitar, Trenggalek dan Pacitan.

Tak heran, saat misa requiem, ribuan umat Katolik dari berbagai penjuru Paroki berkenan datang. Begitu banyaknya pelayat, hingga arus lalu lintas di Jalan Ahmad Yani, depan Gereja Santa Maria Tak Bernoda Asal yang menjadi tempat persemayaman Romo Lugano, sempat macet beberapa saat. Di mata kaum nelayan, masyarakat Prigi dan sekitarnya beliau ternyata cukup disegani. Di mata nelayan, Romo Lugano sungguh bisa ngemong (membina).

Beberapa pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tulungagung, Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) dan beberapa tokoh PMII yang menyempatkan hadir dalam prosesi pemakaman, mengatakan beliau sebagai sosok pemersatu. Bahkan, KH Mungin Arif, salah satu wakil ketua MUI tidak bisa menahan air mata kala memberikan sambutan singkat. Pria asal Desa Tiudan, Kecamatan Gondang itu, merasa telah kehilangan sahabat terbaiknya. "Selamat jalan sahabat, semoga amalmu diterima Tuhan," tuturnya terbata-bata.

Romo yang selalu berpenampilan sederhana dan fasih berbahasa Jawa itu pun sempat merayakan pesta agung 40 tahun imamatnya, Juni 2002 lalu bersama umat Paroki Tulungagung dalam perayaan ekaristi syukur dipimpin (alm) Mgr. J. Hadiwikarta, Pr, Uskup Surabaya. Ketika saat itu ada pertanyaan, apakah pertanyaan dalam hidupnya sudah terjawab, beliau menjawab, Ya uwis, malah wis tak lakoni (Sudah, malah sudah saya jalankan)," jawabnya dalam bahasa Jawa. "Apalagi kalau bukan untuk mengabdi kepada-Nya. Tugas kerasulan tidak boleh mengandalkan perencanaan manusiawi, melainkan lebih tergantung pada rencana Tuhan. Ojo sakepenake dhewe (semaunya sendiri)," lanjutnya dalam bahasa gado-gado yang mengundang tawa hadirin.

Tepat pada pukul 11.45 jenazah Romo Francesco Lugano, Pr diberangkatkan ke perisitirahatan terakhir di Mousoleum (kompleks pemakaman para imam) Puhsarang, Kediri. Misa pemakaman dimulai sekitar pukul 12.30 hingga 14.30, dipimpin Administrator Keuskupan Surabaya, Rm. Julius Haryanto, CM. Kini pastor nelayan itu telah berlabuh dalam damai. (A. Luluk Widyawan, Pr, tinggal di Ponorogo)