Pages

Thursday, November 17, 2005

Pendidikan Yang Memerdekakan



Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Nasib suatu bangsa amat ditentukan oleh kualitas pendidikan di suatu negara. Pendidikan diharapkan mampu membawa anak didik tidak saja dalam mengembangkan potensi intelektualnya, tetapi juga dalam upayanya memuliakan pribadinya sebagai manusia dan warga negara, di samping membantunya mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Sementara itu pendidikan sendiri menyisakan banyak persoalan untuk sampai pada tujuannya yang luhur. Entah persoalan tentang gaji para pendidik, kurikulum, mahalnya biaya pendidikan bahkan isu baru tentang RUU Sisdiknas.

Seorang Mangunwijaya memiliki prespektif mendalam tentang pendidikan daripada sekedar persoalan yang ramai diperbincangkan. Mangunwijaya mengkritik pendidikan di Indonesia serta memberikan gagasan pemerdekaan dalam dunia pendidikan. Tentu agar kita tidak terlena bahwa sebenarnya ada persoalan serius yang patut juga diperhatikan di samping persoalan-persoalan tersebut dan agar memiliki wawasan segar tentang dunia pendidikan.

Kritik Terhadap Sistem Pendidikan

Mangunwijaya berpendapat bahwa pendidikan merupakan wahana yang paling vital dan fundamental untuk mengembangkan diri secara total dan integral. Ia berpendapat secara humanis bahwa pendidikan merupakan tempat yang membuat manusia semakin menumbuhkembangkan segala kemampuan dan potensi yang telah dimilikinya baik kemampuan kognitif, intelektual, afektif maupun bakat-bakat lainnya. Jika tidak demikian, pendidikan berarti gagal membawa manusia menuju pribadi yang utuh, dewasa dan manusiawi.

Kegagalan tersebut terbukti dengan adanya intervensi ideologis dan kepentingan politik yang mempengaruhi sistem pendidikan. Harus diakui, pendidikan di mana pun, secara historis dan empiris, tak pernah bersifat netral. Sebagai contoh, Mangunwijaya menyebutkan pendidikan telah menjadi alat penguasa untuk memperkuat dan membenarkan kemapanan mereka. Tujuannya tak lain demi pewarisan sikap dan mental untuk melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan penguasa. Situasi ini mencerminkan pendidikan di Indonesia sebenarnya telah menjadi budak dan subsistem yang mengabdi pada kekuatan-kekuatan intern politik, industri, bisnis, keuangan dan pergelutan kekuasaan.

Mangunwijaya melihat, bahwa pendidikan yang humanis sebenarnya telah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan ini menggantikan corak pendidikan yang bersifat sosialisasi, represif dan feodal. Pendidikan humanis ini sangat menghormati harkat dan martabat si anak, termasuk apa yang ada dalam diri si anak. Pada masa Orde Baru, pendidikan menjadi sekedar sosialisasi kognitif maupun afektif dan mengacu pada hegemoni penguasa ekonomi dan politik hingga bersifat indoktrinasi. Sistem pendidikan yang demikian merupakan ciri khas sistem pendidikan militer di mana yang berlaku adalah sistem komando.

Dalam sistem pendidikan yang bercorak militer, pendidikan yang humanis tak berjalan sama sekali. Sistem pendidikan tersebut disusun bukan atas dasar prinsip dan praksis untuk memerdekakan manusia, tetapi semata-mata untuk mengabdi pada struktur politik, industri, bisnis dan budaya yang dikehendaki penguasa. Seluruh sistem pendidikan dibuat seragam untuk memudahkan pengontrolan dengan sistem sentralisme. Akibatnya suasana pendidikan hanya menjadi alat birokrasi negara yang tidak bermanfaat bagi kepentingan individu.

Sentralisme pendidikan selanjutnya membuka jalan bagi para pemodal untuk menjadikan sekolah sebagai medan komersial. Akibatnya muncullah komersialisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan menyeret pendidikan ke arah persaingan kapitalisme semu hingga muncul istilah sekolah elit, plus, unggul, favorit dan sebagainya. Keadaan ini memunculkan persaingan yang tidak fair antara sekolah yang elit, plus, unggulan dengan sekolah yang tidak demikian. Korbannya adalah anak yang miskin yang selalu dikalahkan dalam kompetisi mendapatkan sekolah, apalagi yang baik biasanya mahal hingga tak terjangkau oleh anak yang miskin.

Situasi pendidikan yang demikian menurut Mangunwijaya tidak beres. Ia memprihatinkan suatu suasana yang melenceng dari iklim pendidikan yang sesungguhnya. Ia menilai bahwa sebenarnya program, jalur, jalan sudah ada dan terbuka, tetapi tidak ada yang lewat jalan itu. Akibat dari sistem pendidikan seperti ini adalah kegagalan bangsa Indonesia mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN, yaitu mewujudkan manusia seutuhnya. Manusia Indoneisa bukan semakin integral dan utuh, tetapi justru bergerak ke arah dehumanisasi. Keadaan ini amat memprihatinkan, karena akan banyak anak didik, terutama yang tidak mampu dan miskin akan menjadi korban dari sistem pendidikan yang ada. Anak yang miskin akan tersingkir hingga selalu berada dalam posisi miskin kemungkinan dan miskin kesempatan selama-lamanya.

Pendidikan Yang Memerdekakan

Mangunwijaya menggagas pendidikan sebagai kesempatan di mana anak didik dapat menumbuhkembangkan potensi-potensi yang telah dimilikinya. Tujuannya agar anak didik mencapai suatu kematangan pribadi dan membuatnya menjadi manusia yang lebih manusiawi secara utuh.

Faktor yang penting dalam pendidikan sedemikian itu ialah upaya memunculkan dan menumbuhkan tataran kesadaran dalam diri manusia, terutama pada anak didik yang sedang mengalami pertumbuhan dan pembentukan diri. Hal ini akan membawa anak didik mengenal, memahami dan mengakui secara realistis kenyataan dirinya yang multidimensional. Keadaan seperti itu akan tercapai bila ada iklim kebebasan bagi anak. Iklim kebebasan yang dimaksud ialah keadaan di mana anak didik leluasa berkreasi dan menumbuhkembangkan segala potensi yang dimilikinya. Kebebasan ini bukan kebebasan yang seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Dari uraian di atas tampak sekali nilai luhur pendidikan yaitu sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan yang digagas Mangunwijaya ini tergolong pendidikan yang humanis, karena pendidikan seperti ini menekankan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Artinya memberi kemerdekaan kepada anak didik untuk mengembangkan diri secara penuh. Sementara itu pendidik hanya berperan untuk mendidik, menuntun dan memberikan suasana serta sarana kepada mereka supaya dapat berkembang sebagaimana mestinya.

Sebagaimana yang dikatakan Mangunwijaya,

“Usaha kita ialah mencari sintesis dialektik atau keseimbangan antara pemberian kemerdekaan kepada anak untuk menentukan sendiri apa yang ia senangi (lebih tepat: ia diperhatikan) dan disiplin, binaan dan pengarahan yang sebenarnya juga diharapkan si anak”

Mangunwijaya mempertajam gagasannya tentang pendidikan dengan melihat pentingnya pendidikan dasar. Baginya, pendidikan dasar merupakan pondasi pendidikan dan pengajaran. Lewat pendidikan dasar, Mangunwijaya mengharapkan agar anak didik mengalami pemekaran daya kognitif, kemampun afektif, kemampuan komunikasi, kesehatan raga, pemekaran hati nurani. Kelima unsur tersebut patut diperhatikan sejak awal karena amat penting untuk jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, pendidikan dasar merupakan tempat pendidikan yang mendesak dan strategis untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena hanya 20 juta anak yang menikmati satu-satunya jenjang pengajaran formal di seluruh kehidupan mereka, yakni SD.

Dalam pendidikan dasar, Mangunwijaya menekankan prinsip ajrih asih. Prinsip ajrih asih maksudnya, anak didik diajari patuh pada peraturan disiplin yang konsekuen, menanggapi teguran yang serius bahkan perlu diberikan “kekerasan pedagogis”. Tetapi semua itu didasari pada sikap asih. Asih melulu memang berakibat sifat manja dan ajrih melulu akan merusak mental anak didik Maka, kedua prinsip itu harus dipadukan, terutama dengan memperbanyak porsi asih yang akan mewujudkan proses pendidikan yang sejati.

Mangunwijaya menaruh perhatian pula pada pendidikan bagi kaum miskin. Mangunwijaya menjelaskan sebagai berikut,

“perbedaan kedudukan dan kepentingan itulah yang membuat masalah pembangunan dan masalah pendidikan-pengajaran tidak adil bila diteropong dari atas saja. Diteropong dari bawah melulu pun tidak lengkap, akan tetapi pertimbangan-pertimbangan dan penglihatan dari bawah (dari kaum lemah, miskin dan terbelakang) jauh lebih penting dan harus diprioritaskan. Justru karena kaum lemah adalah lemah”

Baginya, anak didik yang miskin memiliki kekhasan. Mereka hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk melanjutkan sekolah. Maka, yang terpenting ialah bagaimana mereka setelah lulus dari sekolah dasar memiliki modal untuk belajar sendiri seumur hidup. Karena, mereka sesungguhnya memilik kelemahan dalam bidang materiil, moral, mental, intelektual, afeksi dan sebagainya. Sikap guru pun harus memberikan porsi asih yang lebih banyak, yaitu dengan sikap menghargai dan memuji. Ini dilakukan agar anak miskin tidak merasa rendah diri, kalah atau takut.

Anak didik yang miskin perlu memiliki beberapa ketrampilan. Ketrampilan itu meliputi ketrampilan menyelesaikan persoalan dengan penyadaran bahwa segala persoalan dapat diselesaikan. Anak miskin bahkan harus belajar membuat pilihan-pilihan berdasarkan hati nuraninya sendiri agar ia tak hanyut dalam persoalan hidupnya. Mereka juga perlu dibekali dengan pendidikan seni. Pendidikan seni mengajak anak didik mencintai segala yang indah, yang benar, yang sejati sehingga memiliki sikap menolak segala yang jelek, yang bohong dan yang palsu. Dalam hal ketrampilan, anak didik yang miskin perlu diajak menghargai pekerjaan tangan, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah yang sungguh berharga, berguna dan pantas.

Ketrampilan yang tak kalah penting ialah ketrampilan berkomunikasi. Oleh karena itu, anak didik perlu memiliki kemampuan bahasa, memiliki sikap yang mempermudah dirinya mendapatkan informasi serta membeda-bedakan pengetahuan mana yang perlu diperoleh dan mana yang tidak relevan dengan kehidupannya. Dengan demikian, anak didik yang miskin mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang akan menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia yang utuh.

Kembali kepada tujuan pendidikan yang terarah untuk menumbuhkembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh, hal itu sebenarnya merupakan hak setiap manusia untuk mendapatkannya. Lewat pendidikan anak didik ditumbuhkembangkan daya kognitifnya, perasaan maupun potensi yang ada dalam dirinya. Jika anak didik telah dapat meningkatkan kualitas pribadi maka ia memiliki tanggung jawab sosial. Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab semua orang. Memang harus diakui, pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, yaitu orang tua, kemudian komunitas terdekat, masyarakat dan akhirnya pemerintah.

Itulah beberapa kritik dan ide Mangunwijaya tentang pendidikan yang menjadi keprihatinan kita bersama. Untuk mewujudkan tujuan itu tidak cukuplah kita bersandar hanya pada RUU Sisdiknas yang baru saja diketok palu.