Pages

Wednesday, August 30, 2006

Mengenang Mgr. J. Hadiwikarta, Pr: Pastor Bonus


Tanggal 8 September 2006, tepat 1000 hari wafatnya Uskup Surabaya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr. Patutlah kita sejenak mengenang Uskup yang mengambil motto pengembalaannya, Pastor Bonus ini.

Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr, mengambil motto pengembalaannya Pastor Bonus, artinya gembala yang baik. Motto yang dipilihnya secara mendadak itu terjadi ketika Mgr. Pietro Sambi (mantan Duta Besar Vatikan) menanyakan kepada beliau kapan pengangkatan beliau akan diumumkan secara resmi kepada umat. Karena Duta Vatikan mengatakan bahwa harus diumumkan dalam jangka waktu satu bulan, maka Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr meminta kalender liturgi untuk mencari hari baik menurut kalender liturgi. Dalam kalender liturgi tahun 1994 tanggal 24 April 1994 merupakan minggu Panggilan. Maka beliaupun mengusulkan supaya pengumuman pengangkatan beliau dijatuhkan pada tanggal 24 April 1994 itu atau tanggal 23 April sore hari.

Beliau membaca bahwa Injil tanggal 24 April 1994 adalah mengenai Yesus yang menyebut dirinya sebagai Gembala yang baik “Ego sum pastor bonus, bonus pastor animam suam ponit pro ovibus” (Akulah Gembala yang baik. “Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:11)). Maka beliau memilih sebagai motto beliau sebagai Uskup: Pastor Bonus yang diambil dari Injil Yoh 10:11.

Sebagai manusia biasa dengan segala kelemahannya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr berupaya menjadi gembala yang baik bagi domba-domba di Keuskupan Surabaya. Uskup yang selama 9 tahun masa tugasnya membawahi 37 Paroki yang tersebar dalam 4 regio kevikepen di seluruh Jawa Timur ini memangku jabatan terakhir sebagai Ketua Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan di Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK-KWI).

Sejak pertama ditahbiskan sebagai Uskup pada 1994, Mgr. J. Hadiwikarta dikenal memiliki komitmen untuk merawat dan membesarkan beberapa tempat peziarahan bagi umat di Jawa Timur. Instansi pendidikan juga menjadi perhatiannya. Selama masa tugasnya itu pula berdiri 7 paroki baru di wilayah Keuskuoan Surabaya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Ibaratnya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengupayakan agar domba-dombanya tidak lari keluar dari kandang.

Di Surabaya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr juga menjadi salah satu tokoh agama yang intensif ikut dalam dialog antaragama. Persahabatannya dengan berbagai tokoh agama diketahui publik sebagai persahatan yang tulus. Beliau juga getol menyerukan perdamaian dan anti kekerasan bagi masyarakat Jawa Timur. Beliau juga diakui berperan aktif dalam menjalin hubungan harmonis dengan birokrasi dan pemerintah daerah. Kasus ancaman pengeboman gereja di malam Natal 1999 membuktikan bahwa Gereja Katolik di Jawa Timur (Jatim) mendapat dukungan moral dan pengamanan sepenuhnya dari aparat dan tenaga sukarelawan, hingga waktu itu Jatim relatif aman.

Semangat cinta kegembalaan dalam diri Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr sebenarnya telah terekam sejak masa-masa pendidikannya. Karena mencintai itu, ia tunjukkan dalam skripsi kesarjanaan yang beliau tulis sendiri tahun 1971, yang judulnya adalah Gambaran Imamat Menurut Konsili Vatikan II. Begitu besar cintanya terhadap imamat ditunjukkan oleh Mgr. Hadiwikarta di dalam buku kenangan ketika beliau merayakan 25 tahun imamat, dan buku itu diberi judul Tangan Tuhan Menuntunku. Beliau menulis buku itu dengan maksud yang sangat indah. Riwayat hidup beliau, beliau tulis dalam rangka barbagi pangalaman dalam menapaki panggilan Tuhan, panggilannya sebagai imam. Karena cinta pada imamat yang sama, diungkapkannya dalam rasa bangga, karena di antara para putra altar yang beliau dampingi ketika menjadi pastor di Magelang, ada tujuh di antara mereka yang menjadi imam.

Padahal, pilihan menjadi imam praja pada masa-masa itu masih dianggap minor oleh sebagian besar umat. Itu terjadi ketika saat masih frater, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr harus menentukan akan meneruskan ke mana. Setamat dari Mertoyudan tiap seminaris harus menentukan apakah akan masuk SJ, MSF atau menjadi Romo Diosesan atau Romo Praja. Pada saat retret Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr membaca riwayat hidup Pius X dan Pastor dari Ars, seorang pastor yang terkenal suci. Waktu itu jumlah imam praja di Keuskupan Agung Semarang (KAS) masih sangat sedikit.

Meskipun Mgr, Johanes Hadiwikarta, Pr sendiri jarang berhubungan dengan romo Praja, kebanyakan imam yang dijumpainya ialah Romo Jesuit. Ketika itu masih sering terdengar suara minor di kalangan umat yang menganggap romo Praja ialah romo “kelas dua” dibandingkan dengan imam biarawan, imam yang “ndonyani” (bersifat duniawi), imam yang bebas. Bagi beliau, imam praja pasti bekerja di paroki, kalau ingin belajar ke luar negeri, jangan masuk praja dan lain-lain. Memang waktu itu banyak teman-teman yang pandai masuk menjadi imam biarawan. Walaupun begitu beliau justru tertarik ingin masuk Praja, karena jumlahnya masih sedikit. Beliau juga ingin membuktikan bahwa baik buruknya seorang imam tergantung dari pribadi imam itu sendiri.

Tidak mengherankan kalau Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mempunyai kesediaan yang tinggi, ditugaskan apa pun beliau berangkat dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Sejak April 1971- Agustus 1974 bertugas di Paroki St. Ignatius, Magelang, lalu 1974 – 1976 belajar bahasa Arab dan Islamologi di Institut Kepausan, Roma, sejak Juli 1976, selama 3 bulan membantu Paroki Staten Island, New York, Amerika Serikat, pada Oktober 1977, selama 9 tahun menjabat sebagai Pro-Sekertaris MAWI, kemudian tahun 1989-1990, bertugas di Paroki Kumetiran dan mengajar Islamologi di Seminari Tinggi St. Paulus, tahun 1990-1994, menjabat sebagai Vikaris Jenderal di Keuskupan Agung Semarang, hingga saat pentahbisannya tanggal 25 Juli 1994, ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya di Stadion Wijaya Kusuma, Bumi Moro Krembangan. Sebagai Uskup Surabaya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr pada tahun 1994-1997, merangkap menjabat sebagai Ketua Komisi Komunikasi Sosial KWI, tahun 1997-2000, menjabat sebagai Sekertaris Jenderal KWI dan tahun 2000-2003, menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan KWI.

Terhadap para imam praja Keuskupan Surabaya, ketika Surat Domba mengkritik mereka, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr justru menunujukkan kasihnya kepada para gembala yang juga rekan kerjanya. Tentang profil imam yang disorot dalam, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Memang saya dengar juga adanya imam yang sulit datang melayani umat, tetapi hanya satu dua. Saya kira juga apa yang dikatakan di situ juga masukan bagi para imam bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan. Kalau misalnya ada imam yang kebetulan ada di mal, dikira belanja, mungkin kebetulan. Mungkin juga sedang rileks karena di desa mungkin susah ya toh. Tapi saya kira baik juga itu menjadi refleksi, saya tidak menolak itu. Saya terima masukan dari manapun juga. Saya terima banyak surat yang tidak pakai alamat, tidak diekspos. Saya tidak perlu reaktif.”

Terhadap para imam Keuksupan Surabaya yang mengalami musibah Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr juga memperhatikannya. Seperti ketika Rm. Kusdianto, Pr yang mengalami kecelakaan mulai membaik Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr segera datang ke rumah sakit RKZ, “Ia saya ke sana sekarang”. Ketika diberitahu bahwa Rm. Kusdianto, Pr sudah bisa membaca, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr saat ditelepon segera menjawab, “Oh ya…, saya akan menengoknya” . Perubahan-perubahan Rm. Kusdianto, Pr semua diperhatikan. Juga ketika mengetahui Rm. Nello, Pr mengalami sakit parah, Mgr. Johanes Hadiwikarta mengecek semua perkembangannya sekaligus menyesal mengapa sampai lupa menchek-up. Ketika mengetahui Rm. Nello meninggal, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Jenazahnya, dibawa saja di Katedral, di HKY…”. Begitu besar beliau mengasihi para imam pernah diungkapkan dengan mengatakan “Kalau misalnya mereka ada yang lepas jubah saya sedih…”, kata beliau kepada Ibu Maria Goretti Tanujaya.

Sebagai seorang gembala, ada banyak kesaksian yang diberikan beberapa rekan kerja, sahabat serta kenalan beliau. Rm. I. Sumarya, SJ, rekan kerja selama di Jakarta mengenal Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr sebagai imam yang cepat, gembira dan tegas. Kecepatannya tampak ketika Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr memperoleh tugas untuk menterjemahkan teks dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam waktu di luar dugaan banyak orang. Ketika dimintai bantuan atau pertolongan, setelah melihat agenda hariannya, tanpa diskusi permintaan tersebut langsung dilayani secara positif. Dalam rekreasi bersama suasana dirasakan menjadi lebih gembira, apalagi beliau kalau nonton televisi bersama penuh dengan kreativitas untuk mengganti atau merubah saluran televisi guna memilih acara yang lebih menggembirakan. Kegembiraan atau keceriaan juga beliau hayati dalam rangka menerima tamu-tamu yang datang menghadap. Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr melengkapi kecepatannya lebih banyak bertindak tegas terhadap hal-hal yang kacau dan tidak jelas, sehingga menjadi jelas, teratur dan terang. Mungkin dari ketegasannya ini ada orang yang menjadi sakit hati. Tetapi begitulah yang harus terjadi, jika ada berbagai ragam pilihan, tidak mungkin orang memilih semuanya, tetapi memilih salah satu dari sekian banyak pilihan atau kemungkinan, yang dapat berdampak mengecewakan bagi mereka yang tidak terpilih.

Adik ipar beliau, Bapak Swarsono, memberikan kesaksian bahwa banyak hal positif yang beliau tanamkan dalam keluarga, adik, kakak, bahkan pada ibu kandung, almarhumah Ambrosia Sri Yudati Takmid. Beliau selalu mengingatkan, menyinggung, mengenai bagaimana membangun keluiarga yang sederhana, rukun dan beriman. Mulai anak ke-1 hingga ke-4, beliaulah yang berinisiatif membaptis. Bahkan Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr, selalu memperhatikan keponakannya setiap ulang tahun dan kemajuan pendidikan, serta perkembangan dalam keluarga.

Sr. Rosa, SRM mengenal Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr sangat menaruh perhatian, mendukung dan memberi semangat pada para anggota SRM yang memang unik. Karena, sebagaian besar dari anggotanya berangkat dari kegagalan hidup membiara dari macam-macam tarekat. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, begitulah sikap Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr menerima anggota yang kurang pandai, sekolah mogok atau macet akibat kurang perhatian keluarga. Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mempersilahkan seseorang itu boleh bergabung dengan SRM dengan mengatakan: “Yang begini jangan ditolak dulu, usahakan didengar, dikunjungi, ditemani, dimengerti dan diterima saja sebagai sesama dalam panggilan, pelan-pelan kita lihat perkembangannya”.

Semangat dan cinta kegembalaan yang amat besar dalam diri Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr terungkap hingga detik-detik terakhir hidupnya. Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr siap sedia untuk menyertai domba-dombanya. Sekalipun tubuhnya kurang sehat beliau dengan penuh semangat mensosialisasikan hasil sidang KWI. Bapak Frans yang berjumpa dengan Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr tanggal 10 Desember 2003 sebelum berangkat ke Madiun dan menyapa, “Monsigneur kok kelihatan pucat ?” Jawab Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr, “Memang saya sedang sakit”. Ketika diingatkan untuk memeriksakan diri ke dokter, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Ah, saya cuma kecapekan, sejak sidang KWI sampai sekarang belum istirahat. Saya sudah telanjur janji sama romo-romo regio untuk mengumpulkan para pamong, untuk menerima penjelasan dari saya”.

Hari berikutnya, sebelum Mgr. Johanes Hadiwikarta berangkat ke Tuban, Ibu Maria Goretti Tanujaya yang berjumpa dengan beliau di Keuskupan mengatakan “Nggak usah kunjungan Monsigneur, tunda aja”. Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Saya nggak bisa. Sudah terjadwal,” Ketika disarankan untuk beristirahat Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Nggak papa sudah kunjungan ini mau istirahat”.

Rm. Agus Sudaryanto, CM merekam kegigihan semangat kegembalaan Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr mengatakan “Bapa Uskup beberapa kali menutup wajahnya dan seperti menahan sakit. Beliau memang terlihat tidak sehat, saya salut beliau menyelesaikan misi sosialisasinya”, kenangnya. Hingga akhirnya, kelelahan telah memperparah penyakit yang memang sudah diidapnya selama ini. Selain memiliki kadar gula yang tinggi juga komplikasi dengan jantung koroner. Hari berikutnya sempat membaik, namun malam harinya kondisinya berbalik kritis. Sampai akhirnya pukul 20.10, gembala yang baik itu tidak bisa lagi bertahan. Pastor Bonus, gembala yang baik itu telah menyelesaikan misi karya pastoralnya.

Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr saat merayakan ulang tahun imamatnya yang ke 25 tanggal 8 Desember 1995, dengan rendah hati sempat menuliskan: “Saya ingin mengucapkan syukur kepada Allah yang telah memanggil dan memilih saya menjadi imamNya. Kendati saya banyak kelemahan dan kekurangan, kendati banyak orang yang mungkin lebih baik daripada saya, namun justru sayalah yang dipercayai” Ungkapan sadar bahwa dalam segala kelemahannya Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr selalu berupaya jatuh bangun mengusahakan diri menjadi gembala yang baik bagi domba-dombanya.

Ego sum pastor bonus, Aku adalah gembala yang baik ! Memang motto itu bukan sebagai pernyataan bahwa beliau adalah sungguh-sungguh gembala yang baik, melainkan suatu cita-cita, suatu idealisme yang mendorong beliau untuk menjadi gembala yang baik. Semoga kita juga memahami ungkapan kerapuhan diri Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr sekaligus motivasi idealismenya, serta selalu siap dan tergerak untuk menggembalakan dan digembalakan. (A. Luluk Widyawan, Pr, tinggal di Ponorogo)