Pages

Thursday, November 17, 2005

Paskah Di Era Neoliberal: Bangkitlah Komunitas Basis



Paskah belum berlalu, masa paskah masih kita jalani. Paskah diimani sebagai peristiwa Kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus menunjukkan kemenanganNya atas maut. Yesus telah mati karena dosa manusia yang tampil dalam rupa keangkuhan kaum kuat kuasa pada jamanNya. Mereka membenci karya Yesus mermbongkar struktur sosial, ekonomi, politik demi memerdekakan kaum miskin.

Kematian Yesus di salib justru berkenan di hadapan Allah. Kebangkitannya pada hari ketiga merupakan bukti nyata. Benar bahwa biji gandum harus jatuh ke dalam tanah dan mati agar menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24). Dengan demikian kematianNya bukan kematianNya konyol. KematianNya bernilai luhur karena Ia mati dalam misi pemerdekaaan tanpa kekerasan.

Di balik peristiwa Paskah, terdapat kisah para wanita saksi pertama kepergian Yesus serta para murid yang menyaksikan penampakkanNya. Sesungguhnya mereka berada dalam situasi sulit dan yang pasti amat takut. Seluruh sistem kaum kuat kuasa telah menindas mereka. Apalagi Yesus yang mereka ikuti telah mati secara hina. Mereka mengalami ujian berat berupa pengalaman kesengsaraan Sang Guru. Ketika terjadi penampakan mereka ragu-ragu, degil dan tak percaya begitu saja. Akan tetapi kelak peristiwa Paskah menjadikan para rasul pelayan pembangunan era baru dan terlebih Petrus yang menguatkan iman saudara-saudaranya. Ketakutan, kecemasan personal itu kelak terkristal menjadi komunitas yang percaya untuk mewartakan kabar gembira.

Paskah kemudian mendapat arti baru, saat Allah berkenan menyelamatkan, membela, memeluk dan solider dengan mereka yang menderita, yang kalah, yang tergusur dari cengkeraman maut. Kini, mereka adalah kaum miskin yang tersingkir dalam percaturan sistem liberal-kapitalis. Maut pada masa sekarang hadir dalam rupa ancaman nafsu serakah manusia, ialah dosa. Dosa jaman ini tak hanya self interst manusia tetapi juga sistem sosial, ekonomi, politik, budaya serta keputusan yang mengancam kaum miskin dan menguntungkan kelompok kecil masyarakat. Wujudnya berupa struktur neoliberalisme yang digerakkan ideologi kepitalisme-liberalisme.

Kapitalisme-liberalisme menyebabkan kompetisi penuh sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Siapa yang bertahan dialah yang terbaik (the fittest the best), siapa yang bertahan dialah yang menang (survival of the fittest). Dalam hal ini tak ada kedaulatan rakyat. Kedua paham yang dihembuskan oleh globalisasi selain melumpuhkan daya politik dan ekonomi juga merontokkan daya sosial warga.

Budiman Sujatmiko (Disiplin Pasar Neoliberal, Kompas, 2002) yakin terhadap lumpuhnya ikatan solidaritas horisontal. Lemahnya ikatan solidaritas horisontal merupakan akar kehancuran civil society. Tanpa ragu ia mengatakan bahwa penyebab kehancuran itu ialah dominasi gelombang neoliberal yang berkembang sejak tahun 1980-an. Bentuknya ialah kekacauan pembangunan ekonomi dan perpolitikan negara-negara berkembang.

Budiman mengatakan bahwa kelas menengah bersekutu dengan sistem politik otoriter dan ekonomi neoliberal. Akibatnya, lapisan masyarakat bawah mengalami pemisahan dalam unit-unit produksi kecil-kecilan. Mereka terpecah sekedar menjadi buruh sub kontrak, pekerja lepas, petani yang kehilangan hak atas tanah, para pengecer kecil, berkurangnya konsentrasi buruh dan jutaan massa pengangguran. Budiman menyebut massa sebagai partikel-partikel atom yang mengambang hilir mudik sekaligus terasing satu sama lain.

Sependapat dengan Budiman, Indra J. Piliang (Demokrasi Tempe dan Peragian Sosial, Kompas, 2003) membuktikan lemahnya solidaritas sosial di Indonesia. Indra menyebut kelas menengah yang kehilangan arah, emoh terjun ke politik praktis, lemahnya political reverage komunitas-komunitas pendobrak, gagalnya kalangan muda menyepakati agenda bersama, tiadanya sinergi antar kaum reformis dan demokrat serta tokoh-tokoh ormas yang saling divergen. Mereka kebanyakan kehabisan energi karena terbelit masalah internal untuk survival of the fittest.

Inilah saat hadirnya akhir sosial. Kesatuan atau solidaritas semakin kehilangan realitas sosialnya. Alan Tourine (Two Interpretations of Social Change, University of California Press, 1992) menyebutkan bahwa penyebabnya ialah individu maupun kelompok yang tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai dan norma sosial, tetapi mengikuti strategi kapitalisme global. Proses akhir sosial ini ditandai dengan lenyapnya komunitas yang diikat oleh ideologi politik tertentu, berganti individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel.

Noorena Hertz (Silent Takeover and The Death of Democracy) menyebut keadaan itu sebagai the death of democracy. Kematian demokrasi sebenarnya telah diupayakan kaum kuat kuasa yang sibuk melayani kapitalis global. Mereka menjajakan negaranya kepada kapitalis global agar menanamkan modal dengan tawaran menggiurkan sekaligus menindas rakyat. Kaum kuat kuasa tidak lagi mengabdi rakyat tetapi justru menguntungkan dirinya dan kapitalis global. Beberapa contoh kebijakan yang menindas itu ialah: penurunan tarif impor, penjualan aset perusahaan milik negara, kenaikan tarif listrik, BBM dan sebagainya. Kaum kapitalis global dengan demikian memperlemah institusi demokrasi bahkan mengupayakan kematiannya. Sementara itu campur tangan IMF, World Bank dan WTO yang berdalih menyehatkan perbankan terbukti mengakibatkan Indonesia yang semula tak punya utang kemudian terbebani 75 milyar dollar AS

Betapa mengerikan jebakan-jebakan kapitalisme-liberalisme yang tidak mengenal altruisme, etika dan kemurahan hati. Susan George (Kapitalisme Neoliberal, Kompas, 2003) peserta diskusi Third World Social Forum dari Porto Alegro, Brasil menyerukan bahwa strategi yang dipakai bukan lagi persuasi. Karena, tak ada lagi penderitaan yang mampu mengendalikan nurani mereka untuk mengubah praktik-praktiknya yang menindas. Hanya kekuatan rakyat yang bisa mengubahnya, tetapi gerakan ini harus non kekerasan.

Globalisasi dengan ideologi neoliberalisme memang telah memangsa dengan kerakusannya, tetapi kekuatan rakyat antiglobalisasi akan melawannya. Kekuatan rakyat itu ialah para mahasiswa, penganggur, buruh, aktivis lingkungan, rakyat desa yang tergususr, serta mereka yang masih punya hati untuk kaum miskin yang lemah, tergeser dan tergusur. Sebagai contoh: pertemuan WTO di Seatlle, November 1999 diprotes sekitar 30.000 orang, pertemuan Bank Pembangunan Asia di Chiang Mai awal Mei 2002 dihujat 5.000 aktivis, buruh India mogok menolak penyerahan kedaulatan nasional ke tangan IMF dan World Bank pada tanggal 10 Mei 2002, sementara itu 80.000 aktivis menentang aksi IMF di Argentina pada pertengahan Mei 2002, konferensi PBB tentang pembangunan baru Agustus-September 2002 di Johanesberg dicaci 10.000 orang, pertemuan WEC di Davos, Swiss, Januari 2002 ditentang.

Di Indonesia, pada Januari 2002 CGI digugat Koalisi Anti Utang, awal 2003 kita ingat ini kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik serta telepon sebagai syarat pengucuran dana IMF ditentang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Karena, seperti pendapat Joseph Stiglitz (Globalization and It’s Discontent), anjuran IMF dan sekutunya tidak membantu, tetapi justru memojokkan negara yang dibantu ke jurang utang, apalagi bantuan dari mereka hanya menguntungkan kapitalis global di Wall Street.

Aneka protes tersebut memang menunjukkan benih-benih kebangkitan komunitas basis antineoliberalisme. Benih kesatuan antineoliberalisme itu akan lebih terarah bila ada sinergi, kerjasama, baik antar individu maupun antar komunitas basis, yang anti divergensi, anti individulis sehingga akan mengurangi persaingan di antara mereka.

Kebangkitan komunitas basis yang sedemikian ini akan mampu menyusupkan rancangan yang mempengaruhi keputusan pemerintah dari tingkat lokal, basis dan pelan-pelan mengarah ke pusat dalam bentuk yang besar. Komunitas-komuniras inilah yang bisa menyebarkan konsep kesadaran akan hak di tingkat lokal. Pemberdayaan yang ditaburkan akan memicu pastisipasi masyarakat dalam membuat keputusan-keputusan yang memihak kaum miskin serta menumbuhkan masyarakat sehat sebagai pesaing neoliberalisme.

Peristiwa kebangkitan telah menjadi referensi bagi individu yang semula takut, cemas, degil, tak percaya, terasing, mencari selamat sendiri survival of the fittest, karena Sang Guru mati secara hina) menjadi rindu kebangkitan, bersekutu, berkumpul dan saling menguatkan. Sukacita Paskah karena kebangkitan telah menjadi dasarnya. Memang sukacita itu sulit karena kesusahan dan penderitaan mengelilingi mereka, layaknya kepedihan manusia jaman ini menyaksikan aneka kerakusan neoliberalisme dalam rupa perang terbuka atau penindasan halus. Tetapi sukacita yang dimaksud bukan gebyar hura-hura pesta, melainkan sukacita jernih, berani menghadapi kesumpekan layaknya aneka penindasan atau pelanggaran HAM, bahkan maut sekalipun karena iman dan harapan. Dalam kepedihan dan kesusahan ditinggalkan Yesus, tetap ada harapan. Kelak komunitas kecil yang penuh harapan, sebagaimana dicatat Paulus, justru berkembang, bertambah kira-kira tiga ribu jiwa, bertekun dalam doa, memecahkan roti, tetap berbagi, sehati, makan bersama dengan bumbu rasa gembira dan tulus hati mewartakan kabar gembira pada dunia (Kis 2:41-47).

Jemaat perdana saksi pertama kebangkitan Yesus telah mengajarkan bahwa hanya dengan kebangkitan komunitas basis yang didasari niat sinergi atau merger, daya tawar menghadapi kerakusakan neoliberalisme akan terbentuk. Kebangkitan komunitas basis niscaya akan menumbuhkan rasa solidaritas bangsa. Dari ruang kecil inilah demokrasi bisa ditumbuhkan hingga kelak menjadi civil society yang menjadi kekuatan metafisik mengatasi kekuatan negara dan pasar, sekaligus menjadi kekuatan bayangan pembela kaum miskin, kaum penderita yang lemah, tergeser dan tergusur.

Sekedar pengalaman dari wilayah lahirnya komunitas basis, Bogota tiap malam ialah sebuah kota riuh hura-hura. Ibu kota para kartel obat bius, para pejalan kaki mabuk, berdendang lagu-lagu Amerika Latin, atau nongkrong bergerombol di pinggir jalan, di trotoar, bercerita dan tertawa-tawa. Namun jauh di pinggiran kota Honorio del Jesus tengah duduk bersama kelompoknya. Di tangan pedagang ikan itu terbuka sebuah Kitab Suci yang lusuh. Sementara anggota lainnya mengikuti dengan sepenuh hati. Sore hari duduk sendirian atau dalam kelompok mendengarkan sabda merupakan kesempatan baginya dan banyak kelompok-kelompok kecil lainnya untuk memilah hidup dari kepalsuannya. Mereka mendengarkan sabda, berdoa dan sharing pengalaman. Dan karena didasari sabda Allah buahnya bukan saja pertobatan batin tetapi juga perbaikan hidup sosial yang nyata. Hikmahnya adalah di saat terjadi kebobrokan yang menggerogoti negerinya, mengobatinya dimulai dari pinggir, dari kelompok-kelompok kecil, bukan dari tengah meja kekuasaan yang angkuh dan korup.

Marcello de Avezedo yang menulis Basic Ecclesial Communities, Scope and Challenge of a New Way of Being Church, 1987, semacam menggarisbawahi bahwa dari ketidakberdayaan bisa lahir sepercik harapan. Di hadapan jurang, orang yang terpojok harus melompat sendiri untuk sampai ke sisi lain bernama harapan. Inilah yang juga dimiliki para saksi pertama peristiwa kebangkitan Yesus.