Pages

Thursday, November 17, 2005

Perempuan, The Second Sex ?


Ada ungkapan: perempuan adalah konco wingking. Demikianlah ungkapan yang ada dalam budaya masyarakat kita, utamanya dalam budaya Jawa. Ungkapan itu artinya kurang lebih, perempuan adalah teman hidup lelaki yang hidupnya di belakang. Urusan perempuan selalu ada di belakang, yaitu di dapur. Sebagaimana dalam budaya Jawa dapur letaknya berada di belakang. Dalam masyarakat terdapat pula pameo sejenis, “setinggi apapun pendidikan yang dicapai perempuan, toh akhirnya harus masuk dapur”. Kedua ungkapan tersebut menunjukkan bahwa budaya masyarakat menempatkan perempuan sebagai the second sex dibanding lelaki.

Sebagai gambaran, di daerah pedesaan, kenyataan bahwa perempuan sebagai penyangga kehidupan rumah tangga yang menangani urusan domestik masih banyak dijumpai. Seperti beberapa perempuan yang bisa ditemui di sepanjang jalan Pacitan-Ponorogo, tepatnya di sekitar daerah Tegal Ombo. Selain harus menjalankan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, mereka harus memecah batu untuk menopang kehidupan keluarganya. Pekerjaan yang berat tentunya.

Perempuan di daerah pedesaan dalam tugasnya menyiapkan kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya, tak jarang harus sungguh memeras keringat. Keadaan semakin sulit ketika kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan untuk membeli beras. Di daerah tersebut, masih banyak warga yang mengkonsumsi gaplek sebagai makanan pokok pengganti beras. Ketela yang dipanen dari ladang dipotong-potong, kemudian direndam dalam air lalu dijemur. Setelah itu, bisa digoreng atau direbus untuk makanan pokok. Tentu dengan lauk pauk seadanya, daun ketela, daun pepaya yang direbus serta sambal.

Pada saat musim kemarau ketika kekeringan melanda ladang mereka, keadaan lebih sulit lagi. Lauk pauk seperti tempe, tahu atau ikan asin menjadi sesuatu yang mewah. Tetapi perempuan telanjur dianggap sebagai pemberi pangan keluarga yang bertanggung jawab mengurusi urusan konsumsi. Pada saat itulah beban perempuan semakin berat.

Tanggung jawab sebagai konco wingking perempuan-perempuan inilah yang membuat mereka menyediakan makan tiga kali sehari untuk suami dan anak-anak. Walau sebenarnya menu tersebut jauh dari pemenuhan standar gizi. Ketika terjadi kesulitan lain dalam keluarga pun, ada kecenderungan perempuan yang menangani.

Pada umumnya, perempuan memiliki tanggung jawab tersebut. Mereka memutar otak dalam keadaan yang sulit. Bagaimanapun perempuan akan tampil menangani urusan domestik keluarga. Inilah yang sebenarnya menjadikan perempuan-perempuan sebagai sosok yang mengagumkan. Di wilayah pedesaan mereka begitu ulet, mulai dari mengelola tanaman di kebun, mengatur keuangan, menyiapkan makanan, belum lagi mencari tambahan penghasilan. Dengan rata-rata jam kerja lebih lama dibandingkan lelaki, perempuan menyiapkan segala kebutuhan seluruh keluarga.

Akan tetapi pekerjaan perempuan dalam rumah tangga seperti menyiapkan makanan sering dipandang tidak memiliki nilai pasar dan tidak memiliki nilai tukar meskipun pekerjaan tersebut jelas-jelas berguna. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan demi cinta dan gratis. Bahkan meskipun melakukan tugas yang penting, perempuan bukan penguasa rumah tangga. Keputusan-keputusan penting dalam keluarga seringkali tidak berada di tangan perempuan.

Keadaan ini yang menempatkan bahwa perempuan sebenarnya sebagai korban. Seringkali masyarakat tidak melihat kerja keras perempuan sebagai tugas luhur atau sebagai sesuatu yang layak dihargai. Sepertinya peran perempuan memang sudah seharusnya demikian. Partisipasi perempuan, bahkan dalam bidang ekonomi tidak menaikkan status perempuan. Tragisnya, peran perempuan justru sering menjerumuskan mereka sendiri.

Terbentuknya situasi yang tidak menguntungkan perempuan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai the second sex. Tugas perempuan di sektor domestik dianggap sebagai tradisi. Mulai dari mengurus rumah tangga, menyiapkan kebutuhan pangan hingga menjaga supaya keluarga tetap harmonis merupakan tanggung jawab perempuan. Dalam kehidupan rumah tangga, seorang istri cenderung mengurus segala sesuatu, sementara suami cenderung minta dilayani. Lelaki tugasnya dianggap cukup setelah menjalankan tugasnya mencari nafkah. Keadaan ini terbentuk jelas karena dibuat dan bukan karena sesuatu yang kodrati.

Persoalan perempuan merupakan persoalan struktural masyarakat. Dalam masyarakat bahkan ada anggapan, jika segala usaha perempuan di sektor domestik tidak beres, maka akan mengakibatkan kekacauan. Karena perempuan adalah tonggak keluarga. Sekalipun perempuan diperbolehkan bekerja di sektor publik, perempuan tetap harus bertanggungjawab terhadap sektor domestik.

Stereotip perempuan sebagai the second sex dikukuhkan lewat budaya populer sehingga justru mendukung ideologi yang bersifat patriakal. Tidak repot mencari contohnya dalam tayangan televisi. Dalam sinetron berjudul Kesucian Prasasti, Ayu Azhari pemeran tokoh Prasasti ditampilkan menanggung ketidakadilan dan penderitaan secara pasif. Nasehat yang diterima dari sang ibu juga selalu klise, yakni bahwa tugas istri memang adalah mengabdi kepada suaminya. Kepasrahan dan ketidakberdayaan yang dikemas dalam ketabahan dan kesediaan untuk menderita demi kebahagiaan orang lain adalah sedikit dari sekian banyak suara nilai-nilai dominan yang membangun citra perempuan yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan sendiri.

Iklan-iklan di berbagai media masa juga berperan aktif dalam mengukuhkan stereotip perempuan yang negatif. Ada istri yang suaminya tidak kerasan di rumah karena istrinya belum memakai ramuan Madura atau ada perempuan yang minder hanya karena warna kulitnya tidak seputih perempuan lainnya.

Faktor agama ikut juga mempengaruhi pandangan tentang perempuan. Agama yang lahir dari budaya Timur Tengah (yang kemudian diadopsi Barat) lebih berpatokan pada kitab Perjanjian Lama (Kej 1:28) untuk: "Beranakcuculah yang banyak supaya keturunanmu mendiami seluruh muka bumi serta menguasainya." Istilah menguasainya kemudian diartikan oleh kultur Barat menjadi mengeksploitasi apa saja, termasuk mengeksploitasi kaum perempuan.

Budaya yang menempatkan figur perempuan sebagai obyek yang harus dieksploitasi, juga bermula dari Kitab Kejadian. Perempuan hanyalah sepotong tulang rusuk yang diambil dari tubuh seorang lelaki. Kemudian ketika setan datang menggoda manusia agar memakan buah terlarang, maka yang pertama kali tergoda adalah perempuan. Bukan lelaki. Bahkan ketika Allah marah, karena laranganNya dilanggar manusia, maka lelaki mempersoalkan perempuan yang telah memberikan buah terlarang itu kepadanya. Karenanya, budaya Timur Tengah purba cenderung memposisikan perempuan sebagai the second sex bahkan sama dengan ternak dan harta benda lainnya. Setiap kali terjadi perang dan penaklukkan, maka pihak yang menang akan ternak, harta benda dan tak ketinggalan perempuan.

Di sebagian besar masyarakat dunia ketiga subordinasi perempuan masih memprihatinkan. Lelaki ditempatkan secara tipikal dalam posisi dominan sebagai pencari nafkah atau sebagai pekerja produktif dan menyandang peran sebagai penghasil pendapatan utama. Sedangkan perempuan ditempatkan pada posisi yang bertanggung jawab atas kegiatan reproduktif dan pekerjaan domestik yang terkait dalam urusan rumah tangga. Ketika perempuan memasuki wilayah publik pun, perempuan masih dipandang sebagai tenaga kerja murah yang layak dibayar rendah. Lebih parah lagi penderitaan perempuan dari keluarga miskin. Mereka hidup amat menderita karena menanggung keadaan sebagai warga negara yang terbelakang, sebagai petani yang tinggal di daerah yang miskin sekaligus sebagai perempuan yang hidup dalam suasana didominasi masyarakat berjenis kelamin lelaki.

Kenyataan bahwa perempuan selama bertahun-tahun dipandang sekedar sebagai the second sex membuat Gereja Katolik memberikan pandangan yang tepat tentang perempuan. Dalam Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengatakan, “Allah mewahyukan martabat perempuan dengan cara yang seluhur mungkin, dengan mengenakan tubuh manusiawi dari Perawan Maria, yang oleh Gereja dihormati sebagai Bunda Allah. Gereja menyebutnya Hawa baru dan menampilkannya sebagai pola perempuan yang ditebus. Sikap hormat Yesus yang penuh perasaan terhadap perempuan, yang dipanggilNya untuk mengikutiNya dan menjadi sahabat-sahabatNya, penampakanNya pada hari Paska pagi kepada perempuan sebelum Ia memperlihatkan Diri kepada para murid lainnya, perutusan yang dipercayakan kepada para perempuan untuk menyampaikan warta gembira tentang kebangkitan kepada para Rasul. Semuanya itu merupakan tanda yang menggarisabawahi bahwa Tuhan Yesus secara khas menghargai kaum perempuan” (FC. 22).

Kesadaran akan tidak adanya penghargaan yang dialami kaum perempuan, telah membuat mereka berjuang untuk mendapatkan apa yang dinamakan kesetaraan. Perjuangan perempuan pada dasawarsa terakhir memang mampu membongkar mitos bahwa perempuan mahluk lemah, korban, subordinat, sekedar konco wingking. Posisi ini kebanyakan diraih oleh perempuan di perkotaan. Mereka berhasil meraih prestasi di bidang ekonomi sebagai unsur untuk diperhitungkan di wilayah publik. Kemandirian secara ekonomis membuat mereka tak lagi pasif sekedar sebagai the second sex.

Statistik di Indonesia menunjukkan, dalam kurun waktu satu dasawarsa, jumlah PNS perempuan Indonesia mengalami peningkatan sekitar 5 persen dengan jenjang pendidikan yang juga meningkat. Sementara dalam waktu sepuluh tahun, terdapat peningkatan sekitar 10 persen untuk tingkat melek huruf pada kaum perempuan, dari sekitar 74 persen menjadi 84 persen. Selain itu persetujuan kuota 30 persen perempuan di badan legislatif, semakin banyaknya kesempatan pendidikan dan pekerjaan perempuan telah memberi angin segar bagi perempuan. Meskipun masih terdapat banyak kekurangan.

Peluang ini tetap memberikan tantangan bagi perempuan. Bagaimana perempuan bisa menguasai status rangkap itu ketika harus berkarier? Padahal perempuan tetap berada dalam posisi pemegang tanggung jawab beresnya segala urusan domestik. Perempuan sendiri telanjur percaya akan peran mereka sekedar sebagai konco wingking, the second sex atau bahkan pasrah terhadap represi lelaki. Bahkan ada yang menerima posisi subordinat tersebut sebagai kodrat dan bukan budaya.

Di sisi lain kemapanan perempuan secara ekonomis bisa membuat perempuan menjadi sangat maskulin, bahkan anti lelaki. Persoalannya apakah dengan keadaan perempuan yang menjadi sangat powerfull dengan perannya di wilayah publik tersebut lantas dengan sendirinya perempuan lebih sombong, serba tahu, menganggap diri modern daripada lelaki dan mereka yang memilih peran di wilayah domestik. Jawabnya tentu tidak.

Namun tetap saja ada fakta demikian, “Susahlah perempuan sekarang, sekolah tinggi-tinggi, malah enggak mau kawin”. Atau keputusan nekat perempuan meminta cerai dari suaminya karena merasa terkurung dalam perkawinan, merasa sekedar menjadi “mesin” kaum lelaki, merasa pintar serta mampu menghasilkan uang lebih banyak. Sementara lelaki menjadi repot karena perempuan terlalu pintar hingga ogah menyentuh dapur atau tidak tahu membereskan urusan rumah tangga. Mungkin contoh-contoh ini terlalu ekstrim, tetapi potret buram itu tetap ada.

Maka hal yang paling strategis untuk senantiasa diperjuangkan terus menerus ialah bahwa antara pria dan wanita adalah sosok-sosok yang diciptakan untuk saling melengkapi yang dipersatukan untuk bukan untuk saling bersaing tetapi untuk saling menciptakan suasana yang produktif. Kesetaraan dengan tetap menghargai keunikan masing-masing harus semakin diciptakan. Penciptaan adalah sebuah perjuangan untuk berproses. Apalagi dalam budaya yang memang sejak awalnya menempatkan wanita sebagai the second sex. Perjuangan itu membutuhkan waktu yang lebih panjang.