Pages

Wednesday, November 16, 2005

YB. Mangunwijaya Dan Teologi Pemerdekaannya I



Riwayat Hidup Singkat Y.B. Mangunwijaya

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah. Ia adalah anak tertua dari duabelas bersaudara, putra pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Seraphine Kamandaniyah. Mangunwijaya menempuh pendidikan dasar di Muntilan, Magelang. Pendidikan inilah yang menurutnya yang paling mengesankan dan menguntungkan.

Pada tahun 1945, Mangunwijaya terlibat dalam dunia militer, meskipun saat itu ia sedang belajar di Sekolah Teknik, di Yogyakarta. Hal itu terjadi ketika Belanda melakukan agresi militernya di Yogyakarta. Ia sempat menjadi prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon X, dan Kompi Zeni. Ia menjadi anggota tentara pelajar untuk membantu logistik di daerah Kedu.

Masa perjuangan merupakan suasana penuh tragedi. Pengalaman dan pengujian dalam revolusi fisik menjadikan Mangunwijaya terbuka terhadap kenyataan masyarakat yang tertindas dan terjepit dalam berbagai segi kehidupannya. Ia bahkan melihat bahwa rakyat kecil menjadi tumbal-tumbal revolusi. Namun tragisnya, rakyat kecil tidak pernah dicatat perjuangannya, tatkala kemenangan telah diraih.

Refleksi tersebut muncul setelah mendengarkan pidato Mayor Isman yang intinya berbunyi bahwa para prajurit bukan pahlawan. Karena, para prajurit sudah membunuh, membakar, berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam. Justru yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi prajurit. Tetapi rakyat yang selalu menjadi korban, diperkosa, dibakar rumahnya dan ditembak.

Pidato tersebut mengubah segala orientasi masa muda Mangunwijaya. Semula ia pernah bercita-cita menjadi guru seperti ayahnya dan ingin menikahi seorang putri ayu. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi rohaniwan Katolik. Alasannya, rohaniwan tidak bekerja demi harta dan kekuasaan, apalagi dengan tangan berlumuran darah.

Pada tahun 1951, ia mengawali cita-cita barunya dengan masuk Seminari kecil di Magelang. Pada tahun 1952-1953, ia melanjutkan ke Seminari Menengah di Magelang. Setelah lulus, Mangunwijaya meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi Yogyakarta. Ia satu-satunya orang dalam angkatannya yang mengambil keputusan untuk menjadi Imam Praja.

Pada tahun 1959, Mangunwijaya menerima pentahbisan imamat dari Mgr, Albertus Soegiopranoto, SJ. Kemudian, Mangunwijaya menerima tugasnya yang tidak biasa, yaitu belajar arsitektur tata kota di Institut Teknologi Bandung. Selanjutnya, ia dikirim ke Jerman untuk meneruskan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Preinisch-Westfaclisch Aachen, Jerman Barat. Di Aachen, rohaniwan muda dengan beasiswa sebesar DM. 250 per bulan itu harus mencari cara sendiri agar bisa hidup dan belajar. Mangunwijaya memilih menjadi penjaga di sebuah Taman Kanak-Kanak, dengan memperoleh kamar gratis.

Pada tahun 1967, Mangunwijaya kembali ke Indonesia setelah berhasil meraih gelarnya. Di bawah pimpinan Uskup Justinus Darmojuwono, Mangunwijaya membagikan dan mempraktekan ilmunya. Ia mulai membangun gereja, tempat ziarah dan biara dengan bahan lokal. Selain itu, ia membagikan ilmunya di Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

Pada tahun 1969, Mangunwijaya menjadi rohaniwan di sebuah desa sebelah utara Yogyakarta. Kemudian, ia memutuskan pindah ke desa Salam untuk menjadi pimpinan di suatu pusat pendidikan awam. Mangunwijaya bersama aktivis awam dari paroki-paroki berkumpul untuk membahas strategi-strategi dan metode-metode mereka di dalam Gereja yang sedang menjadi komunitas standar.

Pada tahun 1980, Mangunwijaya menekuni kegiatan sebagai pekerja sosial di tepi sungai Code, Yogyakarta. Ia mengerjakan proyek pemugaran daerah kumuh. Daerah tersebut dihuni para tukang becak, pelacur dan pemulung. Daerah itu pada awal tahun 1980 dilanda banjir. Pemerintah kota ingin memindahkan penduduk dan hendak menyingkirkan orang-orang melarat yang bertempat tinggal di dekat hotel-hotel untuk para turis. Akan tetapi, rencana itu menemui banyak kendala. Mangunwijaya sendiri bermukim di daerah itu untuk melindungi para penduduk secara fisik. Bahkan, suatu saat ia mengancam mogok makan, untuk menentang penggusuran penduduk.

Selama hidupnya, Mangunwijaya dikenal juga sebagai penulis. Ia menulis novel serta essai-essai politis dan teologis. Lewat tulisan, Mangunwijaya memberikan aneka penjernihan dan pembelaan, terutama kepada mereka yang dipojokkan, yang dikalahkan dan kepada kaum miskin. Contohnya, ia menulis berbagai hal yang terkait dengan kasus Timor-Timur, kasus 27 Juli, kasus Marsinah dan sebagainya. Selain lewat tulisan, Mangunwijaya juga terlibat secara langsung dalam pemihakan kepada yang dipojokkan, yang dikalahkan dan kaum miskin. Keterlibatannya tampak ketika ia mendukung rakyat di tepi sungai Code atau di tepi genangan Kedung Ombo.

Akhirnya, Mangunwijaya, seorang rohaniwan, budayawan, arsitek esaiis, novelis itu meninggal pada hari Rabu, tanggal 10 Februari 1999, pukul 13.55 WIB. Ia meninggal pada usia menjelang 70 tahun akibat serangan jantung. Peristiwa itu terjadi sesaat setelah Mangunwijaya menyampaikan makalahnya dalam simposium "Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia" yang diselenggarakan di Hotel Le Meredien, Jakarta. Jenasah Mangunwijaya dimakamkan di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta, pada tanggal 12 Februari 1999.

Latar Belakang Pemikiran

Latar belakang pemikiran Mangunwijaya berkaitan erat dengan situasi Gereja di Indonesia. Situasi Gereja di Indonesia dan lingkungan konteksnya kurang lebih dalam keadaan sebagai berikut:

Jumlah Umat yang Minoritas

Situasi jumlah umat Katolik di Indonesia adalah minoritas. Situasi ini kerap mengakibatkan Gereja lemah dan tidak sempurna dalam menjalankan perannya, khususnya di bidang politik. Gereja seringkali diam atau takut menghadapi peristiwa-peristiwa ketidakadilan. Gereja cenderung bersikap toleran terhadap kejahatan dan tanpa disadari menjadi mitra mereka yang berbuat jahat.

Sifat Kolonial Dan Asing Gereja

Gereja di Indonesia berasal dari luar negeri dan hidup berkat dukungan luar negeri. Asal mula Gereja terkait dengan datangnya penjajah. Kerjasama para pendahulu Gereja dengan para misionaris kerap ditafsirkan dengan pengkhianatan terhadap tanah air. Apalagi Gereja sering tidak bersedia meninggalkan ciri-ciri Barat dalam pola hidupnya. Meskipun sumbangan Gereja terhadap dunia pendidikan atau pelayanan sosial cukup besar, Gereja tetap menghadapi tantangan untuk membuktikan komitmennya terhadap tanah tumpah darah para warganya.

Hidup Bersama Agama Besar Lain

Wajah Gereja yang identik dengan penjajah justru dilihat secara jelas oleh pengikut agama lain. Gereja dianggap sebagai perpanjangan tangan dari dominasi atau kolonialisme rohani pihak barat. Maka, Gereja harus berusaha keras agar terlepas dari pandangan yang demikian. Usaha yang patut dilakukan ialah menampilkan wajah Gereja yang berjati diri pribumi melalui inkulturasi. Warisan kolonialisme harus ditinggalkan dengan mengubah sikap yang angkuh menjadi abdi yang melayani semua orang. Kerjasama yang terutama ialah dengan kaum Muslim. Bentuknya dapat berupa mewujudkan perdamaian, keadilan sosial dan nilai-nilai moral.

Situasi Mayoritas Masyarakat Yang Miskin

Gereja Indonesia berada di tengah masyarakat miskin, hidup dalam suasana feodal dan menderita. Ajaran Sosial Gereja menekankan bahwa Gereja harus memihak kaum miskin, tanpa menganaktirikan atau mengenyahkan kaum kaya dan kuat kuasa. Tetapi, sikap dan kebijakan pastoral untuk mengutamakan kaum miskin justru terdengan sumbang di kalangan para sarjana, orang-orang bisnis, birokrat dan juga rohaniwan.

Keprihatinan

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pelanggaran hak asasi manusia banyak terjadi di Indonesia. Mangunwijaya menuturkan bahwa penghargaan atas hak asasi manusia di Indonesia sering dipandang sebelah mata. Jika ada pembicaraan mengenai hak-hak asasi manusia, banyak pihak menaruh sikap curiga. Pembelaan terhadap hak asasi manusia dituding sebagai sikap liberal. Hal itu tampak pada beberapa kasus yang mencuat seperti kasus Marsinah dan kasus pembangunan waduk di Nipah, Madura. Mangunwijaya menegaskan bahwa munculnya kasus itu memberi tanda adanya keinginan terwujudnya keadilan serta penghargaan terhadap martabat dan harkat sebagai manusia, lepas dari pangkat atau keturunan, bebas dari gelar yang dipunyainya, sehat atau cacat, pandai atau bodoh. Pendek kata, manusia Indonesia harus dihormati dan martabatnya patut dihargai. Hukum seharusnya berlaku untuk setiap warga negara, tanpa pandang bulu.

Beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia justru sering dilakukan dengan dalih, atas nama pembangunan. Atas nama pembangunan, maka segala cara dihalalkan, termasuk jika pembangunan menuntut pengorbanan. Dengan jurus jer basuki mawa beya, dipromosikan bahwa siapa yang ingin sejahtera harus berkorban.

Kenyataanya, kelompok tertentu akan memperoleh kesejahteraan dari suatu proyek, tetapi orang lain harus berkorban untuk pencapaian itu. Akibatnya, kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit mencapai kesejahteraan, sementara kelompok lain yang tertindas harus memikul penderitaan. Lebih parah lagi bila yang berkorban justru adalah kaum miskin. Mereka tidak mendapat ganti rugi yang layak, kehilangan tanah penghidupannya, kampung halaman dan investasi sekian abad dari nenek moyangnya. Sementara itu, mereka harus memulai hidup baru yang serba tak jelas dan penuh resiko. Padahal, menurut Mangunwijaya,

“suatu proyek yang sudah dinyatakan, feasible, layak, tak mungkin minta korban atau tumbal, apalagi tumbal dari yang justru paling lemah, paling miskin, paling tak berdaya”

Dari uraian di atas tampak bahwa Mangunwijaya membedakan antara pengorbanan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pengorbanan selalu terkait dengan kerelaan dan keikhlasan. Pengorbanan yang diwajibkan dan dipaksakan sebenarnya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pemaksaan semacam itu hanya dilakukan oleh pemerintah yang fasis atau komunis yang biasanya sarat dengan niat politis, keuntungan tertentu, bisnis serta ambisi.

Inilah situasi yang terjadi di negara Indonesia yang sebenarnya tidak akan terjadi bila pemerintah mengaturnya dengan benar. Tetapi kenyataannya lembaga pemerintah sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan justru bekerjasama dengan aparat menjukirbalikkan ideologi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan untuk kepentingan kelompok tertentu. Padahal fungsi pemegang kekuasaan sebenarnya untuk melindungi pihak yang paling lemah, yang sering menjadi tumbal demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak, bukan sebaliknya.

Kemiskinan

Situasi Masyarakat yang Miskin

Sebagian masyarakat Indonesia berada dalam situasi yang miskin. Mereka adalah rakyat kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan dan iklim feodal serta kolonial hingga mengalami penderitaan selama berabad-abad. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan walaupun benar dan tak punya banyak pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka diistilahkan Mangunwijaya sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan.

Menurut Mangunwijaya, pemahaman tentang kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati yang patuh kepada suatu sistem. Kemiskinan dipahaminya sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan sosial.

Selain disebabkan oleh sistem, kemiskinan di Indonesia menurut Mangunwijaya disebabkan oleh adanya pandangan dalam kebanyakan masyarakat bahwa hidup manusia tergantung pada suatu nasib yang telah ditentukan Tuhan. Tuhanlah yang menentukan seluruh gerak hidup manusia. Manusia tinggal menjalani hidup. Pendek kata, manusia harus pasrah pada nasib yang ditentukan oleh Tuhan. Dalam falsafah hidup yang demikian, manusia menganggap bahwa kesengsaraan, kemelaratan, ketidakadilan, penindasan serta kemiskinan tidak dipandang sebagai masalah yang harus dianalisa penyebabnya dan diperbaiki demi kesejahteraan bersama. Tetapi keadaan ini diterima dengan penuh kepasrahan sebagai bagian dari roda hidup yang harus dijalani. Mangunwijaya menekankan bahwa manusia harus bisa mengubah nasibnya. Alasannya, manusia diberi anugerah akal budi dan kebebasan oleh Tuhan. Akal budi membantu manusia bisa mengubah keadaannya. Akal budi membantu manusia mengetahui apa yang membuat mereka terus hidup dalam kemiskinan dan berusaha keluar dari kemiskinan itu.

Ketidakadilan

Mangunwijaya memiliki keyakinan bahwa kemiskinan dan penderitaan didukung oleh adanya sistem yang tidak adil. Kesadaran inilah yang harus terus dipupuk bahwa kemiskinan harus dilihat sebagai persoalan kolektif, karena tidak adanya keadilan dalam tatanan masyarakat. Bentuknya berupa tatanan hidup masyarakat di Indonesia yang tidak bersifat adil dan seimbang bagi setiap manusia Indonesia. Manusia dibedakan dalam hal kedudukan, kekayaan, asal-usul maupun keyakinan rohaninya. Padahal, substansi dari keadilan ialah penghargaan terhadap setiap manusia tanpa memandang kedudukan, kekayaan, asal-usul, maupun keyakinan rohaninya.
Mangunwijaya menguraikan bahwa sebenarnya manusia diciptakan menurut citra Allah (bdk. Kej 1:26). Artinya, manusia dilimpahi talenta atau rahmat yang cukup untuk menumbuhkembangkan hidupnya. Kalau ada orang bodoh atau terbelakang, menurutnya bukan karena manusia tidak memiliki bakat atau minat tetapi karena mereka terpasung atau tertindas oleh keadaan dan sistem. Keadaan tersebut membuat rakyat kecil semakin tersingkir dan tertindas sehingga melahirkan situasi yang disebut ketidakadilan struktural. Inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural dan harus dirombak. Struktur itu meliputi seluruh aspek kehidupan baik struktur ekonomi maupun politik. Karena sistem itu, kaum miskin dan lemah selalu dihisap dan dieksploitasi oleh kaum kuat dan kuasa.

Sistem yang tak adil disebut Mangunwijaya sebagai sosok hukum rimba buatan manusia. Para penguasa dunia telah membuat hukum yang tidak mengenal perikemanusiaan, bahkan hukum tersebut cenderung mengeksploitasi manusia lemah sebagai alat untuk memuliakan diri penguasa. Mereka, para penguasa dan kaum bersenjata, yang seharusnya melindungi masyarakat dan mengabdi untuk kepentingan umum, ternyata telah bertindak sewenang-wenang dan merajalela dengan cara-cara hukum rimba, dengan berpedoman bahwa yang kuat selalu mengalahkan yang kurang kuat. Kaum elite inilah yang menguasai sistem dalam masyarakat yang tidak memungkinkan kaum miskin untuk memperbaiki keadaan. Akibatnya, kesejahteraan bersama yang hendak dicapai tidak terwujud karena adanya kesenjangan antara penguasa dan yang dikuasai.

Ketidakadilan diperparah dengan sistem pemberian bantuan kepada kaum miskin dengan cara sekedar memberi ikan tanpa memberi kail. Pemberian ikan ibaratnya tidak memerdekakan kaum miskin dari kemiskinannya secara maksimal sehingga mampu memenuhi penghidupannya sendiri. Lagipula pemberian bantuan dari orang yang mampu kepada mereka yang tidak mampu hanya memupuk ketidakadilan. Tindakan tersebut belum mencerminkan asas keadilan, di mana setiap orang sewajarnya saling memberi dan menerima. Padahal keadilan terjadi bila di hadapan Tuhan semua manusia sederajat dan tidak lagi sekedar ada yang memberi dan menerima belaka.

Sistem Pendidikan

Mangunwijaya berpendapat bahwa pendidikan merupakan wahana yang paling vital dan fundamental untuk mengembangkan diri secara total dan integral. Ia berpendapat secara humanis bahwa pendidikan merupakan tempat yang membuat manusia semakin menumbuhkembangkan segala kemampuan dan potensi yang telah dimilikinya baik kemampuan kognitif, intelektual, afektif maupun bakat-bakat lainnya. Jika tidak demikian, pendidikan berarti gagal membawa manusia menuju pribadi yang utuh, dewasa dan manusiawi.

Kegagalan tersebut terbukti dengan adanya intervensi ideologis dan kepentingan politik yang mempengaruhi sistem pendidikan. Harus diakui, pendidikan di mana pun, secara historis dan empiris, tak pernah bersifat netral. Sebagai contoh, Mangunwijaya menyebutkan pendidikan telah menjadi alat penguasa untuk memperkuat dan membenarkan kemapanan mereka. Tujuannya tak lain demi pewarisan sikap dan mental untuk melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan penguasa. Situasi ini mencerminkan pendidikan di Indonesia sebenarnya telah menjadi budak dan subsistem yang mengabdi pada kekuatan-kekuatan intern politik, industri, bisnis, keuangan dan pergelutan kekuasaan.

Mangunwijaya melihat, bahwa pendidikan yang humanis sebenarnya telah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan ini menggantikan corak pendidikan yang bersifat sosialisasi, represif dan feodal. Pendidikan humanis ini sangat menghormati harkat dan martabat si anak, termasuk apa yang ada dalam diri si anak. Pada masa Orde Baru, pendidikan menjadi sekedar sosialisasi kognitif maupun afektif dan mengacu pada hegemoni penguasa ekonomi dan politik hingga bersifat indoktrinasi. Sistem pendidikan yang demikian merupakan ciri khas sistem pendidikan militer di mana yang berlaku adalah sistem komando.

Dalam sistem pendidikan yang bercorak militer, pendidikan yang humanis tak berjalan sama sekali. Sistem pendidikan tersebut disusun bukan atas dasar prinsip dan praksis untuk memerdekakan manusia, tetapi semata-mata untuk mengabdi pada struktur politik, industri, bisnis dan budaya yang dikehendaki penguasa. Seluruh sistem pendidikan dibuat seragam untuk memudahkan pengontrolan dengan sistem sentralisme. Akibatnya suasana pendidikan hanya menjadi alat birokrasi negara yang tidak bermanfaat bagi kepentingan individu.

Sentralisme pendidikan selanjutnya membuka jalan bagi para pemodal untuk menjadikan sekolah sebagai medan komersial. Akibatnya muncullah komersialisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan menyeret pendidikan ke arah persaingan kapitalisme semu hingga muncul istilah sekolah elit, plus, unggul, favorit dan sebagainya. Keadaan ini memunculkan persaingan yang tidak fair antara sekolah yang elit, plus, unggulan dengan sekolah yang tidak demikian. Korbannya adalah anak yang miskin yang selalu dikalahkan dalam kompetisi mendapatkan sekolah, apalagi yang baik biasanya mahal hingga tak terjangkau oleh anak yang miskin.

Situasi pendidikan yang demikian menurut Mangunwijaya tidak beres. Ia memprihatinkan suatu suasana yang melenceng dari iklim pendidikan yang sesungguhnya. Ia menilai bahwa sebenarnya program, jalur, jalan sudah ada dan terbuka, tetapi tidak ada yang lewat jalan itu. Akibat dari sistem pendidikan seperti ini adalah kegagalan bangsa Indonesia mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN, yaitu mewujudkan manusia seutuhnya. Manusia Indoneisa bukan semakin integral dan utuh, tetapi justru bergerak ke arah dehumanisasi. Keadaan ini amat memprihatinkan, karena akan banyak anak didik, terutama yang tidak mampu dan miskin akan menjadi korban dari sistem pendidikan yang ada. Anak yang miskin akan tersingkir hingga selalu berada dalam posisi miskin kemungkinan dan miskin kesempatan selama-lamanya.