Pages

Tuesday, April 04, 2006

Menolak Logika Pemodal (Global)



Demonstrasi buruh yang akhir-akhir ini terjadi merupakan upaya para buruh kembali memperjuangkan haknya. Ini adalah aksi kesekian kali dari buruh di seluruh Indonesia menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13/2003. Demo buruh niscaya bukan sekedar memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga merupakan sikap menolak penindasan oleh pemodal. Termasuk di dalamnya kapitalis global.

Sebagaimana diketahui, revisi UUK perlu dilakukan karena beberapa alasan. Alasan yang sering disebut-sebut pemerintah ialah upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di Indonesia. Klaim ini disebutkan mengingat perlunya meningkatkan investasi demi perbaikan ekonomi. Selain itu Menakertras, Erman Suparno menyebutkan revisi UUK juga dimaksudkan untuk menjamin turunnya jumlah pengangguran secara signifikan. Karena, berdasarkan data Satuan Kerja Nasional Biro Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia sangat memprihatinkan, sejumlah 10,8 juta orang pada tahun 2005. (Kompas, 31/3/2006).

Jumlah angka pengangguran yang begitu besar, memang memprihatinkan. Namun logika merevisi UU dengan maksud menciptakan iklim investasi bukan gagasan yang tepat. Patut diperhatikan, ada beberapa hal yang sebenarnya meyebabkan minimnya investasi di Indonasia. Ialah masalah birokrasi (21 persen), instruktur yang tidak memadai (19 persen), peraturan perpajakan (15 persen) dan korupsi (11 persen). Selain itu, alasan rendahnya kualitas sumber daya manusia terkait dengan masalah kinerja (9 persen) dan instabilitas kebijakan yang mengakibatkan maraknya aksi unjuk rasa (7 persen). Jadi, pemecahan masalah menarik investor semestinya dilakukan dengan membenahi sistem birokrasi terlebih dahulu, bukan sebaliknya mengubah UUK yang berarti memperlemah posisi buruh.

Kekhawatiran Buruh

Demo para buruh sesungguhnya menampilkan kekhawatiran bahwa mereka akan kembali tertindas. Kekhawatiran tersebut muncul karena revisi UUK No 13/2003 akan mengubah beberapa pasal yang dimaksudkan menguntungkan pemodal saja.

Misalnya rencana mengubah pasal 59 tentang perjanjian waktu kerja tertentu yang selama ini definisinya kabur. Buruh tidak menginginkan jika hasil revisi justru melegalkan pekerjaan waktu tertentu (kontrak). Penghapusan pasal ini akan menguntungkan pemodal karena terbebas kewajiban membayar kepada buruh tetap sekitar 33 bulan (3 tahun masa kontrak dikurangi 3 bulan masa percobaan maksimum yang sebenarnya lebih tepat dikenakan untuk pekerjaan waktu tak tentu).

Para buruh mengkhawatirkan pula keberadaan tenaga kerja outsourcing. Penggunaan tenaga outsourcing tertulis dalam pasal 64 dan mungkin dilegalkan dalam revisi UUK nantinya. Pihak buruh menginginkan agar tenaga outsourcing dihapuskan dan tidak diterapkan dalam perusahaan mana pun karena ini merupakan bentuk eksploitasi buruh.

Kekhawatiran lainnya ialah revisi UUK akan menghapuskan masalah pesangon seperti yang tertuang dalam prasal 91. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Kesepakatan tersebut nilainya tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika revisi UUK menghapuskan aturan tersebut, maka buruh kehilangan aspek perlindungan upah kepada tenaga kerja.

Kesan inkonsistensi dan ketidakadilan lebih kental dalam rencana revisi Pasal 156 perihal pesangon. Saat harga BBM masih murah, pengusaha seolah tidak peduli dengan struktur upah. Rentang upah antara pekerja di level terendah dengan pekerja di jajaran manajerial demikian tinggi. Padahal keluhan pengusaha tentang jumlah pesangon yang harus mereka bayar saat terjadi PHK, sebenarnya adalah risiko dari ketidaksehatan kebijakan manajerial yang mereka buat sendiri.

Logika Pemodal

Jelaslah bahwa logika pemodal yang digunakan untuk merevisi pasal demi pasal UU No 13/2003 orientasinya menekan biaya tenaga kerja serendah mungkin. Orientasi yang sudah pasti berlawanan arah dengan semangat untuk menyejahterakan kehidupan buruh. Dengan demikian logika pemodal yang dipakai untuk berinvestasi di Indonesia hanya difokuskan pada eksploitasi potensi bisnis yang ada di Indonesia.

Logika pemodal memang selalu berciri menguntungkan pemodal sebesar-besarnya. Bentuknya berupa upaya pemodal mempengaruhi pemerintah mengupayakan liberalisasi perdagangan dan investasi serta deregulasi.

Pemerintah yang sibuk melayani pemodal justru menjajakan negaranya kepada mereka agar berinvestasi dengan tawaran menggiurkan namun menindas buruh. Tampaklah bahwa pemerintahan sedemikian ini tidak lagi mengabdi rakyatnya tetapi menguntungkan dirinya dan pemodal global. Sebenarnya upaya semacam sudah pernah dilakukan, bentuknya berupa penurunan tarif impor, penjualan aset milik negara dan kenaikan tarif BBM. Dengan demikian, pemodal global berupaya memperlemah demokrasi bahkan mengupayakan kematiannya (Noorena Hertz: 1992).

Logika pemodal berwujud struktur neoliberalisme yang digerakkan ideologi kapitalisme-liberalisme. Karena kapitalisme-liberalisme menyebabkan kompetisi penuh sebagai satu-satunya cara untuk bertahan, maka logika pemodal selalu mengurangi arus dana keluar berganti penumpukan modal. Jika tidak, maka tidak akan bertahan. Namun cara semacam ini jelas menindas kedaulatan buruh.

Karena itu semua, buruh dan lapisan masyarakat bawah lainnya mengalami kehidupan yang berat. Mereka begitu lemah dengan sekedar menjadi buruh yang tak jelas masa depan dan kehidupannya.

Pada tataran tataran global, kecenderungan kolusi pemodal pemerintah melulu menyengsarakan kehidupan warga. Dengan berdalih program penyesuaian dan pengetatan ikat pinggang yang tak lain adalah untuk tujuan memampukan negara membayar kembali hutang luar negeri sekalipun ekonominya buruk, maka logika pemodal berhak mengatur pemerintah.

Akibatnya terjadi gerakan bebas tenaga kerja dari dunia pertama ke dunia ketiga termasuk bebas visa dan fiskal, sebaliknya gerakan tenaga kerja dari dunia ketiga ke dunia pertama dibatasi dengan kuota dan syarat ketat.

Selain itu, pertukaran barang dengan tarif rendah atau zero antara dunia pertama dan dunia ketiga, kekhasannya adalah bahwa barang dan nilai tukarnya yang berbeda. Akibatnya, dari dunia ketiga, yang diekspor adalah barang-barang konsumsi yang eksotik yang diproduksi dengan upah buruh murah dan nilai tukar rendah.

Menolak Logika Pemodal

Dalam sistem masyarakat kapitalisme sekarang terdapat tiga kelompok berkepentingan, yaitu pemilik modal, negara, dan buruh. Pemenang persaingan ini adalah kelompok pemilik modal, sedangkan buruh hanya sekedar bertahan hidup. Sementara negara cenderung menjadi alat legalitas kaum pemodal demi tetap bertahannya status quo.

Pemerintah yang tertawan pemodal membuat mekanisme kebijaksanaan yang sering merugikan para buruh. Banyak kebijaksanaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya menjadi sekedar kumpulan legalisasi hak prerogatif privat pemodal. Hakim boleh punya keputusan, polisi bisa punya peluit, tapi pemodal bisa membeli keputusan dan peluit. Segala sektor kehidupan telah dikuasai oleh pemodal. Logika pemodal jika tak dibatasi akan semakin menggila sepak terjangnya.

Berbagai kasus relokasi perusahaan, disinvestasi, pelarian modal ke luar negeri, dan pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang tidak pernah melalui proses demokrasi. Dalam situasi buruk semacam itu, buruh berada dalam posisi yang sangat dirugikan.

Sekuat-kuatnya posisi Suharto namun harus lengser keprabon, dan sedemokratifnya Gus Dur tetapi toh masih tersandung Buloggate dan Bruneigate. Sedangkan para pemodal yang begitu leluasanya dalam melakukan kecurangan-kecurangan tanpa pernah terjerat hukum.

Dengan demikian, demonstrasi buruh sebaiknya dilihat sebagai upaya mereka yang sungguh amat tertindas untuk lepas dari mata rantai paling lemah dalam sistem kapitalisme. Keprihatinan buruh yang hendak menyusupkan rancangan yang mempengaruhi keputusan pemerintah menunjukkan posisi tawar mereka untuk tidak selalu dikalahkan. Upaya buruh bukan sekedar memperjuangkan hak-haknya saja, tetapi menumbuhkan masyarakat sehat sebagai pesaing kapitalisme-liberalisme. (Suara Pembaruan 17 April 2006)