Pages

Friday, August 04, 2006

Kejahatan Dihadapkan Kebaikan, Mungkinkah


Kenyataan bahwa dalam dunia ada kejahatan. Kejahatan yang ada dapat menjadi penyebab utama orang ragu, apakah yang diimaninya benar atau malah mau memberontak Allah. Masalahnya dapat dirumuskan dengan pertanyaan sederhana: jika Allah ada, mengapa ada kejahatan ?

Filosof Jerman Gottfried Wilhelm Liebniz menyatakan bahwa adanya kejahatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Tuhan Yang Mahabaik, karena itu Allah harus dibenarkan. Orang seakan mengajukan pertanyaan: Bagaimana Engkau, Allah yang Mahabaik, mengapa kejahatan Kaubiarkan ada ?

Dalam Kitab Suci, Ayub meneriakkan: “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku...Aku berseru minta tolong kepadaMu, tetapi Engkau tidak menjawab; aku berdiri menanti tetapi Engkau tidak menghiraukan aku…Anak panah Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku…Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: Yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakanNya” (Ayub 10, 1; 30, 28; 6, 4; 9,22).

Jadi, tidak dapat diragukan lagi, bahwa kejahatan merupakan scandalum (batu sandungan) bagi orang yang percaya kepada Allah. Pembenaran memang dituntut. Sekalipun Allah tidak memerlukan pembenaran kita, namun orang yang percaya kepada Allah tidak dapat menghindar untuk menjelaskan. Masalah kejahatan merupakan malum morale (keburukan moral) karena mengenai sikap moral manusia. Kejahatan menyangkut fakta bahwa manusia bisa berkemauan dan berbuat jahat.

Akal Budi Mengerti Kejahatan

Kejahatan harus dimengerti dengan tepat. Yang dimaksud bukan sekedar berbagai perbuatan tak baik yang keluar dari hati manusia, melainkan inti keras dan jahat di dalam perbuatan-perbuatan itu. Bukan sekedar kelemahan seseorang sehingga ia mengikuti nafsu, dendam spontan, rasa malas atau emosinya, tetapi sikap jahat sungguh sejauh termasuk dalam kelemahan-kelemahan itu. Sikap yang sangat menolak hati nurani, nekat, keji, kejam dan tak adil, meskipun sadar bahwa sikap tersebut jahat. Dalam bahasa agama, kejahatan disebut sebagai dosa.

Kejahatan dengan demikian menjadi masalah bagi orang yang percaya kepada Tuhan. Karena Allah Yang Mahabaik, membenci kejahatan, anehnya Allah tidak mencegah adanya kejahatan. Allah justru kelihatan mentolerir adanya kejahatan. Sebagaimana tuntutan hati nurani agar kita memilih yang baik dan bukan yang buruk bersifat mutlak, begitu pula yang jahat mutlak harus tidak ada. Dengan perkataan lain: pengadilan dapat “meringankan” suatu pembunuhan kalau terjadi karena pelakunya meminum minuman keras atau seseorang “memaafkan” perselingkuhan karena ia lama meninggalkan pasangannya. Tetapi kejahatan adalah soal lain. Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak mau bersikap baik. Kejahatan ini selalu jahat dan yang jahat mutlak tidak boleh ada. Lalu mengapa Allah yang berkuasa membiarkannya ?

Kejahatan yang dibiarkan ada oleh Allah membawa manusia untuk memahami apa maksud Allah membiarkan ada kejahatan. Pertama, tidak perlu lagi mengatakan bahw adanya kejahatan membuktikan bahwa Allah tidak ada. Karena yang melakukan kejahatan bukanlah Allah, tetapi manusia. Allah mengizinkan adanya kejahatan, meskipun pasti Ia sangat membencinya. Kedua, kalau Allah mau menciptakan sesuatu, maka sangat masuk akal, Allah akan menciptakan mahluk yang berakal budi sekaligus berkehendak bebas. Allah tidak berkehendak meciptakan robot yang secara otomatis bertindak seturut kehendakNya. Allah menghargai kebebasan manusia dalam menjawab cintaNya, dengan resiko bahwa manusia bisa memakai kebebasannya untuk menolak Allah. Jadi, Allah sebenarnya tidak menghendaki kejahatan, tetapi demi kebebasan manusia Allah bersedia mengambil resiko bahwa kejahatan harus terjadi.

Letak persoalannya ialah, mengapa manusia mau melakukan kejahatan ? Kita memang bisa mengerti alasan sampingan seperti emosi, nafsu, malas, putus asa dan sebagainya. Hanya dapat dijawab bahwa kesediaan melakukan kejahatan, karena manusia memutlakkan kebebasan yang diterimanya untuk memutlakkan diri. Manusia yang mau melakukan kejahatan berarti mau mendewakan dirinya. Ia yang tidak mutlak dan terbatas menempatkan diri sebagai yang mutlak. Oleh karena itu dapat dimengerti mengapa agama-agama percaya bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak mungkin menerima keselamatan dari Allah: Ia menempatkan diri dengan bebas melawan Allah.

Tidak mungkin Allah menciptakan dunia tanpa adanya kejahatan. Anggapan ini memang ada benarnya. Karena kejahatan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki dari segala ciptaan. Suatu mahluk yang terbatas selalu masih dapat menjadi lebih baik lagi daripada keadaannya, dan karena itu selalu ada kemungkinan bahwa mahluk ketinggalan terhadap kebaikan yang seharusnya dicapai. Itulah hakekat kejahatan. Kejahatan adalah kebaikan yang tidak tercapai.

Jika ciptaan demikian rapuhnya, mengapa Allah membiarkan kejahatan terjadi. Justru jika Allah setiap kali campur tangan, Ia tidak membiarkan ciptaanNya berjalan menurut kodrat dan kebebasannya yang hakiki. Begitu Allah menganugerahi kehendak bebas, tidak mungkin kejahatan dihindari. Bukannya Allah menghendaki kejahatan, tetapi Allah tidak mencegahnya karena konsisten dengan kehendakNya menciptakan manusia, lengkap dengan kehendak bebas dan akal budi.

Iman Memahami Kejahatan

Filsuf dan teolog Roma pasca-Romawi, Boethius mengatakan, “Apabila Allah ada, darimana hal-hal buruk ?” Jawabanya: “Saya tidak tahu” Tetapi, “Dari mana hal-hal baik, kalau Allah tidak ada ?” Jawabnya: “Kalau tidak ada Allah, tidak mungkin ada kebaikan”

Emmanuel Kant mengatakan kesediaan manusia untuk menjalankan sikap moral atau kebaikan, hanya masuk akal jika ada harapan akan kebahagiaan di akhirat. Kant menambahkan, kebaikan hanya bisa baik dan utuh bila ada kekuatan yang menguasai segala-galanya, yang penuh kasih, yang menjamin bahwa segala-galanya akan menjadi baik. Kita dapat mengalami percikan kebahagiaan, karena Allah ada.

Lalu apa hubungan antara kejahatan dan kebaikan yang kita hadapi ? Fakta adanya kebaikan menunjukkan bahwa harapan Ayub memang benar. Allah mesti ada dan Allah adalah baik. Tanpa ragu-ragu sedikitpun.

Kalau memang ada Allah, betapa pun kita tidak mengerti, segala kejahatan yang ada sudah dikalahkan dengan kebaikan Allah. Karena Allah sungguh baik, kebaikan bukan hanya akan menang, tetapi segala kejahatan akan merupakan unsur yang membahagiakan. Kuncinya ialah janji yang terimplikasi dalam adanya Allah bahwa “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka”. (Why 21: 4).

Akal budi hanya dapat mengantar orang ke pintu iman: jika melakukan kebaikan, percayalah pada janji yang termuat dalam kebaikan, semuanya sungguh akan menjadi baik Akal budi tidak bisa menjelaskan lebih lanjut mengapa harus ada kejahatan. Akal kita menemukan keterbatasannya, kita mengakui tidak tahu. Namun kita diajak percaya bahwa segala kejahatan yang memunculkan penderitaan, akan menjadi baik.

Peristiwa Yesus di Salib mewakili protes kita pada Allah, mengapa ada kejatahan ?. Yesus pun berteriak, “Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku ?” (Mrk 15: 34). Tetapi ungkapan keputusasaan Yesus itu adalah secara harafiah ada pada Mazmur 22: 1- 21:

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang. Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.

Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka. Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu. Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak. Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya: "Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?" Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.

Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong. Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku; mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum. Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku. Sebab anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku. Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku. Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku. Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku! Lepaskanlah aku dari pedang, dan nyawaku dari cengkeraman anjing. Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!

Umat Kristiani percaya bahwa Yesus adalah pernyataan Allah sendiri. Dalam Yesus, Allah sendiri mengalami kejahatan. Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Illahi antara kemahakuasaan dan kemahabaikan Allah, dilemahkan oleh Allah sendiri, karena Ia membiarkan diri dikenai kejahatan secara radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus menikam Allah sendiri. Romano Guardini merefleksikannya, “Allah dengan bersedia untuk menderita sendiri dan ditaklukan oleh kejahatan, memikul tanggung jawab atas kenyataan bahwa ciptaanNya adalah sebagaimana adanya, dengan kebebasan kehendaknya sendiri. Dengan demikian, peristiwa Yesus di salib memberikan keberanian pada manusai untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, mengetahui benar segala kejahatan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan bahwa setetes tangisan pun tidak sia-sia. Orang akan tetap protes, namun dalam kegelapan mengerti persoalan itu, pelan-pelan orang harus menerima bahwa ia harus mengikuti Allah. Karena ia dapat mengikuti jejak Yesus yang lebih dulu menjalani dan melewati segala kengerian akibat kejahatan, namun Yesus tidak akan hancur sampai selama-lamanya.

Kejahatan Dihadapkan Kebaikan

Tema bulan Kitab Suci Nasional 2006 ini adalah “Kalahkan Kejahatan dengan Kebaikan”. Ketika dihadapkan dengan hukum balas dendam, Yesus mengajarkan: pengampunan, bahkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali, mengajar para pengikutnya untuk memberikan pipi kiri bila pipi kanan mereka ditampar, mengajar pengikutnya membawa perdamaian daripada membalas dendam, mengasihi musuh, bahkan mengampuni orang yang menyalibkanNya. Karena satu-satunya cara untuk mengurangi atau menghilangkan kejahatan di antara manusia yang menggunakan kejahatan adalah menjadi korban kejahatan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa kejahatan boleh dibiarkan dan kebenaran tak perlu diperjuangkan, tetapi Yesus mengajak muridnya untuk berpegang pada strategi mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.

Paulus mengikuti jejak Yesus. Ia memperkenalkan ajaran untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi lakukanlah apa yang baik. Karena jika kita tidak membalas kejahatan, kita justru memberi tempat kepada murka Allah yang akan membalas. Karena memang, hak pembalasan hanyalah milik Allah, bukan hak kita. Paulus menutup nasihatnya dengan berkata, jangan kamu kalah terhadap kejahatann, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan. Karena jika membalas kejahatan dengan kejahatan, berarti manusia disetir oleh kejahatan. Dengan kata lain, manusia dikalahkan kejahatan. Padahal, seharusnya manusia mengalahkan kejahatan, dengan kebaikan.

Kejahatan dibalas dengan kebaikan ? Kejahatan dikalahkan dengan kebaikan ? Bagaimana mungkin ? Kita pantas untuk bertanya. Sama juga mengetahui bahwa ada pengertian tentang Tuhan yang meskipun tercapai dengan nalar, namun kiranya sulit diikuti oleh orang yang tidak sudah percaya. Itu berarti nalar tentang Tuhan justru bagi manusia yang percaya dapat memperkaya pengertian.

Harus diakui, ada pertanyaan - pertanyaan di mana nalar sampai pada batasnya. Pertanyaan tentang kejahatan termasuk di situ. Pertimbangan-pertimbangan akal untuk mencoba menjawabi masalah belum tentu dapat memuaskan atau meyakinkan orang. Tetapi orang beriman yang berani mempercayai dan mengikuti pertimbangan-pertimbangan itu, justru diantar ke iman yang lebih baik. Saat akal tak bisa mengerti, iman mengabil alih. Bukan lagi dengan pertimbangan akal, rasional, teoritis, melainkan dengan hanya menyerahkan diri kepada Allah. Penyerahan diri kepada Allah yang serba gelap, bisa jadi mengantar manusia justru masuk ke dalam terang. Niscaya, dengan tidak melakukan kejahatan, bahkan ketika kita sendiri mengalami kejahatan, kita telah mengurangi kejahatan. Dan saat itulah, kita membawa terang. Masuk akal, bukan ? (A. Luluk Widyawan, Pr, tinggal di Ponorogo)