Pages

Tuesday, October 31, 2006

Batik Lasem, Yang Manis Dan Lucu


Dari sekian banyak koleksinya - yang sebagian besar berbahan katun dan sisanya sutera atau rayon itu - yang paling ia sukai batik Lasem. "Batik Lasem itu lucu dan manis. Jadi banyak wanita yang suka", demikian dituturkan oleh Eiko Adnan Kusumah. Wanita kelahiran Kobe, Jepang, 74 tahun lalu ini punya hobi mengoleksi batik tulis tradisional pesisiran dan pedalaman Pulau Jawa. Hingga kini koleksinya sudah mencapai 1.400-an helai. Bila dipukul rata panjang setiap kain 2 m lalu dibentangkan, seluruhnya mencapai 2,8 km panjangnya, atau kira-kira 7 kali lintasan atletik. Malah bisa jadi jauh lebih panjang dari itu karena kebanyakan lebih dari 2 m panjangnya, bahkan ada yang hampir 4 m, meski ada juga yang kurang dari 2 m.

Lasem, selain disebut Kota Pecinan, Kota Santri dan Kota Tua, juga dikenal sebagai Kota Batik Tulis. Memang, dibanding dengan Solo dan Pekalongan, batik Lasem bisa dibilang ketinggalan. Sebab dua kota tersebut sekarang mengembangkan batik printing yang bisa diproduksi pabrik.Memang batik tulis mempunyai nilai seni cukup tinggi, sehingga nilai jual batik juga cukup mahal sesuai dengan rumitnya dan lamanya pembuatan batik tulis. Tetapi konsumen dari batik tulis ini juga terbatas, yakni dari kalangan penggemar batik berbau seni dan kalangan menengah ke atas mengingat harganya cukup mahal. Beruntung, sekarang ini ada batik tulis yang harganya cukup murah. Yakni, antara Rp 50.000-Rp 60.000 per potong, sehingga terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.Batik tulis Lasem merupakan salah satu komoditas unggulan industri kecil di Kabupaten Rembang selain komoditas yang lain. Seperti bordir, kerajinan kuningan di Jolotundo Lasem, mebeler, perikanan (ikan asin) dan lainnya. Batik Tulis Lasem merupakan peninggalan nenek moyang dan berkembang mulai pertengahan abad ke-17. Sentra Batik Tulis Lasem antara lain di Gedongmulyo, Karangturi, Soditan, Selopuro, Sumbergirang dan Babagan di Kecamatan Lasem. Kemudian Desa Jeruk dan Karahkepoh, Kecamatan Pancur.

Jumlah unit usaha Batik Tulis Lasem saat ini mencapai 175 unit usaha. Tetapi yang aktif dan besar hanya sekitar 15 pengusaha. Dari jumlah itu berhasil menyerap tenaga kerja dari perajin maupun pegawai lainnya sebanyak 1.590 orang. Kemudian kapasitas produksi mencapai sekitar 38.900 potong per tahun.Daerah pemasaran Batik Tulis Lasem antara lain meliputi Semarang, Cirebon, Serang, Surabaya dan di Sumatra (Medan dan Padang). Segmen pasar Batik Tulis Lasem masih didominasi kelas menengah ke bawah khususnya kelompok umur orang tua dan dewasa. Segmen pasar kalangan menengah ke atas khususnya pecinta seni dan aliran naturalisme kini sedang digarap serius oleh para pengusaha Batik Tulis Lasem untuk menyesuaikan harga produk yang memang cukup mahal.Selain mendapat tekanan persaingan dari batik printing dalam hal pemasaran, kendala yang dihadapi Batik Tulis Lasem ke depan adalah kemungkinan terputusnya generasi pembatik.

Saat ini sebagian besar perajin batik masih didominasi para orang tua yang sudah berusia lanjut. Dan membatik bagi mereka hanya merupakan pekerjaan sampingan di sela-sela mengerjakan sawah dan kebun.Sementara itu, kaum muda kurang berminat untuk belajar membatik, karena dinilai kurang menjanjikan. Kendala lain adalah mahalnya harga bahan baku batik berupa kain mori. Kain mori masih harus didatangkan dari luar daerah, sehingga harganya cukup tinggi.

“Tahun lalu kami sebenarnya sudah menawarkan kepada pemkab agar di sekolah-sekolah SD-SMA mulai diperkenalkan membatik melalui kegiatan ekstrakurikuler. Tetapi hal itu nampaknya belum mendapat tanggapan serius dari dinas pendidikan nasional. Ini saya sampaikan dalam rangka mencari generasi penerus pembatik yang teracam kehilangan genarasi,” tukas Ny Naomi Susilowati Setiono (45). Naomi merupakan satu dari beberapa pengusaha batik tulis Lasem yang hingga kini masih bertahan. Dia memproduksi batik tulis merk Maranatha.

Dia menyatakan, sebenarnya siap datang ke sekolah-sekolah untuk menularkan ilmu membatik kepada murid SD-SMA dalam kegiatan ekstra kurikuler. Tetapi beberapa sekolah yang sempat dihubungi menyatakan tidak ada biaya untuk kegiatan seperti itu. “Kami sebenarnya ingin menjaring calon pembatik dari kalangan anak-anak sekolah, siapa tahu di antara mereka ada yang berbakat menggambar batik yang baik, sehingga ke depan batik tulis Lasem tidak kehilangan generasi pembatik,” tuturnya.

Dia mengaku sebagai generasi ke empat dari keluarganya yang meneruskan usaha batik tulis ini. Agar usahanya tetap eksis dan terus berjalan, dia terpaksa merekrut sejumlah tenaga muda khususnya dari ibu-ibu muda yang tidak mungkin pergi bekerja ke luar daerah dari beberapa desa sekitar. Misalnya dari Desa Pohlandak, Karaskepoh dan lainnya. Usahanya sekarang memperkejakan sekitar 30 orang. Produksinya mencapai sekitar 300 potong/bulan.Batik Tulis memang rumit dan memerlukan waktu cukup lama. Sejak dari bahan dasar mori sampai jadi potongan batik bisa memerlukan waktu antara 10-20 hari. Tergantung dari terik matahari. Jika pada musim penghujan seperti sekarang, satu potong batik baru bisa selesai sampai 20 hari. Tetapi jika panas matahari cukup, dalam 10 hari saja sudah selesai. Lantaran rumitnya pembuatan batik tulis, maka harganya pun cukup mahal.

Satu potong batik dengan kain sedang harganya Rp 300.000/potong. Kalau kain dasarnya baik, harganya satu potong bisa mencapai Rp 2 juta."Sekarang jarang yang membuat batik lasem. Saya tinggal punya tiga potong. Itu pun kulakan (pembelian) lama.", tutur Khoriyah seorang pedagang pakaian di Pasar Lasem, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), menyampaikan hal itu sambil menunjukkan motif kawung dari sepotong kain batik lasem. Kain itu dia jual seharga Rp 65.000 per potong kepada pembeli. "Kain ini murah karena batikannya biasa. Tidak halus," ujarnya.

Menurut perempuan yang dulu juga berprofesi sebagai pembatik ini, sekarang sudah jarang orang yang membatik kain di Lasem, sebuah kecamatan yang kaya dengan tradisi, khususnya tradisi Tionghoa, di Kabupaten Rembang. Pembatik kain batik lasem kebanyakan adalah keturunan Tionghoa dan sekarang mereka umumnya sudah tua. Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang lebih 13 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari luar daerah selalu transit di Terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur kendaraan, dan bukan Rembang. Misalnya, bus jalur Semarang-Lasem.Lasem, konon lebih dari 200 tahun yang lalu, datanglah orang Tionghoa yang kemudian menghuni wilayah ini hingga keturunannya sekarang. Peninggalan pendatang Tionghoa itu masih terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah yang ada di daerah tersebut.Di kota ini berderet bangunan tinggi besar yang kokoh. Dari luar tampak seperti bangunan biasa dengan tembok yang tinggi. Namun, ketika masuk ke dalamnya, terlihat sesuatu yang lain. Ukiran naga pada pintu-pintu besar, serta adanya altar tempat abu jenazah, memperlihatkan dengan jelas bahwa bangunan ini kental dengan nuansa Tionghoa yang disebut omah ombo karena besar dan luas. Misalnya saja rumah yang sekarang ditempati oleh Liem Gwat Nio (81) atau biasa dipanggil Oma Gwat yang terletak di Jalan Dasun, Lasem.

Menurut perempuan yang masih terlihat energik kalau berbicara ini, moyangnya adalah pelaut yang terdampar di Indonesia. Konon, mereka adalah pedagang candu yang kaya. Kisah masuknya etnis Tionghoa di daerah ini bahkan sempat diabadikan dalam film berjudul Ca Bau Kan karya Remy Silado. Orang ini juga yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan teknik batik tulis di Lasem, yang kemudian terkenal dengan batik lasem.

Menurut penuturan beberapa warga, dahulu batik lasem sangat terkenal. Jenis batik tulis, yaitu batik hasil lukisan tangan pada sepotong kain dengan menggunakan canting-alat lukis yang berfungsi sebagai pena-dan malam, jenis lilin yang berfungsi sebagai tinta untuk membatik, ini mempunyai nilai seni yang tinggi. Tak heran jika harga kain batik lasem mahal.Nilai seni batik tulis lasem terletak pada motif dan kehalusannya dan bersifat relatif. Motif kain batik lasem bermacam-macam. Sedikitnya ada lima motif, yaitu tiga negeri, empat negeri, kawung, rawan, dan kendoro-kendiri. Pembuatan batik dilakukan secara kumulatif, artinya masing-masing orang mengerjakan satu tahapan dalam jumlah banyak. Untuk menyelesaikan 100 potong kain batik tulis, dengan 20 tenaga kerja, waktu yang diperlukan sekitar dua bulan. Pembatikan itu melalui berbagai tahapan, mulai dari pembuatan pola (nglengkreng), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), dan mewarnai (nerusi).

Tahap nerusi ini bisa mencapai tiga kali proses, bergantung pada berapa warna yang digunakan. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama pula prosesnya. "Per potong kain rata-rata dijual seharga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Ada juga yang lebih mahal, sampai Rp 1.000.000. Tetapi, hanya kain yang benar-benar istimewa, baik dari kehalusan batikan maupun motifnya," ungkap Purnomo, pemilik perusahaan batik tulis Cap Kuda di Lasem.

Menurut Purnomo, karena harganya yang mahal ini pula, batik tulis lasem mulai tergusur oleh batik cap atau batik printing yang harganya jauh lebih murah. Dahulu, perusahaan ini selalu kehabisan persediaan. Sekarang penjualan hanya rata-rata sekitar 20 potong setiap bulan. "Sejak munculnya batik printing di era 1990-an, kondisi batik tulis lasem menjadi lesu," lanjut pria ini di tokonya yang berisi sekitar 300 potong kain batik. Keadaan ini lebih diperparah oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Penjualan batik tulis menjadi sangat merosot dan akibatnya banyak perusahaan batik tulis yang terpaksa tutup.Dari sekitar 100 perusahaan batik tulis yang dulu ada di daerah ini, sekarang yang masih bertahan kurang dari 10 perusahaan. Salah satunya adalah milik Purnomo di Gedungmulyo, Lasem. "Boleh dibilang, kejayaan batik lasem sekarang tinggal 25 persen," lanjut Purnomo.

Selain karena faktor harga, kemunduran batik tulis lasem juga disebabkan oleh kehilangan generasi yang menekuni profesi ini. Umumnya angkatan muda dari Lasem lebih memilih merantau daripada mempertahankan tradisi membatik.Purnomo, ayah tiga anak, mengakui, hingga sekarang tidak mempunyai penerus tradisi sehingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan usahanya kelak. Akibat lesunya industri batik tulis ini, banyak pekerja yang umumnya adalah warga pribumi beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perikanan. Ada juga yang berusaha membuat industri batik tulis kecil-kecilan, yang kemudian dijual sendiri di pasar. Tentu dengan harga lebih murah.

Pentinglah upaya mempromosikan batik tulis lasem ke dunia luar. Untuk mengurangi tingkat kemahalan batik tulis, upaya yang ditempuh adalah membuat produk pakaian dengan kombinasi batik tulis lasem dan kain biasa.Upaya ini mulai ditempuh sejak dua bulan lalu. Promosi terutama dilakukan di Jakarta dengan memanfaatkan media elektronik televisi swasta. Langkah ini memang masih awal, tetapi nantinya diharapkan akan memberi hasil yang baik. Ia berharap batik lasem bisa meraih kejayaannya kembali. Bukan hanya dipakai dan digemari banyak orang, tetapi juga bisa menghidupi banyak orang. Batik lasem diharapkan bisa kembali menjadi "lokomotif" perekonomian Rembang (A. Luluk Widyawan, Pr, asli Lasem)

Friday, October 20, 2006

Memberdayakan Masyarakat Dengan Mikrokredit



Kemiskinan dan pengangguran masih banyak dijumpai di wilayah negara Indonesia. Harian Kompas 15/04/2006, melaporkan data tentang kemiskinan berupa pengangguran terbuka dan penduduk miskin sebagai berikut (dalam juta jiwa). Tahun 2001, pengangguran sebesar 5,8 dan penduduk miskin 38,7, tahun 2002: 8,0 dan 37,9, tahun 2003: 9,1 dan 38,4, tahun 2004: 10,3 dan 37,3, tahun 2005: 10,9 dan 35,1.

Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan yang besar akan jasa keuangan (simpan-pinjam) di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Karena itu, ada kebutuhan untuk mempromosikan dan menggiatkan suatu program yaitu sistem simpan-pinjam bagi masyarakat Indonesia, khususnya bekerja sama dengan lembaga dan organisasi yang benar-benar bertujuan untuk mencapai kinerja yang tinggi. Bukan hanya itu, juga lembaga yang mampu menyajikan pelayanan yang berkualitas bagi rumah tangga dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam peta tentang keuangan yang beredar di pedesaan di Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal dari lima asal. Ialah: arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif, kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif, lembaga keungan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif, rentenir, pedagang, teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.

Di antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat, yang diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Perbankan, baik BPR maupun BRI Unit dengan jumlah peminjam sebanyak 5.428.637. Sementara peminjam yang meminjam dari Lembaga Non Perbankan, baik dari Koperasi Simpan Pinjam, Unit Simpan Pinjam, Pegadaian, Credit Union, Lembaga Keungan Masyarakat, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan jsutru jauh lebih besar, yakni sebanyak 10.394.713 peminjam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih tertarik mendapatkan pinjaman dari Lembaga keungan non formal.

Lembaga keungan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan. Jika peminjam mendatangi lembaga keuangan non formal, jelas modal sukar diperoleh dan organisasinya sifatnya layaknya sebuah keluarga. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi, bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya.

Lain halnya jika peminjam mendatangi lembaga keuangan formal, yang jelas modalnya mudah diperoleh, organisasinya birokratis, permodalannya dari lembaga keuangan resmi, didukung oleh negara untuk kelangsungan usaha, serta hubungan dengan masyarakatnya satu arah untuk kepentingan sektor formal. Namun fakta berbicara bahwa masyarakat lebih banyak yang berminat mendapatkan sumber keuangan dari Lembaga keuangan non formal.

Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga keuangan mikro ada untuk menolong masyarakat miskin / usaha kecil sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin / pengusaha kecil. Jadi keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor informal. Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah, pelayanan kesehatan dan masalah gender.

Cakupan dari keuangan mikro jelas terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal. Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Mereka umumnya adalah penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga. Dengan demikian, fungsi keuangan mikro pertama sebagai sarana memerangi kemiskinan (poverty elevation). Kedua, membangun manusia. Pembangunan yang tidak menyertai unsure manusia atau pembangunan sosial masyarakat akan senantiasa berakhir dengan dampak-dampak sosial yang harganya mungkin lebih mahal daripada pembangunan itu sendiri.

Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan kebijakan pinjaman yang harus dikembangkan oleh setiap lembaga pembiayaan mikro. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital formation) terganting pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia miliki.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro menghadapi sejumlah persoalan (internal dan eksternal), dimana keterbatasan modal menjadi salah satu persoalan. Di sisi lain, penelitian ini juga menggambarkan bahwa tidak seluruh kebutuhan permodalan usaha kecil dan mikro dapat disediakan oleh perbankan. Karena perbankan hanya dapat menyediakan sekitar 17-18 % dari kebutuhan usaha kecil dan mikro. Dengan kata lain, hampir sebagian besar kebutuhan modal usaha kecil dan mikro diperoleh dari sumber non perbankan, dari teman, keluarga, dan lembaga keuangan non bank. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya aksesibilitas usaha kecil dan mikro kepada kredit perbankan, bukan karena tingginya suku bunga, tetapi lebih dominant disebabkan karena sistem dan prosedur perbankan serta pengertian penyediaan dana, yang sering menjadi pusat perdebatan.

Pelaku usaha kecil dan mikro sebenarnya sudah memiliki jaminan hukum. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dijelaskan bahwa usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan memenuhi criteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur, yaitu:

- memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000
- memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000
- milik warga negara Indonesia
- berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tak langsung dengan usaha menengah atau besar

Oleh karena itu, lembaga keuangan mikro dengan sendirinya menuntut pelakunya menjalankan manajemen secara professional, melakukan pendekatan dengan pengelolaan stakeholder, dikelola dengan prinsip usaha modern, dan tak ketinggalan mengacu pada prioritas pembangunan di daerah masing-masing, baik dari sisi wilayah, sektor maupun manusianya. Dengan prinsip utama, dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.

Memasyarakatkan Lembaga Keuangan Mikro

Salah satu pemberdayaan masyarakat dalam konteks kekuatan ekonomi nasional adalah dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Salah satu instrument strategis untuk memberdayakan usaha kecil adalah melalui keuangan mikro.

Akan tetapi, keuangan mikro memiliki beberapa kelemahan ialah mata rantai usaha tergantung dengan karakteristik pengusaha kecil, Beberapa kelemahan dan kegagalan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

- kurang mampu menjalankan usaha
- lemah dalam pengelolaan
- cara hidup yang konsumtif
- cepat merasa puas dengan hasil yang diacapai
- sangat tergantung kepada fasilitas
- rendahnya profesionalisme
- kesadaran akan kualitas produksi masih rendah
- bersifat trial dan error
- masih percaya pada hal-hal yang bersifat tahyul

Dengan kondisi demikian, pada umumnya usaha kecil dan mikro membutuhkan dukungan banyak pihak. Dukungan tersebut sangat diharapkan berasal dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keuangan, lembaga akademi maupun lembaga donor.

Dalam pengembangan keuangan mikro, diperlukan strategi-stategi dasar agar dapat berjalan sesuai dengan misinya. Beberapa statergi dasar yang mendesak untuk dilakukan, terutama oleh pemerinta ialah:

- memanfaatkan dan memantapkan lembaga keuangan mikro yang sudah ada, menumbuhkan lembaga keuangan mikro baru serta meingkatkan kemandirian dan profesionalisme lembaga keuangan mikro
- meningkatkan kesadara masyarakat tentang keuangan mikro ke seluruh segmentasi sasaran
- mengembangkan jaringan antar lembaga keuangan mikro dengan pihak terkait
-mengupayakan kemudahan bagi masyarakat miskin dalam mengakses modal dan pendampingan usaha ekonomi produktif.

Berhadapan dengan situasi ekonomi terpuruk karena banyaknya pengangguran dan penduduk miskin, lembaga keuangan mikro memiliki peran penting sebagai katalisator perbaikan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan lembaga keuangan mikro niscaya memberdayakan masyarakat. Karena lewat lembaga keuangan mikro, terwujudlah tujuan pengembangan ekonomi yaitu perbaikan dan kesejahteraan manusia yang sering disebut sebagai pembangunan manusia atau pembangunan sosial, selain pertumbuhan ekonomi pada prioritas berikutnya (Ms. Nancy Birdsall, World Bank, 1993). Lembaga keuangan mikro dapat menjadi tempat penampung dan penyalur dana dan modal, membawa efek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapat, pemercepat pembangunan tingkat desa, penggerak bisnis dan menyelamatkan usaha / kegiatan yang dilanda krisis. (A. Luluk Widyawan, Pr, penulis tinggal di Ponorogo)