Pages

Wednesday, November 16, 2005

YB. Mangunwijaya Dan Teologi Pemerdekaannya II



Pengertian

Teologi Pemerdekaan menurut Mangunwijaya ialah: refleksi atau renungan ilmiah oleh ahli (yang sudah beriman) untuk mempertanggungjawabkan (kepada diri sendiri maupun orang luar) bahwa sikap imannya itu pantas didukung oleh daya akal (rasio). Refleksi itu muncul setelah manusia menerima Wahyu. Lebih jelasnya, suatu pertanggungjawaban atas sikap beriman yang mengikutsertakan kemauan atau emosi dan pikiran. Jadi teologi pemerdekaan merupakan aktualisasi dari pikiran manusia sebagai instrumen pertanggungjawaban sikap manusia yang beriman terhadap diri sendiri, sesama dan Tuhan.

Teologi pemerdekaan diwujudnyatakan secara praktis dalam iman demi memihak kepada mereka yang miskin. Seperti yang dikatakan Mangunwijaya,

“teologi pembebasan menambah: tak hanya demi pertanggungjawaban rasional secara beriman, tetapi juga demi tindakan nyata yang praktis dalam iman karena sikap memihak kepada yang terbelenggu dan terhisap dalam segala bentuk”

Teologi pemerdekaan adalah suatu teori, bukan ajaran agama, atau jawaban atas Wahyu, atau sikap iman sebagai jawaban, tetapi merupakan konsekuensi dari iman dan tafsiran manusiawi terhadap apa yang dianjurkan agama.

Mangunwijaya menjelaskan bahwa setiap orang yang beriman pada dasarnya sudah berteologi juga, meskipun secara spontan, implisit, amatir dan tidak ilmiah, tidak reflektif, tidak sistematis serta tidak menggunakan hukum-hukum logika yang sah. Sebagaimana yang dituturkan Mangunwijaya,

“berteologi artinya: berusaha bertanggungjawab secara manusiawi utuh, karena daya akal dalam diri manusia adalah unsur pokok vital kemanusiaannya. Bersama dengan perasaan, daya ekspresi, daya seni, emosi, intuisi, dimensi mistika, juga segi-segi ekonomi, budaya, sosial dan politik. Pendek kata, selaku manusia seutuhnya”

Sebagai contoh, apabila di pasar dijumpai tulisan: kebersihan adalah ungkapan iman, maka tulisan tersebut mengajak pembacanya berefleksi. Apabila iman pembacanya bukan sekedar teori mandul, maka pastilah iman ia terdorong berbuat konkret menyingkirkan kotoran yang ada atau tidak membuang kotoran seenaknya. Inilah bentuk sederhana teologi pemerdekaan yang meskipun amatir tetap perlu untuk meningkatkan martabat manusia secara praktis.

Menurut Mangunwijaya setiap manusia beriman, pada hakekatnya diajak untuk selalu mengamalkan teologi pemerdekaan. Sebab, salah satu tujuan agama yang terutama ialah membebaskan umatnya dari segala belenggu ketidaktahuan, ketidakadilan, kerusuhan, kotoran, kebusukan, dosa manusia secara pribadi maupun kelompok. Tujuannya tak lain demi tercapainya keadaan manusia yang merdeka, menuju keselarasan dengan diri sendiri, dengan sesama, dalam hubungan dengan Tuhan. Jadi, merdeka bukan dalam arti liberal anarkis, melainkan merdeka secara asli, yaitu merdeka sebagai mahluk yang dikasihi Tuhan, Yang mengasihi manusia yang merdeka secara sejati. Sebagaimana pendapat Mangunwijaya tentang kebebasan berikut ini,

“kebebasan bukan dalam arti liberal atau anarkis, melainkan dalam arti asli otentik: merdeka selaku mahluk yang dikasihi oleh Allah yang menyukai manusia yang merdeka secara sejati”

Pemerdekaan yang dimaksud Mangunwijaya bukan pertama-tama persoalan kemerdekaan politik atau ekonomi, melainkan pemerdekaan manusia secara total dan sejati dari segala kedosaan, kekejaman, keserakahan dan batas-batas kepandaian, kemampuan, kulit, bangsa maupun agama. Dasar terpenting gagasan pemerdekaan ialah manusia yang menginginkan kemerdekaan. Maka, usaha yang terpenting ialah memperbaiki tata hukum, segala usaha perikemanusiaan, pengembangan ilmu dan kebudayaan demi pemerdekaan manusia dari belenggu ketidakadilan, ketidaktahuan dan kebohongan. Dengan kata lain, memerdekakan manusia dari segala yang merusak tatanan Tuhan, agar manusia menjadi manusiawi dan mengalami kepenuhan secara pribadi maupun sosial.

Tujuan pemerdekaan yang dimaksud Mangunwijaya terutama untuk memerdekakan rakyat kecil. Mereka adalah rakyat kecil yang tertindas oleh aneka struktur represif yang diciptakan kaum penguasa, kapitalis dan militer. Upaya pemerdekaan Mangunwijaya mengikuti lima prinsip dasar terpenting ialah: semua bentuk ketidakadilan harus digugat. Lalu proses penyadaran agar manusia semakin tahu dan sadar terhadap mekanisme-mekanisme yang membuat mereka miskin. Tak ketinggalan upaya meyakinkan kaum miskin bahwa kemiskinan dapat diubah hanya oleh perjuangan mereka secara gotong-royong. Juga memupuk jalinan solidaritas antara yang mampu dengan mereka yang tidak mampu. Dan penjelasan bahwa bila kaum miskin sudah meningkat keberadaannya hendaknya tidak menginjak kaum miskin lagi.

Pemerdekaan menurut Mangunwijaya dapat diwujudkan dengan mempraktekkan kejujuran, kebenaran, keadilan dan kecintaan, dengan ciri sikap khas, tanpa kekerasan. Mangunwijaya mengakui bahwa pemerdekaan manusia dipengaruhi analisis ekonomi sosial Karl Marx, tetapi Mangunwijaya memperingatkan bahwa manusia memiliki daya pikir dan iman untuk menerima unsur-unsur kebenaran dan menolak yang tidak benar. Sebagaimana yang dikatakan Mangunwijaya,

“Memang tidak ada analisis manusia tentang manusia yang 100% benar seputih salju dan 100% salah sehitam arang di dunia manusia ini. Justru karena itulah kita dianugerahi daya pikir, citarasa, intuisi, apalagi iman oleh Tuhan untuk menyaring mana yang punya unsur-unsur kebenaran dan mana yang mengandung partikel kekeliruan”

Mangunwijaya menegaskan bahwa pemerdekaan pertama-tama adalah soal praksis. Praksis harus didukung dengan dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data. Dengan demikian, pemerdekaan menjadi sumbangan hidup nyata bagi manusia yang tertindas dan terbelenggu. Karena, teologi pemerdekaan pun muncul setelah manusia berpraksis atas suatu situasi, atas suatu pengalaman suka duka konkret dari fakta-fakta ekonomi, sosial, politis dan sebagainya. Jadi, teologi pemerdekaan seharusnya merupakan proses-proses historis yang harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa maupun perorangan.

Kesimpulannya, teologi pemerdekaan adalah suatu ortodoks-praksis (ajaran sekaligus praksis yang benar) secara ilmiah. Suatu refleksi iman yang berbicara tentang iman yang harus diwujudkan dalam praksis. Teologi pemerdekaan mengajak orang beriman memerdekakan manusia dari segala dosa berupa kejahatan,keterbelengguan, penjajahan, baik dalam diri sendiri maupun demi orang lain. Jadi, orang beriman tidak boleh bersikap netral, sebab netral berarti mendukung keadaan dan struktur yang justru membuat manusia miskin. Dengan kata lain, mendukung situasi dosa, mendukung rusaknya tatanan hubungan manusia dengan Tuhan.

Isi

Yesus

Mangunwijaya melihat bahwa Yesus memulai arus baru dalam hidup keagamaan, yaitu Ia merintis praksis beragama yang terarah kepada manusia. Ia mengangkat nasib manusia, menyembuhkan manusia dari berbagai penderitaan, penyakit, kesewenang-wenangan dan eksploitasi, agar manusia mengalami pemerdekaan dari keterbelakangan dalam berbagai dimensi. Yesus meletakkan dasar bahwa mengikuti Dia berarti mengikuti semangat kemanusiaanNya, khususnya terhadap mereka yang selalu “tidak dianggap”, bahkan yang dipaksa hidup tanpa martabat kemanusiaan.

Yesus memberi teladan istimewa. Ia menampakkan diri sebagai Putra Allah yang memilih lahir dalam pangkuan orang-orang dina, lemah, miskin di Betlehem. Ia mengungsi ke Mesir akibat kesewenang-wenangan penguasa dan kemudian Ia tinggal di sebuah desa kecil, Nasareth. Kehidupan publik Yesus di Galilea, Samaria, Yudea lebih diarahkan kepada mereka yang justru di bawah, yang menderita, yang tergusur dan terbuang. Ia menandaskan bahwa kaum miskin yang lemah lembut, rendah hati, dan setia adalah ahli waris Kerajaan Allah (bdk., Mat 5:3; Luk 6:21). KaryaNya selalu diwarnai oleh ciri khas menolong kaum miskin dan penderita ketidakadilan. Hal ini misalnya jelas dari SabdaNya, yang dicatat oleh Matius: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (25:31-46). KomitmenNya, seperti ditulis oleh Lukas ialah : “Roh Tuhan ada padaKu, karena Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberikan pemerdekaan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan: tahun Rahmat Tuhan telah datang” (4: 18-19).

Dalam hidupNya, Yesus menjungkirbalikkan norma-norma yang biasanya diagungkan setiap agama, yang selalu ingin dekat dan disukai kaum penguasa dan kaum kaya. Yesus justru mendekat kepada manusia, khususnya manusia yang tidak punya kedudukan maupun arti, untuk mengangkat mereka dari status hina ke dalam tingkat kemanusiaan yang terhormat dan bermartabat. Penghormatan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiaan yang layak. Yesus hendak mengembalikan keadaan manusia kembali sebagaimana yang diciptakan di awal penciptaan, tetapi telah dirusak oleh hukum rimba buatan manusia.

Seluruh hidup Yesus mengacu kepada Allah Bapa yang diwujudkan dalam kepedulian terhadap manusia. Pandangan Yesus lain dari pandangan dan praksis agama jamannya. Saat itu agama mengidentifikasikan pemujaan Allah Yang Mahakuasa dengan pemujaan kepada manusia-manusia penguasa yang juga melecehkan orang-orang yang miskin tertindas. Yesus sebaliknya, kata dan perbuatanNya menunjukkan bahwa Ia tidak pernah mengidentifikasikan diri dengan kaum kaya atau penguasa. Yesus justru memberikan perhatian kepada mereka yang cacat, kusta, miskin, terbuang dan terhina oleh masyarakat. Bagi Yesus, Ketuhanan dan kemanusiaan merupakan hal yang tak terpisahkan sehingga tidaklah mungkin bagiNya pemujaan dan pemuliaan Tuhan tanpa kepedulian terhadap nasib manusia.

Inilah yang diminta Yesus, bahwa yang terutama bukan norma suatu agama, melainkan sikap dasar, orientasi dasar, semangat dasar, religiositas dasar, bukan agama. Dari ukuran agama, Yesus bukan orang beragama yang baik, maka Ia dibenci oleh para Imam, ahli kitab dan kaum Farisi. Yesus menunjuk ke arah yang berlawanan. Mangunwijaya merumuskan karya Yesus sebagai ajakan, jadilah dulu manusia yang baik, manusia yang manusiawi, lewat kemanusiaan itulah jalan menuju Tuhan.

Bahkan pada saat kematiaanNya pun, Yesus memilih cara mati yang benar-benar hina, yakni kematian seperti seorang penjahat, sekaligus di antara dua orang penjahat. Ia berhadapan dengan penguasa dunia dan agama hanya untuk difitnah, divonis, didera dan akhirnya disalib. Dari sejarah hidupNya menjadi jelas bahwa Yesus adalah Mesias dari Kaum Miskin (bdk., Luk 14:21), bahkan Ia rela menjadi miskin demi meruntuhkan proses pemiskinan serta demi membangun sikap yang struktural menghormati kaum miskin demi pemerdekaan mereka.

Cinta Kasih

Mangunwijaya menggagas cinta kasih dengan menekankan perwujudan konkretnya. Usaha yang perlu ialah menerjemahkan konsep dasar cinta kasih Kristiani dalam aktualisasi dan pendewasaan hati nurani dalam kerelaan berdialog dengan siapapun yang berkehendak baik.

Cinta kasih universal, bagi Mangunwijaya bukan sikap netral. Sikap netral menurutnya, sikap tidak berpihak yang berwatak pengecut karena berlindung di balik topeng hukum-hukum universal. Cinta kasih justru harus dilakukan sesuai dengan konteks. Sebagai contoh, bila ada seseorang yang secara sadis memukul anak yang tak berdaya, cinta kasih dalam konteks sedemikian tidak akan netral. Netral berarti pengkhianatan. Sikap yang tepat ialah melindungi anak itu dan terpaksa menendang si jahat agar anak tak berdaya itu selamat. Cinta kasih yang diwujudkan ialah bersikap memihak kepada mereka yang miskin dan tertindas.

Cinta kasih tidak sekedar sikap iba hati, fitrah, derma yang berskema orang yang kuat dan kaya menghadiahkan sesuatu (yang kecil) dari jumlah kekuasaan atau kekayaannya (yang besar), kepada orang lemah atau miskin sebagai anugerah. Hal ini belum memerdekakan manusia dari struktur. Cinta kasih menyangkut perubahan sudut pandang, di mana semua pihak saling memberi dan saling menerima. Dasar dari sikap tersebut ialah asas keadilan. Asas bahwa di hadapan Tuhan, manusia pada dasarnya sederajat dan tak ada yang memiliki hak istimewa. Asas keadilan sosial mengandaikan kemitraan dan bukan pemberian hadiah atas dasar sifat kedermawanan subyektif belaka. Asas ini dilandasi oleh pengakuan bahwa manusia pada dasarnya sederajat.

Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia

Bagi Mangunwijaya, memiliki agama amat berbeda dengan menjadi religius. Orang yang beragama, dianggapnya bisa terjebak dalam hal-hal luar, upacara, peraturan, ritus, hukum, adat kebiasaan, lambang-lambang luar, segi sosiologis maupun politis dari gejala-gejala yang disebut agama. Bahkan agama bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Gagasan menjadi religius berarti mengarah kepada hal yang lebih dalam. Menjadi religius menaruh perhatian pada sikap dasar yang menimbulkan sikap belas kasih, yang membuat kehendak berkarya demi keadilan dan kebenaran dengan bebas, sadar dan penuh kasih. Beragama tetap penting tetapi bukan tujuan.

Wujud konkret menjadi religius tampak dalam penghargaan terhadap martabat manusia, keadilan, demokrasi, fair play. Jadi yang terpenting bukan segi-segi luar agama, tetapi sikap dasar, orientasi dasar, semangat dasar, religiositas dasar. Dengan kata lain yang terutama ialah menjadi manusia yang baik, yang manusiawi, bukan soal beragama atau tidak beragama. Kemanusiaan itulah jalan menuju Tuhan. Lebih jauh lagi, menjadi religius akan menyadarkan orang bahwa di hadapan Tuhan semua manusia sederajat, berhak dan berkewajiban sama. Ini memunculkan sikap baru untuk menghargai sesama tanpa memandang apapun latar belakangnya.

Menjadi religius memampukan orang menghargai mereka yang miskin, bahkan mengutamakan mereka. Kaum miskin yang dimaksudkan adalah mereka yang tidak memiliki jalan keluar dari persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi, yang sakit, tertindas, dina, lemah, yang terlupakan, yang tidak dihitung dan dilecehkan. Bentuk yang paling mendasar ialah, bagaimana menyusun struktur kehidupan, baik struktur ekonomi, politik dan sebagainya. Karena, struktur yang tidak benar dan tidak adil itulah akar masalah ketidakadilan yang menyebabkan kaum miskin selalu dihisap dan dieksploitasi oleh kaum kuat kuasa. Sikap mengutamakan manusia miskin harus dihayati seturut teladan Yesus sendiri yang rela menjadi miskin dan rendah hati. Seperti pendapat Mangunwijaya berikut ini,

“dari sejarah hidup Yesus jelaslah betapa perjuangan melawan proses pemiskinan serta perjuangan membangun sikap yang struktural menghormati kaum dina dan pembebasan mereka dari kedinaan tidaklah mudah. Kini kita pun diminta untuk mengikuti Yesus menjadi miskin juga”

Jadi, ketuhanan dan kemanusiaan sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Demikian juga, pemuliaan kepada Tuhan harus diikuti sikap peduli terhadap nasib manusia.

Gereja Yang Ajur-Ajer

Gagasan Gereja yang ajur-ajer diungkapkan Mangunwijaya sebagai reaksi atas wajah Gereja Indonesia yang dipengaruhi orientasi elitis. Hal ini tampak dari strategi misi Gereja di Indonesia oleh para misionaris, misalnya yang ingin melakukan penetrasi ke Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, juga yang dilakukan Pater Beek, SJ dengan Kaderisasi Sebulannya, atau lewat karya pendidikan dengan pendirian SMU Van Lith dan IKIP Sanata Dharma sebagai satu-satunya IKIP Katolik di Indonesia. Mangunwijaya menilai strategi ini sebagai strategi “tangkaplah kaum elite dulu dan otomatis kau tangkap seluruh rakyat”. Strategi ini dianggapnya warisan Gereja Jaya pra Konsili Vatikan II.

Mangunwijaya melihat bahwa persoalan Gereja Katolik di Indonesia yang sebenarnya ialah bagaimana upaya Gereja agar manusia Indonesia diperlakukan secara benar dan manusiawi, khususnya mereka yang paling dina lemah miskin di pinggiran. Hal ini selaras dengan seruan Mgr. A. Soegijopranata yang berbunyi: "tugas orang Katolik di sini bukan membaptisi orang, tetapi menyumbang membuat bangsa dan negara Indonesia semakin baik. Karena itu gagasan yang ditawarkan ialah bagaimana beriman secara ajur-ajer. Lebih jelasnya seperti yang dikatakan Mangunwijaya berikut ini,

“Ajur-ajer sebagai garam dalam masyarakat adalah sesuatu yang baik dan yang dianjurkan dalam kalimat pertama Gaudium Et Spes. Ajur artinya sependeritaan dengan masyarakat. Ajer artinya tidak menjadi semacam getto yang merongkol terisolasi. Tetapi tetap punya identitas sendiri, sadar akan tugas khas Kristiani di tengah dunia, tetapi tidak dari dunia”

Ajur-ajer artinya melebur atau sependeritaan dengan masyarakat. Hal ini mengandaikan bahwa Gereja dan masyarakat tidak saling terisolasi. Lebih jauh lagi ialah bagaimana menjadi orang yang tidak terisolasi, melainkan penuh inisiatif pribadi yang memiliki kepekaan memahami permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Gereja yang ajur-ajer berarti Gereja yang terbuka dalam kerjasama dengan siapapun, baik dengan mereka yang berbeda agama maupun dengan mereka yang memiliki sifat batin yang humanis dan religius. Karena, Kerajaan Allah lebih luas dari umat Katolik belaka, yaitu mencakup semua orang yang baik, yang adil, yang menumbuhkan kerukunan. Semua orang yang baik dapat dijadikan pendukung perjuangan mewujudkan kebenaran, walaupun berbeda agama. Mangunwijaya mengingatkan bahwa ajur-ajer perlu disertai dengan sikap tanpa luyu, tanpa luyut. Maksudnya, tetap setia pada panggilan dan tidak kehilangan identitas diri sebagai orang Kristen.

Sikap ajur-ajer adalah sikap tidak membonceng para penguasa dunia, tidak memiliki ambisi-ambisi atau program-program mirip penguasa. Bentuk nyata sikap ajur-ajer ialah mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah, tanpa kehendak menduduki posisi-posisi kekuasaan. Sikap ini bukan anti pemerintah. Mangunwijaya memberikan penegasan sebagai berikut,

“sekali lagi saya tidak menganjurkan umat a priori dan anti pemerintah tetapi hanya agar sudilah kritis, karena sikap kritis adalah asli sikap Yesus”

Sikap kritis justru merupakan suatu sikap tegas terhadap panggilan utama, metodologi dan semangat asli pengikut Yesus. Wujudnya dapat berupa sikap kritis terhadap pemerintah. Mangunwijaya memberi penegasan demikian,

“jika pada suatu ketika seorang beriman melawan pemerintah yang lalim (di jaman rezim Hitler misalnya) itu tidak berarti dia melawan bangsa dan negara. Jika ada orang yang tidak cocok dengan UUD ’45, maka tidak otomatis dia pengkhianat Republik Indonesia. Jika orang menentang seorang pejabat tinggi negara yang keliru, maka dia tidak harus dicap anti-pemerintah dan sebagainya.”

Sikap ajur-ajer tetap mewaspadai gagasan tentang harmoni. Harmoni harus dibedakan antara harmoni sebagai ide dan harmoni di dalam konteks tata masyarakat. Harmoni tidak berarti situasi aman dan tertib yang justru mendukung status quo, keserakahan penguasa dan penindasan terhadap rakyat.

Bentuk nyata perwujudan Gereja ajur-ajer yang diidealkan Mangunwijaya tampak dalam wajah Gereja yang berani merombak struktur-struktur penindasan dan pembodohan kaum miskin dan mempercepat pemrosesan alternatif yang lebih memungkinkan pemekaran keadilan sosial, nilai-nilai moral serta budaya dan kemerdekaan sejati. Gereja ditampilkan secara hirarkis tetapi tidak feodal, di mana hirarki berperan sebagai abang, ayah, kakek bahkan adik daripada selaku bapak, tuan, paduka.

Gereja sedemikian itu akan terwujud bila ada kemandirian umat. Umat memilik iman yang mendalam dan tidak memilik mental rendah diri, melainkan berani menyatakan kekatolikannya. Juga didukung oleh hirarki yang bersemangat miskin, termasuk miskin materi. Dalam hal dana, Gereja tidak lagi tergantung dari luar negeri. Tak kalah pentingnya ialah kesatuan hirarki dan awam yang tidak membonceng penguasa dunia maupun memiliki ambisi dan program yang mirip penguasa. Hirarki lebih berperan sebagai gembala rohani daripada sebagai penguasa.

Gagasan Metodis

Mengangkat Martabat Manusia

Gagasan Mangunwijaya tentang mengangkat martabat manusia didasari oleh pandangannya tentang martabat luhur manusia. Manusia menurutnya ialah realitas pengada yang utuh. Karena utuh, manusia akan mengusahakan pertumbuhan dan perkembangan dirinya menjadi manusia dewasa dengan jalan pikiran dan cita rasanya sendiri, berdiri di atas kaki sendiri. Dengan demikian manusia keluar dari hukum-hukum yang telah ditentukan atau yang telah dipastikan.

Keunggulan ini didukung oleh kemampuan akal budi manusia yang memampukan manusia tak tergantung dari segala sesuatu yang material. Manusia pun sanggup mengarungi dan menembus ruang dan waktu. Manusia bahkan menjangkau inti yang paling mendasar dari seluruh keberadaannya, yaitu memikirkan keberadaan realitas absolut, Tuhan. Akal budi manusia pula yang membedakan manusia dari ciptaan yang lain hingga manusia dapat berpikir, berefleksi, mengambil keputusan, memerdekakan diri dari kepastian nasib, merancang, berkreasi bahkan semakin mencerdaskan dirinya. Atas dasar itu, Mangunwijaya menilai bahwa nilai hidup dan martabat manusia harus diutamakan dan dijunjung tinggi, karena manusia memiliki martabat yang lebih tinggi dari ciptaan lain.

Karena manusia memiliki martabat yang lebih tinggi daripada ciptaan lain, maka apabila hak asasi manusia tidak dihargai berarti manusia hidup dalam keadaan penjajahan dan perbudakan oleh arogansi dan kesewenang-wenangan penguasa. Situasi yang sedemikian ini harus diubah. Martabat manusia harus disempurnakan seperti Yesus yang telah mengembalikan harkat dan martabat manusia. Yesus telah memerdekakan manusia satu per satu dari perbudakan moral dan sosial.

Situasi tersebut harus diatasi dengan suatu upaya pemerdekaan. Upaya pemerdekaan patut dilakukan karena manusia pada dasarnya merindukan kebebasan. Pemerdekaan itu ialah pemerdekaan manusia secara total dan sejati dari segala kedosaan, kekejaman, keserakahan dan batas-batas kemampuan, kepandaian, warna kulit, bangsa maupun agama. Bentuk konkretnya berupa perbaikan tata hukum, upaya kemanusiaan, menolong orang yang miskin, pengembangan ilmu segla kebudayaan menusia demi pemerdekaan manusia dari segala belenggu ketidakadilan, ketidaktahuan dan kebohongan. Pendek kata, suatu upaya pemerdekaan manusia dari segala tatanan yang merusak tatanan Tuhan, agar manusia semakin menjadi manusiawi dan mengalami kepenuhan secara pribadi maupun sosial, terutama bagi kaum miskin.

Pendidikan Yang Memerdekakan

Mangunwijaya menggagas pendidikan sebagai kesempatan di mana anak didik dapat menumbuhkembangkan potensi-potensi yang telah dimilikinya. Tujuannya agar anak didik mencapai suatu kematangan pribadi dan membuatnya menjadi manusia yang lebih manusiawi secara utuh.

Faktor yang penting dalam pendidikan sedemikian itu ialah upaya memunculkan dan menumbuhkan tataran kesadaran dalam diri manusia, terutama pada anak didik yang sedang mengalami pertumbuhan dan pembentukan diri. Hal ini akan membawa anak didik mengenal, memahami dan mengakui secara realistis kenyataan dirinya yang multidimensional. Keadaan seperti itu akan tercapai bila ada iklim kebebasan bagi anak. Iklim kebebasan yang dimaksud ialah keadaan di mana anak didik leluasa berkreasi dan menumbuhkembangkan segala potensi yang dimilikinya. Kebebasan ini bukan kebebasan yang seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Dari uraian di atas tampak sekali nilai luhur pendidikan yaitu sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan yang digagas Mangunwijaya ini tergolong pendidikan yang humanis, karena pendidikan seperti ini menekankan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Artinya memberi kemerdekaan kepada anak didik untuk mengembangkan diri secara penuh. Sementara itu pendidik hanya berperan untuk mendidik, menuntun dan memberikan suasana serta sarana kepada mereka supaya dapat berkembang sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang dikatakan Mangunwijaya,

“Usaha kita ialah mencari sintesis dialektik atau keseimbangan antara pemberian kemerdekaan kepada anak untuk menentukan sendiri apa yang ia senangi (lebih tepat: ia diperhatikan) dan disiplin, binaan dan pengarahan yang sebenarnya juga diharapkan si anak”

Mangunwijaya mempertajam gagasannya tentang pendidikan dengan melihat pentingnya pendidikan dasar. Baginya, pendidikan dasar merupakan pondasi pendidikan dan pengajaran. Lewat pendidikan dasar, Mangunwijaya mengharapkan agar anak didik mengalami pemekaran daya kognitif, kemampun afektif, kemampuan komunikasi, kesehatan raga, pemekaran hati nurani. Kelima unsur tersebut patut diperhatikan sejak awal karena amat penting untuk jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, pendidikan dasar merupakan tempat pendidikan yang mendesak dan strategis untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena hanya 20 juta anak yang menikmati satu-satunya jenjang pengajaran formal di seluruh kehidupan mereka, yakni SD.

Dalam pendidikan dasar, Mangunwijaya menekankan prinsip ajrih asih. Prinsip ajrih asih maksudnya, anak didik diajari patuh pada peraturan disiplin yang konsekuen, menanggapi teguran yang serius bahkan perlu diberikan “kekerasan pedagogis”. Tetapi semua itu didasari pada sikap asih. Asih melulu memang berakibat sifat manja dan ajrih melulu akan merusak mental anak didik Maka, kedua prinsip itu harus dipadukan, terutama dengan memperbanyak porsi asih yang akan mewujudkan proses pendidikan yang sejati.

Mangunwijaya menaruh perhatian pula pada pendidikan bagi kaum miskin. Mangunwijaya menjelaskan sebagai berikut,

“perbedaan kedudukan dan kepentingan itulah yang membuat masalah pembangunan dan masalah pendidikan-pengajaran tidak adil bila diteropong dari atas saja. Diteropong dari bawah melulu pun tidak lengkap, akan tetapi pertimbangan-pertimbangan dan penglihatan dari bawah (dari kaum lemah, miskin dan terbelakang) jauh lebih penting dan harus diprioritaskan. Justru karena kaum lemah adalah lemah”

Baginya, anak didik yang miskin memiliki kekhasan. Mereka hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk melanjutkan sekolah. Maka, yang terpenting ialah bagaimana mereka setelah lulus dari sekolah dasar memiliki modal untuk belajar sendiri seumur hidup. Karena, mereka sesungguhnya memilik kelemahan dalam bidang materiil, moral, mental, intelektual, afeksi dan sebagainya. Sikap guru pun harus memberikan porsi asih yang lebih banyak, yaitu dengan sikap menghargai dan memuji. Ini dilakukan agar anak miskin tidak merasa rendah diri, kalah atau takut.

Anak didik yang miskin perlu memiliki beberapa ketrampilan. Ketrampilan itu meliputi ketrampilan menyelesaikan persoalan dengan penyadaran bahwa segala persoalan dapat diselesaikan. Anak miskin bahkan harus belajar membuat pilihan-pilihan berdasarkan hati nuraninya sendiri agar ia tak hanyut dalam persoalan hidupnya. Mereka juga perlu dibekali dengan pendidikan seni. Pendidikan seni mengajak anak didik mencintai segala yang indah, yang benar, yang sejati sehingga memiliki sikap menolak segala yang jelek, yang bohong dan yang palsu. Dalam hal ketrampilan, anak didik yang miskin perlu diajak menghargai pekerjaan tangan, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah yang sungguh berharga, berguna dan pantas.

Ketrampilan yang tak kalah penting ialah ketrampilan berkomunikasi. Oleh karena itu, anak didik perlu memiliki kemampuan bahasa, memiliki sikap yang mempermudah dirinya mendapatkan informasi serta membeda-bedakan pengetahuan mana yang perlu diperoleh dan mana yang tidak relevan dengan kehidupannya. Dengan demikian, anak didik yang miskin mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang akan menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia yang utuh.

Kembali kepada tujuan pendidikan yang terarah untuk menumbuhkembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh, hal itu sebenarnya merupakan hak setiap manusia untuk mendapatkannya. Lewat pendidikan anak didik ditumbuhkembangkan daya kognitifnya, perasaan maupun potensi yang ada dalam dirinya. Jika anak didik telah dapat meningkatkan kualitas pribadi maka ia memiliki tanggung jawab sosial. Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab semua orang. Memang harus diakui, pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, yaitu orang tua, kemudian komunitas terdekat, masyarakat dan akhirnya pemerintah.

Politik Demi Kesejahteraan Umum

Mangunwijaya menggagas politik dalam arti suatu usaha demi mewujudkan kesejahteraan umum. Usaha mewujudkan kesejahteraan umum yang dimaksud berada dalam kerangka yang harus dan yang mungkin. Usaha mewujudkan kesejahteraan umum didasari oleh motivasi yang dijiwai Injil dan diwujudkan tanpa kekerasan. Perjuangan tanpa kekerasan itu demi perwujudan nilai-nilai moral, pemerdekaan manusia, perdamaian dunia dan keadilan sosial.

Lebih tegas lagi, Mangunwijaya menggagas bahwa politik sebaiknya memiliki rumusan untuk memperjuangkan, memihak dan mementingkan kaum miskin. Hal ini bukan berarti suatu usaha untuk memusuhi kaum kaya, tetapi usaha untuk melindungi dan bersikap solider kepada kaum miskin yang mengalami penindasan atau pengisapan oleh kaum kaya atau kuat kuasa yang dilakukan melalui sistem atau secara pribadi. Karena, penindasan yang dilakukan melalui sistem bukan hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga mengakibatkan pemiskinan abadi. Upaya perlindungan terhadap orang dari penindasan kaum kaya dan kuasa bagaimanapun juga merupakan tindakan politik bila dilihat dari sudut pandang politik dalam arti usaha untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Dengan demikian, keterlibatan dalam politik diartikan sebagai berkarya demi kepentingan bersama. Karya demi kepentingan bersama, menurut Mangunwijaya harus diikuti dengan melibatkan diri secara nyata ke dalam perjuangan praktis. Perjuangan itu bertujuan untuk menata kembali kehidupan sosial yang dilandasi oleh prinsip kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Keterlibatan itu terutama berupa solidaritas yang nyata mengutamakan kaum miskin. Keterlibatan dalam politik hendaknya sesuai dengan arti politik yang asli, berdasarkan tata moral, hati nurani, baik secara praktis maupun teoritis. Sebagaimana dikatakan Mangunwijaya berikut ini,

“Gereja dan umat jelas punya kewajiban dan hak untuk berpolitik dalam arti asli/moral/hati nurani, baik teoritis maupun praktis. Jadi jangan dikatakan hirarki, rohaniwan dan umat Katolik itu jangan berpolitik praktis. Sebaliknya justru dalam politik praktis/asli/moral/hati nurani. Gereja dan semua warga Gereja wajib dan berhak aktif.”

Selain itu juga didasari oleh kesadaran demi memperjuangkan common good, kebenaran, kejujuran, keadilan, penyembuhan, cinta kasih, pemerdekaan dan perdamaian. Tujuannya agar manusia semakin memerdekakan diri, manusiawi, adil dan beradab sebagai realisasi kehendak Tuhan. Perjuangan politik sedemikian ini tak lain demi mewujudkan pemerdekaan manusia, karena pada dasarnya manusia sederajat, merindukan kemerdekaan dan tak ada manusia yang suka dibelenggu.

Unsur yang paling penting dalam mewujudkan politik demi kesejahteraan umum ialah gerakan aktif tanpa kekerasan. Gagasan aktif ditujukan Mangunwijaya untuk melawan kenyataan bahwa orang baik hati bisa saja berkarya aktif sebagai pelaku dari sistem politik yang salah, hanya karena orang itu diam saja. Menurutnya, kekeliruan ini harus disadari untuk selanjutnya menumbuhkan sikap untuk memperbaiki struktur.

Perlawanan dengan cara diam-diam memboikot yang salah, adalah suatu sikap aktif yang sederhana. Ini merupakan suatu sikap yang tepat dalam arti menumbangkan segala hal yang negatif dan ikut menumbuhkan yang positif. Keputusan berpihak harus diarahkan untuk mereka yang miskin dan bukan kepada sistem yang menindas kaum miskin. Bagi Mangunwijaya gagasan aktif tanpa kekerasan akan lebih menguntungkan sebab sikap tersebut memberi kemungkinan kemenangan daripada sikap langsung yang berakibat kalah karena melawan kaum kuat kuasa yang cenderung menggunakan segala cara dalam mengupayakan tujuannya.

Perjuangan tanpa kekerasan lebih menghemat energi dan akan berdampak besar, apalagi bila didukung oleh kekuatan lain, misalnya pers. Berkaitan dengan keterlibatan rohaniwan dalam politik, Mangunwijaya berpendapat bahwa rohaniwan bagaimanapun berada dalam lingkaran politik, karena itu rohaniwan wajib berpolitik, apalagi ia makhluk sosial dan warga negara. Rohaniwan terlibat dalam politik tidak lain karena tanggung jawabnya, yaitu memenuhi kerinduan manusia terhadap segala kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan, kedamaian serta segala hal yang sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Mangunwijaya memberi catatan bahwa keterlibatan rohaniwan dalam politik harus dalam arti politik yang asli ialah mewujudkan kesejahteraan umum.

Praksis

Mangunwijaya terkenal dengan karyanya membela kaum miskin di pinggir kali Code Yogyakarta. Ia mengancam dengan melakukan aksi mogok makan untuk membela kaum miskin yang terancam digusur. Mangunwijaya justru memberdayakan mereka, membuat tempat tinggal yang layak, bahkan tinggal bersama mereka.

Praksis serupa dilakukan Mangunwijaya ketika membela rakyat Kedung Ombo yang tanahnya hendak dialiri air secara paksa untuk pembangunan bendungan. Rakyat miskin yang tak berdaya sebenarnya menolak meninggalkan tanah penghidupannya apalagi jumlah uang ganti rugi tidak memadai.

Mangunwijaya melaksanakan karyanya dengan mengetuk keprihatinan para relawan untuk membantu, antara lain dengan Lembaga Bantuan Hukum. Ia pun meminta ijin Gubernur Jawa Tengah meski akhirnya ditolak. Ia mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri namun juga dilarang. Akhirnya, Mangunwijaya diberi ijin oleh Bupati Boyolali untuk serta dalam program guru kunjungan. Mangunwijaya memotivasi rakyat Kedung Ombo, membangun sekolah darurat dan mengajar bersama para relawan. Karya Mangunwijaya pun menghadapi kendala, antara lain tekanan fisik, politik, bahkan ia dituduh melakukan Kristenisasi oleh oknum-oknum tertentu. Karena itu, Mangunwijaya menjalin kerjasama dengan tokoh Islam, Kiai Hamman Ja' far.

Komitmen Mangunwijaya demi kesejahteraan umum tampak pula dalam karya-karya kemanusiaan lainnya. Misalnya, dalam bidang pendidikan, Mangunwijaya mendirikan laboratorium pendidikan bagi anak miskin yang dinamai Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Pelaksanaan percobaan itu dilakukan di Sekolah Dasar Eksperimental Kanisius, di Mangunan, Sleman. Pendidikan dasar bagi anak miskin ini telah dirintis sejak tahun 1989. Lewat karya ini, Mangunwijaya mencoba mengembalikan sistem pendidikan yang terlanjur dikuasai oleh hegemoni filsafat dan praksis pragmatisme ke sistem pendidikan yang humanis.

Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar secara fisik memang sederhana. Bangunannya terdiri dari empat lokal yang didingnya terbuat dari anyaman bambu. Itupun bukan milik Laboratorium sepenuhnya, karena tanahnya disewa dari penduduk setempat. Ruangannya terdiri dari ruang kepala sekolah, ruang musik, ruang kelas dan asrama yang digunakan oleh anak yang kurang mampu dengan bimbingan seorang ibu. Sekolah percobaan tersebut menyediakan berbagai macam sarana antara lain: buku pendukung pelajaran, alat peraga, lembar kerja, bangku dan kursi multifungsi dengan rancangan khusus. Ini dimaksudkan agar anak-anak dapat bermain sekaligus belajar di dalam kelas. Selain itu sekolah ini menyediakan kotak pertanyaan. Selama seminggu anak-anak boleh memasukkan pertanyaan apapun yang mereka temui atau sukai ke dalam kotak pertanyaan dan pada hari Sabtu guru diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Memang di sekolah dasar ini sebagian siswanya berasal dari golongan ekonomi lemah, karena itu sumber dana untuk menghidupi sekolah ini berasal dari Yayasan Kanisius dan Kelompok Kompas Gramedia. Dana tersebut antara lain digunakan untuk menyediakan berbagai macam alat peraga, menggaji guru secara utuh dan pembekalan bagi para guru oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar menjadi salah satu bukti keseriusan Mangunwijaya dalam mengusahakan pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan manusia.

Dalam melaksanakan karyanya, Mangunwijaya menjalin kerjasama dengan beberapa tokoh agama. Mereka tergabung dalam lembaga bernama Interfidei (Institute for Inter-Faith Dialogue In Indonesia). Lembaga ini mengkhususkan diri pada dialog antar pemeluk agama. Lembaga ini menjadi tempat di mana gagasan iman didialogkan bersama agar menumbuhkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih nyata untuk menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan demi terwujudnya kesejahteraan manusia. Beberapa tokoh yang patut disebut adalah: Kiai Hamman Ja'far, Emha Ainun Najib, Kiai Haji Abdul Muhaimin, Umar Kayam, Mohammad Sobary, Kiai Haji Abdulrahman Wahid, Arief Budiman, Th. Sumartana, Pendeta Gerit Singgih dan Ibu Gedong Oka.

Praksis lain yang dilakukan Mangunwijaya sebagai kepedulian terhadap mereka yang lemah dan tersingkir ditunjukkan dalam berbagai tulisan. Lewat tulisan, Mangunwijaya memberikan kritik maupun pendapat terhadap sesuatu yang tidak benar, serta penjernihan dan pembelaan terhadap para korban yang menjadi kambing hitam suatu masalah. Tulisan-tulisannya antara lain juga mengkritik dominasi militer di Indonesia. Mangunwijaya juga membela sekelompok anak
muda dari Partai Rakyat Demokratik yang dituduh sebagai komunis sekaligus pemicu kerusuhan 27 Juli 1996. Ketika agama dibenturkan dengan politik sesudah kerusuhan 27 Juli, Mangunwijaya melakukan pembelaan, apalagi setelah Romo I. Sandyawan Sumardi, SJ dituduh sebagai pelindung buron serta dianggap sebagai otak intelektual Partai Rakyat Demokratik.

Tulisan-tulisan Mangunwijaya antara lain berbicara mengenai kritikannya terhadap dwifungsi ABRI, di mana ia tidak menghendaki dominasi kaum bersenjata di atas kaum tak bersenjata. Mangunwijaya menilai sistem demokrasi sulit tercapai bila dalam suatu sistem kaum bersenjata ikut menentukan keputusan secara besar.

Usulannya tentang amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada kenyataan bahwa UUD 1945 memberi peluang terjadinya kekeliruan sistem politik. Karena, UUD tersebut dibuat dalam waktu yang relatif cepat. Maka, UUD tersebut harus disempurnakan. Sedangkan gagasan tentang otonomi daerah didasarkan pada sistem di negara Indonesia yang justru mengakibatkan ketidakadilan, kerena kekayaan daerah kenyataannya disedot ke pusat.