Pages

Thursday, November 17, 2005

Mengenal Ensiklik Rerum Novarum, Mengenang 40 Th Ajaran Sosial Gereja



Latar Belakang Ensiklik Rerum Novarum
Situasi Sosial Abad XIX

Perubahan Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri


Pada masa agraris, kehidupan masyarakat sangat menggantungkan pada pola pengusahaan tanah dengan cara bercocok tanam. Pola status dan kekuasaan terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu tuan tanah dan para buruh tani (pelayan-pelayan). Masa ini juga sering disebut sebagai masa feodal. Pada periode ini juga sebagian kecil masyarakatnya secara pelan-pelan berkembang menjadi msyarakat pengrajin. Pusat kegiatan kerajinan ini berupa bengkel-bengkel kerja (gilda-gilda). Gilda-gilda kemudian bertumbuh pesat dan mulai menumbuhkan pola kerja baru beserta sistem hubungan ketenagakerjaan yang berbeda dengan hubungan buruh tani dengan tuan tanah. Dengan didukung penemuan mesin uap oleh James Watt (1769), sistem produksi gilda-gilda itu berubah menjadi pabrik-pabrik besar yang lebih mengandalkan tenaga-tenaga mesin daripada tenaga manusia. Gilda-gilda yang semula berproduksi dalam skala kecil berubah menjangkau sekala yang besar dan tak terbatas.

Sistem ekonomi baru ini membuat para tuan tanah menutup usaha tanah mereka. Akibatnya adalah terjadinya pengangguran yang luar biasa di desa-desa dan menciptakan kelas-kelas rakyat miskin baru. Apalagi dengan semakin berkembangnya sarana transportasi yang memudahkan hubungan desa dengan kota, menyebabkan perpindahan masyarakat desa yang menganggur dan miskin itu. Pengangguran-pengangguran yang ada di desa, yang jumlahnya sangat banyak, melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan di kota. Mereka menjadi kelas miskin kota yang hidup di tengah persaingan yang hebat dengan sesama kelas, karena semakin terbatasnya kesempatan kerja yang ada. Mereka akhirnya berani menawarkan tenaganya di pabrik-pabrik dengan harga yang sangat rendah dan dieksploitasi kemampuannya dengan melebihi kewajaran oleh para pemilik modal.

Pola ekonomi industrialisasi yang berpuncak dengan Revolusi Industri ini berjalan kurang lebih selama satu abad (dari abad XVII – XIX). Hal ini meyebabkan berbagai permasalahan sosial yang sangat serius. Pola hidup dan mentalitas masyarakat mengalami perubahan total. Keluarga-keluarga bekerja di pabrik-pabrik berakibat ikatan kekerabatan baik dalam keluarga maupun dalam masyrakat hilang. Ekonomi keluarga sangat tergantung pada upah kerja, sedangkan hubungan timbal-balik antar sesamanya dihargai secara finansial. Manusia menjadi semakin terasing dengan diri sendiri dan lingkungannya. Selain itu, pola industrialisasi masih menyisakan permasalahan yang kaya menjadi kaya sementara yang miskin menjadi semakin miskin. Terciptalah jurang dalam dan tak terdamaikan yang memisahkan antara kaya dan miskin.

Terpecahnya Masyarakat Industri di Abad XIX dan Akibatnya

Masyarakat industri, secara tak terelakan lagi, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah kelompok pemilik modal yang sering disebut majikan, juragan atau kapital, sedangkan yang kedua adalah kelompok yang tidak memiliki modal sehingga mereka menyewakan tenaganya kepada pemilik modal. Mereka sering disebut dengan kelompok buruh, pekerja atau proletariat. Dalam dunia industri kedua kelompok ini memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.

Menurut analisa Karl Marx, kelompok proletariat yang tanpa memiliki modal menjual tenaganya mengharapkan imbalan upah. Mereka menawarkan harga tenaganya dengan sangat murah karena sangat terpaksa demi mempertahankan hidupnya, walau sebenarnya tetap mengaharapakan upah yang sebesar-besarnya. Selain memperoleh upah, karena kesadarannya yang lambat laun berkembang, mereka juga berusaha untuk mengurangi jam kerja, mengusahakan sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka, dan merebut pabrik tempat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik modal. Sedangkan pihak majikan berusaha untuk mengusahakan laba sebanyak-banyaknya dengan menekan biaya tenaga buruh yang dibelinya serendah mungkin. Pertentangan kelas yang diawali dengan perbedaan kepentingan itu selalu dimenangkan oleh kelompok kecil pemilik modal. Berarti, dinamika ekonomi msayarakat ditentukan oleh kekuasaan kelompok kapital. Maka berlakulah sistem ekonomi kapitalis modern.

Hakekat dari sistem ekonomi kapitalis modern adalah bahwa tujuan produksi bukanlah terbatas pada konsumsi pihak yang berproduksi tetapi penambahan modal sebanyak-banyaknya. Demi mencapai tujuan itu kelompok pemilik modal dalam sistem ekonomi masyarakat menerapkan kebijaksanaan berdasarkan hukum ekonomi yang mengatakan bahwa dengan modal yang ditekan serendah-rendahnya diusahakan mengeluarkan pendapatan sebesar-besarnya. Efek dari kebijakan ini adalah terjadinya pemerasan dan penindasan terhadap kelas mayoritas yang kalah, yaitu kelas proletariat

Penindasan dalam masyarakat industri bukan hanya ditandai dengan upah buruh yang sangat rendah dan tidak wajar tetapi diperparah dengan waktu kerja yang sangat lama (17 jam sehari), tempat kerja yang tidak sehat, tiada jaminan kesehatan, bahkan pemberlakuan jam kerja yang sama dengan upah yang berbeda (lebih rendah) bagi para pekerja anak-anak dan wanita. Selain itu hak-hak pekerja untuk berserikat sering tidak diberi tempat. Penghisapan terhadap kelompok proletariat oleh kelompok pemilik modal yang terjadi pada sistem industrialisasi ini membawa akibat buruk bagi para buruh. Mereka menjadi manusia yang asing baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya.

Keterasingan yang paling tragis adalah keterasingan dari dirinya sendiri. Segala kemampuan dan sumber daya yang ada di dalam dirinya sendiri telah tersita habis demi memenuhi target-target akumulasi laba dari kelompok pemilik modal. Dengan pekerjaannya, mereka tidak hanya memproduksi barang-barang, tetapi menciptakan dirinya sendiri sebagai komoditas yang mendatangkan laba bagi pemilik modal. Komoditas para pekerja ternyata lebih murah harganya bila dibandingkan dengan harga hasil produksi yang diciptakannya. Kini mereka tidak lagi bersaing hanya dengan sesama pekerja dalam menawarkan daya beli dirinya kepada majikan, tetapi mendapat saingan baru yaitu barang-barang hasil produksinya.

Devaluasi kemanusiaan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai barang. Makin banyak barang yang diproduksinya, mereka semakin tenggelam dalam barang-barang yang diproduksinya dan larut menjadi modal usaha dari pemilik modal. Para buruh semakin tak berdaya karena pekerjaan yang mereka lakukan dan semakin tidak mengenal lagi jati dirinya yang sebenarnya. Yang mereka kenal hanyalah hasil produksi yang telah menggantikan identitas dirinya.

Pertentangan antara Liberal Kapitalis dengan Sosial Komunis

Krisis sosial yang terjadi pada masyarakat di abad XIX, selain menyebabkan pecahnya struktur sosial menjadi dua kelompok (kelompok kapitalis dan kelompok buruh), semakin memicu pertentangan dua kutub aliran ideologi yang sebelumnya memang telah beredar di kalangan masyarakat kota. Kedua aliran ideologi itu adalah sosialisme yang berhaluan komunis dan liberalisme yang bernuansa kapitalistik.

Kelompok liberal kapitalistik secara historis merupakan perkembangan dari faham individualistik yang muncul semasa Revolusi Perancis (1789-1799). Di dalam traktat Revolusi Perancis tertera soal kebebasan individu dan otonomi akal budi (akibat dari Aufklarung). Gagasan liberte (kebebasan) di sini memberi tempat bagi tiap individu untuk mengembangkan diri seluas-luasnya, tak terkecuali pengembangan ekonomi. Dengan kesempatan ini kaum pemilik modal (borjuis) berusaha mengembangkan kegitan ekonominya untuk memupuk kekayaan sebanyak mungkin. Maka Liberalisme ekonomi di masa ini berkembang pesat.

Liberalisme ekonomi abad XVIII itu mendapat kesempurnaannya pada abad XIX, di mana pada masa ini konsentrasi modal telah melebihi batas kewajaran di tangan segelintir kelompok kapitalis. Liberal kapitalis dari tahun ketahun memiliki beberapa ciri dasar yang selalu tetap yaitu; pemilikan perorangan, perekonomian pasar, persaingan bebas, orientasi keuntungan, dan monopoli.

Pemilikan pribadi (individual ownship); alat-alat produksi, seperti tanah, pabrik, mesin-mesin produksi, dan sumber-sumber alam, dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorangan yang memiliki modal besar.

Perekonomian pasar (market economy); barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Persaingan bebas (free competition); dalam dunia perekonomian pasar berorientasi pada penumpukan laba usaha membawa akibat terjadinya persaingan bebas. Persaingan ini akan selalu dimenangkan oleh para pemilik modal yang besar dan perekonomian kerakyataan tak dapat berkembang.

Keuntungan (profit); free competitition yang dimenangkan oleh orang-orang kuat. Untuk memperkuat dirinya agar tetap menang dalam kompetisi, segala kegiatan ekonomi selalu ditujukan untuk mendapatkan keuntungan. Jika laba semakin banyak maka kapital yang telah dimilikinya akan semakin berkembang dan semakin kuatlah dirinya. Keuntungan sebesar-besarnya adalah hakekat dari perekonomian kapitalis.

Monopoli; perekonomian kapitalistik ditandai dengan monopoli berbagai bidang kegiatan ekonomi oleh para kelompok pemilik modal yang memenangkan kompetisi ekonomi masyarakat. Monopoli ini membuat bertumpuknya kekayaan pada segelintir orang saja, sementara yang lainnya menderita kemiskinan. Monopoli akan semakin kuat karena didukung oleh tiga macam kebebasan, yaitu kebebasan berdagang dan menentukan pekerjaan, kebebasan hak kepemilikan, dan kebebasan mengadakan kontrak.

Pola masyarakat yang tidak adil, terutama sebagai akibat paham liberal kapitalisme, mendatangkan protes keras dari berbagai kalangan baik dalam bentuk aksi sosial maupun ideologi. Lahirnya ideologi sosial komunisme pun tak jauh dari peristiwa semacam ini. Berbagai tokoh sosial dengan berbagai analisanya selalu menentang liberal kapitalisme yang membawa masyarakat pada pola ekonomi kapitalistik. Yang menjadi cita-cita sosialisme adalah sistem masyarakat yang bebas dari kepemilikan pribadi. Semua hasil alam dan kekayaan yang ada diolah dan dinikmati oleh semua anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini jalan yang terbaik adalah revolusi sosial.

Pada revolusi sosial masyarakat melakukan perampasan terhadap segala kekayaan pribadi dari para tuan kapitalis yang kemudian dijadikan milik bersama. Oleh Karl Marx idealisme sosialis semacam ini dipertajam menjadi apa yang disebut dengan masyarakat komunis. Dalam masyarakat komunis segala milik pribadi, baik barang maupun jasa, diambil alih oleh negara dan penggunaannya diawasi oleh negara. Pada proses perkembangan selanjutnya, setelah masyarakat komunis masak; yaitu msayarakat tanpa kelas, bentuk suatu negara akan delenyapkan. Negara tidak dibutuhkan lagi, karena anggota masyarakat sudah mampu memenuhi segala kebutuhannya masing-masing.

Reaksi Masyarakat dan Gereja atas Permasalahan Sosial Abad XIX

Krisis sosial yang memprihatinkan di masa ini mengundang perhatian dari berbagai kalangan untuk ikut mencoba mencari pemecahannya. Reaksi terhadap permasalahan sosial ini secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dari kalangan non-Gerejani dan kalangan Gerejani.

Reaksi dari Kalangan Non-Gerejani

Usaha-usaha pertama untuk menanggapi permasalahan sosial abad ke-19 merupakan rentetan perhatian sosial yang telah dilakukan oleh para kaum sosialis awali. Sosialis awali merupakan gerakan sosial politik antara tahun 1789 (akhir Revolusi Perancis) dan tahun 1884 (awal Revolusi Sosial dengan terbitnya Manifesto Komunis dari Karl Marx). Mereka memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan ekonomi bagi semua masyarakat. Selain pergerakan sosial mereka juga melakukan analisa proses industrialisasi yang ikut mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan kaum buruh dalam tata sosial ekonomi liberal-kapitalistik. Mareka ingin menggugah kesadaran masyarakat akan permasalahan ini dan mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih sosialis.

Karl Marx menyebut kaum sosialis awali ini sebagai sosialis utopis, untuk membedakan dengan ajaran sosialismenya yang ia namai dengan sosialisme ilmiah, yaitu teori sosial yang lebih sistematis berdasarkan fakta-fakta yang akurat. Akan tetapi pandangan-pandangannya di kemudian hari sebenarnya banyak mengambil gagasan-gagasan yang telah ada dari para sosialis awali, bahkan juga mencangkok teori-teori sosial purba. Gagasan-gagasan itu diantaranya tentang pertentangan kelas dan masyarakat tanpa kelas (Charles Fourier 1772-1837), keterasingan kerja (Saint Simon 1760), dan teori nilai kerja yang hanya dinikmati oleh kaum kapitalis (Proudhon 1809-1865).

Sosialisme ilmiah Karl Marx sangat berpengaruh baik di kalangan para sosialis sendiri maupun di luar kalangan sosialis karena analisa sosialnya yang sangat tajam. Pada tahun 1884 Karl Marx bersama dengan Friedrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis yang diakhiri dengan seruan agitatif supaya kaum buruh di seluruh dunia bersatu untuk melakukan revolusi. Kemudian ia juga menerbitkan buku Das Kapital, sebanyak tiga jilid (jilid I : 1867, II : 1885, III : 1894), yang isinya menyoroti ketidakadilan masyarakat kapitalis. Untuk mewujudkan teori-teorinya dan meneruskan perjuang Karl Marx mendirikan Asosiasi Internasional Kaum Buruh (Internationale I) pada tahun 1894.

Reaksi Kalangan Gerejani

Reaksi sosial kalangan gerejani berawal dari gerakan-gerakan katolisisme. Gerakan katolisisme adalah suatu gerakan kepedulian sosial yang dipengaruhi iman Gereja katolik. Gerakan ini tidak atas perintah atau dibawah pengaruh pimpinan hierarki tertinggi Gereja (Paus), tetapi atas prakarsa dan tanggung jawab orang-orang katolik sendiri sejauh bertindak dirinya sebagai Gereja yang hidup. Gereja yang tampil lewat tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok yang peduli terhadap permasalahan sosial. Dalam katolisme selain terdapat dimensi sosial, tersirat pula dimensi politik. Katolisisme ini tidak berarti sebagai usaha untuk membuat masyarakat atau negara menjadi katolik, melainkan memberi sumbangan untuk kesejahteraan umum dan kegitan humanisasi masyarakat.

Katolisisme di Perancis diawali dengan gerakan karitatif yang diprakarasi oleh Federic Ozanam (1813-1853). Dia mendirikan Konferensi Santo Vincentius, yaitu kelompok awam yang terpanggil untuk meringankan beban penderitaan orang miskin. Katolisisme di Jerman dipelopori oleh Adolf Kolping (1813-1865) dengan mendirikan rumah-rumah pertemuan untuk para tukang dan buruh di kawasan industri sungai Ruhr. Ia membuka kesadaran para tukang dan buruh industri akan pentinganya perubahan sikap, bukan hanya perubahan struktur masyarakat. Sedangkan di Belanda Wilhelm Emanuel Freiherr van Ketteler (1811-1877) mempengaruhi kalangan Katolik di negaranya dengan animo yang sangat besar. Ia membangkitkan kesadaran tantang masalah buruh sebagai masalah sosial. Ia menekankan bahwa pembangunan religius tak mungkin tanpa perubahan sosial.

Gerakan katolisisme diatas nampaknya juga mempengaruhi sikap-sikap para pemimpin Gereja. Reaksi Gereja terhadap permasalahan sosial, terutama di kalangan tahta apostolik, dari berbagai generasi, memiliki dinamika yang beraneka ragam. Reaksi itu lebih bersifat seruan-seruan kegembalaan pada rentang waktu 1800-1878. Akan tetapi seruan-seruan para pemegang tahta apostolik itu lebih bersifat konservatif dan belum menyentuh realitas masyarakat yang sebenarnya. Seruan-seruan mereka masih bermuatkan nada-nada perlawanan terhadap gagasan-gagasan yang membahayakan eksistensi Gereja dan mengancam wibawa apostolik di tengah-tengah krisis sosial yang sedang berkecamuk, karena Gereja tidak lagi diterima sebagai wibawa tertinggi, sehingga para paus pada periode ini lebih mendukung para penguasa konservatif, sedangkan kelas-kelas baru yang timbul di masyarakat sebagai akibat perubahan sosial dianggap sebagai hal yang membahayakan status dan kedudukan Gereja.

Paus Pius VII (1800-1823) mengadakan beberapa pembaharuan dalam tata Negara-Gereja, tetapi hal itu dihapus oleh Paus Leo XII (1823-1829), sebagai penggantinya, terutama masalah kebebasan pers. Paus Pius VIII (1829-1830) nampaknya lebih mendukung gerakan Paus Pius VII, namun ia hanya menjabat selama satu tahun. Kemudian Paus Gregorius XVI (1831-1846) sependapat dengan Paus Leo XII, artinya ia menentang segala perubahan ke arah pandangan yang lebih bebas dan terbuka atas realitas modern.

Dengan ensikliknya, Mirari Vos (1832), ia tidak menyetujui pemisahan antara Gereja dengan negara, melarang kebebasan pers, dan mengutuk kebebasan bergama. Pada periode 1846-1878, dimana kuasa tahta apostolik dipegang oleh Paus Pius IX, Gereja tetap tidak membuka diri terhadap segala perubahan. Pius IX mengeluarkan ensiklik Quanta Cura tahun 1846 sebagai bentuk penolakan dan mengutuk dengan sangat radikal segala bentuk pemikiran modern. Ketika revolusi sosial mulai meledak dan mengancam Roma, ia menjadi takut terhadap segala pembaharuan yang terjadi di dalam masyarakat dan mendukung secara terang-terangan terhadap mereka yang ingin memperjuangkan kesatuan tahta-altar.

Selama 78 tahun Gereja lewat seruan-seruan apostolik telah mencoba menanggapi permasalahan sosial dengan berbagai reaksi, baik konservatif maupun liberal, namun tetap belum mampu memenuhi tuntutan yang diharapkan masyarakat. Baru setelah tahta kepausan dipegang oleh Paus Leo XIII Gereja benar-benar mampu menjawabi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi. Leo XIII ketika dilantik menjadi Paus sudah berumur 68 tahun dan kesehatannya sudah mulai melemah. Ia terpilih sebenarnya hanya sebagai pengisi lubang sebelum Gereja memiliki arah yang jelas ke mana tujuannya. Sebab para paus sebelumnya tidak memiliki kesepakatan untuk menentukan ke mana arah Gereja sehubungan dengan situasi yang terjadi di masyarakat saat itu. Akhirnya ternyata ia mampu memberi arah baru kepada pandangan Gereja dalam bidang sosial.

Leo XIII sadar bahwa Gereja tidak mampu berbuat apa-apa bila tidak memiliki kontak langsung dengan masyarakat. Maka ia tidak mau membatasi karya Gereja hanya seputar altar dan sakristi. Ia meluaskan pandangannya juga kepada segala bidang kehidupan, termasuk bidang politik, intelektual maupun sosial ekonomi. Dalam bidang politik ia memperbaiki hubungan Vatikan dengan beberapa pemerintah di Eropa. Di bidang intelektual ia memajukan tomisme . Namun yang sangat penting adalah keterlibatannya pada bidang permasalahan sosial.

Pada masa-masa awal jabatannya, Paus Leo XIII dihadapkan pada maraknya ideologi sosialis komunis yang berkembang di seluruh Eropa. Melalui Ensiklik Inscrutrabili Dei Consilio (20 April 1878) digagas soal kejahatan yang mempengaruhi dunia modern sebagai akibat dari penolakannya terhadap Roma, Gereja, dan karya sosial Gereja (# 3). Maka Gereja harus membenahi dirinya (# 7,12). Kemudian pada tanggal 28 Desember di tahun yang sama, melalui Ensiklik Quod Apostolici Muneris, Bapa suci memberi tanggapan terhadap pandangan sosialis, dan memperingatkan agar masyarakat berhati-hati terhadap pengaruh ajaran sosialis itu (# 1), serta menekan pemerintah agar memerintah dengan adil (# 6). Gereja sebenarnya juga memiliki perhatian yang besar terhadap orang miskin (# 9,11).

Kemiskinan kaum buruh dan pertentangan ideologi yang semakin hebat membuat Paus Leo XIII sadar bahwa Gereja tidak dapat diam lebih lama lagi, tanpa melakukan rekasi apa-apa atas permasalahan sosial yang terjadi. Ia tahu bahwa telah banyak orang yang berusaha sedapat mungkin meringankan beban kaum buruh yang miskin. Paus Leo XIII juga sadar bahwa gerakan-gerakan sosial-komunis merupakan suatu hal yang membahayakan Gereja. Untuk itu dalam berbagai ensikliknya dibicarakan soal kerja dan modal, nasib para buruh, kewajiban-kewajiban sosial negara, dan terutama soal sosialis komunisme.

Dalam Ensiklik Diuturnum Illud (29 Juni 1881) Paus berkomentar tentang kekuasaan yang jahat sebagai karakter masyarakat saat itu (# 1,2) dan menegaskan supaya Gereja memberi perlindungan dan dukungan terhadap usaha untuk menjaga stabilitas dan penataan negara (# 3). Selain itu, dengan ensiklik ini Paus berseru kepada para pemimpin permerintahan bahwa kekeuasaan itu berasal dari Tuhan dan melalui warga negaranya ia diberi kepercayaan untuk memerintah (# 4-6). Maka pada perkembangan selanjutnya dikeluarkanlah sebuah ensiklik yang membahas hubungan Gereja dengan Negara, yaitu Ensiklik Immortale Dei (1 November 1885). Ditandaskan bahwa Gereja dan Negara sama-sama memiliki otoritas yang berasal dari Tuhan (# 3) dan bertugas untuk memajukan kepentingan umum warga negara. Maka keduanya harus saling kerja sama dan saling menghormati (# 6-9, 13-14) dan Gereja hanya mendukung pemerintahan yang memajukan kesejahteraan umum (# 44, 48).

Lima tahun berikutnya Bapa Suci melihat ketegangan orang-orang kristiani atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Maka ia mengeluarkan Ensiklik Sapientiae Christiane pada tanggal 10 Januari 1890, yang berisi tentang kebijaksanaan kristiani untuk mementingkan hak atau kewajiban. Dalam kasus ini Paus Leo XIII menekankan bahwa bila dalam keadaan mendesak kepentingan dan keselamatan pribadilah yang harus didahulukan (# 28) dan Gereja menolak untuk dilibatkan dalam perselisihan partai (# 29).

Ensiklik-ensiklik keterlibatan sosial Gereja di atas semaikin mendorong Bapa suci untuk lebih menandaskan seruannya pada pemecahan permasalahan sosial. Pada tanggal 5 Mei 1891, sekali lagi, Bapa Suci mengeluarkan ensiklik yang menaruh perhatian paling besar pada permasalahan sosial yaitu Ensiklik Rerum Novarum.

Pokok-Pokok Ensiklik Rerum Novarum

Ensiklik Rerum Novarum merupakan ensiklik yang menanggapi masalah sosial akhir abad XIX yaitu masalah kaum buruh. Masalah yang dibicarakan adalah semacam tanggapan terhadap pandangan dan gerakan sosialis-marxisme dari satu pihak dan lain pihak pandangan liberalisme yang menguasai dunia ekonomi. Ensiklik ini tidak langsung dialamatkan kepada kaum buruh, tetapi menguraikan masalah-masalah kaum buruh kepada para pemimpin Gereja dan masyarakat. Kaum buruh dan para pengusaha yang dimaksudkan ensiklik ini pada prinsipnya adalah orang-orang Katolik, oleh karena itu masalah sosial menjadi masalah Gereja juga. Ensiklik Rerum Novarum ini dibagi menjadi tiga tema pokok. Pertama; situasi rakyat miskin dan kaum buruh, kedua; penolakan atas pemecahan sosialis terhadap kemiskinan, ketiga; usulan Sri Paus untuk memecahkan permasalahan terhadap kemiskinan.

Situasi Rakyat Miskin dan Kaum Buruh

Kemerosotan moralitas umum selama revolusi Industri membuka jalan bagi pemerasan para buruh yang tidak dilindungi oleh undang-undang dan terisolasi. Ketamakan orang-orang kaya dalam proses produksi melahirkan suatu situasi di mana orang kaya memperbudak masa pekerja yang tidak memiliki modal dan sarana produksi. Pada # 1 dan 5 disebutkan bahwa harta kekayaan tertimbun dalam tangan segelintir orang, sedangkan masyarakat luas meringkuk dalam kemelaratan, dan kemalangan yang celaka;

“Kaum pekerja yang berdiri sendiri, tanpa perlindungan apaun, lama kelamaan menjadi mangsa majikan-majikan yang tak berperi kemanusiaan dan bernafsu kelobaan persaingan bebas” (# 6).

Masih di dalam # 6 dikatakan bahwa masalah kaum buruh bukanlah masalah harta dan pembagian kekayaan; tetapi masalah kebebasan kaum buruh dan penghargaan terhadap pribadi manusia. Menanggapi masalah itu memang sangat sulit, sebab sukarlah untuk; “menetapkan dengan seksama dan tepat, hak dan kewajiban majikan dan buruh, yakni mereka yang memberi modal dan mereka yang menyumbangkan pekerjaan”(# 4).

Penolakan Pemecahan Sosialis terhadap Kemiskinan

Kaum sosialis menangani permasalahan kemiskinan dengan cara pengahapusan hak milik pribadi dari tiap orang yang kemudian dijadikan milik bersama dan dikelola oleh negara (# 3, 7). Ensiklik Rerum Novarum mengecam keras hal ini. Sebab dalam pandangan Paus, masalah hak milik pribadi merupakan inti dalam seluruh pandangan ajaran sosial dari marxisme dan sosialisme, maka hak milik pribadi menjadi titik perhatian pembelaan Paus. Untuk selanjutnya Bapa Suci menguraikan secara panjang lebar tentang hak milik pribadi.

Pada pokok pembicaraannya ditekankan bahwa para buruh berhak untuk mempunyai milik pribadi melalui usaha kerja keras mereka. Ini adalah hak kodrati manusia. Meniadakan hak milik pribadi berarti memperkosa hak-hak para pemilik yang sah. Bahkan negarapun tidak berhak untuk mengambil alih hak milik pribadi itu (# 8-26). Karena pembelaanya pada hak milik oleh para sosialis ensiklik ini dituduh memihak kaum kapitalis. Padahal sebenarnya Paus memihak kaum buruh;“mesti dirubah situasi kaum buruh yang tidak pantas, yang disebabkan oleh keserakahan dan kekerasan hati majikan-majikan, yang menghisap kaum buruh tanpa batas dan memperlakukan mereka bukan sebagi manusia melainkan sebagi barang” (# 64).

Dari pernyataan ini menjadi jelaslah bahwa Paus sama sekali tidak bermaksud membela para majikan, melainkan memperjuangkan nasib para kaum buruh. Selanjutnya dikatakan bahwa kaum buruh diharapkan untuk berusaha menabung hasil upahnya, sehingga mereka dapat menjadi mandiri baik dari majikan-majikan maupun dari kelompok-kelompok buruh dan partai politik yang berusaha menarik keuntungan dari kondisi kemelaratan kaum buruh (# 70).

Usulan Pemecahan Permasalahan Kemiskinan

Paus Pius XIII mengusulkan agar permasalahan kemiskinan dipecahkan dengan melibatkan peranan dari Gereja, buruh dan majikan, serta negara.

Peranan Gereja. Gereja berhak berbicara mengenai masalah-masalah sosial, sebab persoalan sosial mempengaruhi agama dan moralitas (# 24). Untuk itu dengan menggunakan prinsip-prinsip Injil Gereja dapat membantu memperdamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial. Tidaklah benar menerima dengan gampang bahwa suatu kelas masyarakat yang tak terdamaikan, dan perpecahan antara kaya dan miskin bukanlah kodrat (# 25,27,33, 41). Dengan demikian Gereja dapat mengusakan pendidikan untuk bertindak adil (# 40, 41). Rerum Novarum dalam # 31 juga diajarkan bahwa para buruh tidak boleh diperlakukan sebagai budak; keadilan menuntut penghormatan akan martabat manusia.

Peranan buruh dan majikan. Peranan buruh dan orang miskin adalah bekerja dengan baik dan tidak merusak milik majikan, serta menghinadri kekerasan ketika berniat hendak melindungi kepentingan mereka (# 31). Sedangkan para majikan dan orang kaya haruslah tidak memperlakukan buruh sebagai budak. Harkat dan martabat kaum buruh harus dihormati, dan diberi kesempatan untuk menjalankan kewajiban agamanya serta kewajiban terhadap keluarganya. Para majikan hendaknya memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kekuatan, jenis kelamin, serta usia si buruh. Buruh juga harus diberi keleluasaan untuk dapat menabung. Orang kaya berkewajiban memenuhi kebutuhan orang miskin. Di balik itu semua, kewajiban pokok majikan dan orang kaya adalah memberikan upah yang adil kepada buruh, serta tidak pernah dibenarkan melakukan penindasan terhadap orang miskin (# 31,32). Karena sebenarnya antara majikan dan buruh saling membutuhkan satu sama lain (# 28).

Bapa Suci menyadari bahwa buruhpun sebagai mahkluk sosial dan untuk melindungi kepentingan dan hak-haknya dibutuhkan serikat-serikat pekerja (# 72,73,75). Untuk itu ditekankan dengan adanya serikat kerja ini kesejahteraan, baik jiwa maupun jasmani, dapat dinikmati para buruh (#76).

Peranan negara. Dengan undang-undang yang melayani kesejahteraan umum, negara harus mencurahkan perhatiannya untuk melindungi kesejahteraan dan hak-hak buruh yang tidak memiliki sarana produksi, serta melindungi semua kelas warga negara, mencegah perubahan prinsip keadilan distributif (# 48,71,49). Negara juga harus memajukan dan mengusahakan hak-hak keluarga (# 21). Maka bila perlu, negara harus campur tangan untuk melindungi keselamatan individu-individu atau kesejahteraan umum. Dengan tidak membahayakan kepentingan umum, individu-individu dan keluarga haruslah diperbolehkan menikmati kebebasannya dalam bertindak (# 52). Dalam usahanya untuk melindungi hak-hak pribadi, perhatian utamnya ditujukan kepada mereka yang lemah dan miskin karena mereka tidak memiliki sarana perlindungan diri. Untuk itu negara harus mendukung hak miliki pribadi dan memampukan untuk memiliki milik pribadi (#54-56). Peranan negara lebih lanjut adalah menjunjung tinggi hak-hak rakyat untuk berserikat dan beragama (# 72,73,75).