Pages

Friday, March 02, 2012

Menantikan Kerajaan Allah, Mewujudkan Kesejahteraan

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kerajaan Allah akan datang dan akan menjadi kerajaan kasih, kedamaian dan keadilan. Kerajaan Allah diawali dengan kematian dan kebangkitan Yesus dan menjadi sempurna kelak pada saat kedatanganNya kembali, pada akhir zaman. Umat beriman hendaknya hidup sesuai dengan ajaran Yesus, berpikir dengan cara Kristus dan terus mempromosikan perdamaian dan keadilan. Hal ini terjadi jika umat mendengarkan kehendak Roh Kudus dan bertindak sesuai situasi konkret. Tak ketinggalan umat beriman perlu berdoa, memohon kepada Tuhan sehingga Kerajaan Allah datang.

Sebenarnya, Yesus telah mengawali dengan mengumpulkan para murid agar menjadi benih dan awal Kerajaan Allah di bumi. Yesus mengutus Roh Kudus untuk membimbing dan memanggil semua orang untuk menyebarkan Kerajaan Allah di seluruh dunia. Kerajaan Allah yang paripurna akan terjadi pada kedatangan Kristus pada akhir jaman. Saat itu, Ia akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Tandanya ialah kekalahan kekuatan jahat. Karena itu, umat beriman yang menunggu dengan penuh harapan kedatangan Kerajaan Allah, berdoa dengan ungkapan "Datanglah, KerajaanMu”. Kerajaan Allah yang diharapkan ialah situasi keselamatan. Allah meraja dalam diri setiap orang. Ketika semua orang hidup sebagai saudara, sebagai anak-anak Allah serta pikiran dan tindakan manusia selaras dengan kehendakNya.

Yesus tidak mendefinisikan Kerajaan Allah secara tersurat. Ia menggambarkan Kerajaan Allah dalam perumpamaan. Hal Kerajaan Allah itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Biji itu paling kecil. Tetapi apabila ditaburkan, biji dapat tumbuh, menjadi lebih besar sehingga burung-burung dapat bersarang dalam naungannya. Kerajaan Allah itu serupa konsep tentang kehidupan, kemuliaan, kegembiraan dan terang. Paulus menjelaskan Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran atau keadilan, damai sejahtera dan sukacita oleh karena Roh Kudus.

Memang, Kerajaan Allah bernuansa spiritual sekaligus eskatologis. Namun, Yesus menegaskan bahwa Kerajaan Allah menjadi realitas saat ini. Mereka yang kelak duduk di sebelah kanan Raja, yang diberkati Bapa dan menerima Kerajaan yang telah disediakan sejak dunia dijadikan, ialah mereka yang melakukan karya sosial kepada sesama. Ialah memberi makan, memberi minum, memberi tumpangan, memberi pakaian, yang melawat dan mengunjungi sesama yang lapar, haus, asing, telanjang, sakit dan dalam penjara. Sebagaimana perkataan Yesus, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Maka Kerajaan Allah merupakan situasi selamat, yang berciri keadilan dan damai sejahtera, bukan sebuah keadaan yang melulu ditunggu, melainkan situasi yang harus diwujudkan sekarang.

Situasi dunia yang masih tidak menunjukkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan, terkait dengan relasi yang benar manusia kepada Tuhan, kepada sesama, baik secara individual atau sosial dan relasi dengan seluruh ciptaan. Maka mengharapkan datangnya Kerajaan Allah berarti mengharapkan terwujudnya keadilan, kedamaian dan kesejahteraan dalam relasi dengan Tuhan, sesama dan seluruh ciptaan.

Dalam relasi dengan Tuhan, Tuhan menginginkan umat untuk beribadah. Ibadah merupakan tanda bahwa umat menghormati dan memuliakan Tuhan dalam perayaan. Nabi Amos mengingatkan dengan keras bahwa Tuhan membenci, ibadah bangsa Israel dan tidak menyukai korban persembahan. Karena di dalam kehidupan mereka tidak ada keadilan dan kebenaran. Mereka tekun merayakan hari raya, mempersembahkan korban dan memuliakan Tuhan, tetapi tindakan dan perbuatan mereka setiap hari tidak mempraktekkan kebenaran dan keadilan. Mereka memisahkan antara ibadah dan tindakan kasih. Ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, terpisah dan tidak serta merta diwujudkan dalam tindakan kasih kepada sesama.

Dalam relasi dengan sesama, Yesus menunjukkan siapakah sesamaku manusia dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati. Pada jaman itu, orang Yahudi menganggap bahwa orang kafir dan orang Samaria adalah golongan orang yang harus dijauhi dan dianggap musuh. Demikian pula para Imam dan ahli Taurat memperlakukan orang Yahudi dari golongan rakyat biasa, sebagai najis dan harus dihindari. Yesus mengajarkan bahwa sesama manusia ialah manusia, siapapun orangnya. Manusia tidak bisa direduksi karena suku, agama, ras, warna kulit atau golongannya. Sesama manusia adalah orang yang memerlukan pertolongan. Ia meminta kita untuk saling mengasihi. Karena mengasihi Tuhan, tetapi membenci sesama, merupakan sesuatu yang bertentangan. Mengasihi Tuhan berarti mengasihi sesama, memperhatikan mereka yang miskin, yang menjadi korban, tanpa memandang suku, agama, ras, warna kulit atau golongan.

Dalam relasi dengan seluruh ciptaan, Tuhan telah menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Seluruh ciptaan itu merupakan tanda kemuliaanNya. Tuhan memberi mandat kepada manusia untuk menguasai bumi. Tugas ini bukan berarti untuk mengeksploitasi atau menghancurkan, tetapi untuk mengelola, mengatur dan mengembangkan sumber daya alam sehingga menunjang kehidupan manusia. Oleh karena itu, menghormati alam ciptaan Tuhan merupakan usaha untuk mencari keseimbangan ekologis ciptaanNya. 

Keadilan, kedamaian dan kesejahteraan dengan demikian bukan melulu teori ekonomi atau politik. Situasi itu perlu diperjuangkan dalam tindakan. Manusia memuliakan Tuhan dalam tindakan nyata kepada sesama sebagai citraNya dan kepada seluruh ciptaan yang diciptakan Tuhan, sebagai baik adanya. Manusia hendaknya mengusahakan hidup secara lebih adil, damai dan sejahtera, tidak hanya dengan Tuhan, tetapi dengan sesama dan seluruh ciptaan. Ukurannya ialah bagaimana manusia memperlakukan mereka yang paling lemah. Dengan demikian menantikan Kerajaan Allah tidak berarti berpangku tangan saja, melainkan terus berjuang membangun hidup yang semakin beriman kepada Allah dan mewujudkan kesejahteraan bagi sesama dan seluruh ciptaan. (Surabaya Post, 2 Maret 2012).