Pages

Friday, July 26, 2013

St. Thomas More, Teladan Negarawan dan Politisi


Kehidupan dan kemartiran St. Thomas More telah menjadi sumber inspirasi selama berabad-abad dan memberi pesan kepada banyak orang di manapun, bahwa martabat luhur manusia tak bisa dipisahkan dengan hati nurani. Sebagaimana dikatakan dalam Konsili Vatikan II "pusat paling intim dan perlindungan seseorang, ketika ia sendirian bersama Tuhan, ialah suara yang mengema dalam diri" (Gaudium et Spes, art. 16).

Setiap orang yang mengindahkan panggilan kebenaran, dituntun hati nurani kepada tindakan luhur, menuju kebaikan. Justru karena kesaksian yang ditampilkan, bahkan pada kualitas hidupnya, dengan kebenaran kekuasaan, St. Thomas More dihormati sebagai contoh integritas moral abadi. Bahkan di luar Gereja, terutama di antara mereka yang bertanggung jawab atas nasib masyarakat, ia diakui sebagai sumber inspirasi bagi sistem politik yang memiliki tujuan tertinggi, pelayanan manusia.

Baru-baru ini, pemimpin beberapa negara dan pemerintahan, tokoh politik dan beberapa Konferensi Uskup dan Uskup telah meminta untuk memberitakan St. Thomas More, pelindung negarawan dan politisi. Mereka mendukung petisi ini, termasuk orang-orang berlatar belakang politik, budaya dan agama yang berbeda. Hal ini merupakan tanda minat yang mendalam terhadap pemikiran dan sosok aktivitas negarawan ini.

Pribadi

Thomas More memiliki karir politik yang luar biasa di tanah kelahirannya. Lahir di London pada tahun 1478 dari keluarga terhormat, sebagai seorang anak muda ia ditempatkan dalam pelayanan Uskup Agung Canterbury, John Morton.

Dia kemudian belajar hukum di Oxford dan London, sambil memperluas keahlian di bidang budaya, teologi dan sastra klasik. Dia menguasai bahasa Yunani dan menikmati pekerjaan dan persahabatan dengan tokoh penting dari budaya Renaissance, termasuk Desiderius Erasmus Rotterdam.

Sentimen keagamaan yang tulus mendorongnya mengejar kebajikan melalui praktik asketisme yang tekun. Ia menjalin persahabatan dengan Fransiskan dari Biara di Greenwich dan untuk sementara waktu ia tinggal di Biara Charter House London, ini merupakan  dua pusat agama yang tumbuh dalam Kerajaan.

Merasa dirinya dipanggil dalam hidup berkeluarga dan mendedikasikan sebagai orang awam, pada tahun 1505 ia menikahi Jane Colt, yang memberi empat anak. Jane meninggal pada tahun 1511 dan kemudian ia menikahi Thomas Alice Middleton, seorang janda dengan satu anak perempuan.

Sepanjang hidupnya, ia adalah seorang suami yang sayang dan setia serta ayah yang sangat terlibat dalam pendidikan agama, moral dan intelektual kepada anak-anaknya. Rumahnya terbuka untuk teman anak-anak dan cucu-cucunya, dan selalu terbuka untuk teman-teman muda mencari kebenaran atau panggilan mereka sendiri. 

Kehidupan keluarga memberinya banyak kesempatan untuk berdoa dan lectio divina, serta untuk relaksasi secara bahagia dan sehat. Thomas menghadiri misa harian di gereja paroki, sebagai sebuah perbuatan silih yang keras, hal ini hanya diketahui keluarga dekatnya.

Karir Politik

Ia terpilih menjadi anggota Parlemen untuk pertama kali pada 1504 di bawah Raja Henry VII. Penerus yang terakhir Henry VIII membaharui mandatnya tahun 1510, dan bahkan ia menjadi wakil kepala ibukota. Ini memiliki karir menonjol dalam administrasi publik.

Selama dekade berikutnya Raja mengirimnya dalam misi diplomatik dan komersial ke beberapa wilayah, kini Perancis. Karena menjadi anggota dari Dewan Raja, hakim ketua dari pengadilan yang penting, bendahara dan wakil ksatria, di tahun 1523 ia diangkat menjadi Ketua Dewan Rakyat (House of Commons).

Ia dihargai oleh semua orang, karena integritas moralnya, ketajaman pikiran, karakter terbuka dan lucu, serta pembelajar yang luar biasa. Pada tahun 1529 pada saat krisis politik dan ekonomi, ia ditunjuk oleh Raja untuk menjabat sebagai Tuan Kanselir .

Sebagai orang awam pertama yang menempati posisi ini, Thomas menghadapi periode yang sangat sulit, saat ia berusaha untuk melayani Raja dan negara. Dalam kesetiaan kepada prinsip, ia berkonsentrasi menjunjung tinggi keadilan dan menahan pengaruh bahaya orang-orang yang selalu ingin mengorbankan kaum lemah.

Pada 1532, ia tidak mendukung niat Henry VIII untuk menguasai Gereja di Inggris, ia mundur dari posisinya. Ia menarik diri dari kehidupan publik, mengundurkan diri, keluarga menjadi miskin dan ditinggalkan oleh banyak orang yang, saat sidang, terbukti sebagai teman palsu.

Kerena ketegasan dalam menolak kompromi dengan apa yang bertentangan dengan hati nurani, pada tahun 1534 Raja dipenjarakan karena keputusannya di Tower of London. Ia menjadi sasaran berbagai macam tekanan psikologis.

Thomas More tidak membiarkan dirinya goyah, dan ia menolak untuk mengambil sumpah yang diminta, karena ini akan membuatnya menerima pengaturan politik dan gerejawi yang mempersiapkan jalan bagi despotisme yang tidak terkendali (bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual maupuun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut, juga dapat berarti tiran (dominasi melalui ancaman hukuman dan kekerasan).

Pada persidangan, ia membuat pembelaan berapi-api tentang keyakinannya berkenaan dengan pernikahan tak terceraikan, rasa hormat karena warisan yuridis peradaban Kristiani dan otronomi Gereja dalam hubungan dengan Negara. Sampai akhirnya ia dikutuk oleh pengadilan, hingga ia dipenggal.

Refleksi

Setelah kematiannya, diskriminasi terhadap Gereja berkurang. Pada tahun 1850 Hirarki Katolik Inggris dibentuk kembali. Hal ini memungkinkan untuk mengusulkan kemartirannya.

Thomas More, bersama dengan 53 martir lainnya, termasuk Uskup John Fisher, dibeatifikasi oleh Paus Leo XIII pada tahun 1886. Ia bersama Uskup John Fisher dikanonisasi oleh Pius XI pada tahun 1935. 

Ada banyak alasan untuk menyatakan Thomas More sebagai patron negarawan dan aktivis publik. Di antaranya adalah kebutuhan yang dirasakan oleh dunia politik dan administrasi publik terhadap pemberi teladan yang kredibel, yang mampu menunjukkan jalan kebenaran dalam sejarah, ketika tantangan dan tanggung jawab begitu sulit. 

Di masa kini, kekuatan ekonomi sangat inovatif membentuk struktur sosial, di sisi lain, prestasi ilmiah di bidang bioteknologi menggarisbawahi kebutuhan untuk membela kehidupan manusia. Sedangkan janji-janji masyarakat baru mendesak ada keputusan politik yang jelas dalam mendukung keluarga, anak muda, orang tua dan orang yang terpinggirkan.

Dalam konteks ini, teladan St Thomas More, memiliki kesetiaan konstan kepada otoritas yang sah dan lembaga tempatnya untuk melayani, bukan demi kekuasaan,  tetapi melayani cita-cita tertinggi, keadilan.

Hidupnya mengajarkan bahwa pemerintah berada di atas semua kebajikan dan berpegang kuat pada sikap moral. Negarawan Inggris harus menempatkan aktivitas publik pada pelayanan demi manusia, terutama orang yang lemah atau miskin.

Ia mengalami kontroversi sosial demi memenangkan keadilan. Ia sangat bersemangat dan berkomitmen untuk membela keluarga, ia mendukung pendidikan anak muda.

Kerendahan hatinya tenang dan menyenangkan, pengetahuan mengenai sifat manusia seimbang dan keyakinannya berakar dalam iman. Ini semua memberinya rasa percaya diri dalam menghadapi kesulitan dan saat menghadapi kematian. Kesuciannya bersinar dalam kemartiran, semua itu telah disiapkan dalam hidup dan pekerjaannya, yang ditujukan kepada Tuhan dan sesama.

Mengacu pada harmoni yang sempurna antara iman dan tindakan, pada Pasca-Sinode, Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Christifideles Laici menulis:

"Kesatuan hidupan umat awam yang terpenting ialah: mereka harus dikuduskan dalam kehidupan profesional dan sosial sehari-hari. Oleh karena itu, untuk menanggapi panggilan mereka, umat awam harus melihat kegiatan sehari-hari mereka, sebagai kesempatan untuk menyatukan diri dengan Tuhan, memenuhi kehendakNya, melayani orang lain dan memimpin mereka ke dalam persekutuan dengan Allah dalam Kristus " (art. 17).

Inilah harmoni alam dan supranatural, sebagai elemen yang lebih dalam pribadi negarawan besar Inggris itu. Ia hidup dengan kerendahan hati yang sederhana, ditandai dengan humor yang baik, bahkan pada saat eksekusi.

Ini adalah keunggulan yang dilandasi semangat kebenaran. Nurani manusia tidak dapat terlepas dari Allah, politik tidak bisa lepas dari moralitas. Seperti yang diakatakan Paus Yohanes Paulus II, "manusia diciptakan oleh Tuhan, dan karena itu hak asasi manusia memiliki asal dalam Tuhan, didasarkan pada penciptaan dan merupakan bagian dari rencana penebusan. Bahwa hak-hak manusia itu juga hak-hak Allah " (Pidato, 7 April 1998).

Dan justru karena membela hak-hak hati nurani, Thomas More bersinar cerah. Ia menunjukkan nilai kesadaran moral yang merupakan “kesaksian Allah sendiri, yang suara dan penilaiannya, menembus kedalaman jiwa manusia" (Ensiklik Veritatis Splendor, art. 58), bahkan jika, dalam tindakan melawan bidah, ia mencerminkan batas-batas budaya zamannya.

Dalam Konstitusi Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II mencatat bagaimana dunia saat ini ada "kesadaran martabat manusia lebih unggul dari segala sesuatu dan hak serta kewajiban bersifat universal dan tidak bisa diganggu" (art. 26)

Kehidupan St Thomas menggambarkan suatu kebenaran dasar etika politik. Mempertahankan otonomi Gereja dari campur tangan Negara, kebebasan individu vis-à-vis kekuasaan politik (memaksa dengan kekerasan) dibela atas dasar hati nurani. Di sini kita menemukan prinsip dasar setiap elemen tertib sipil, dengan sifat manusia.

Paus Yohanes Paulus yakin deklarasi sosok, St. Thomas More sebagai pelindung negarawan dan politisi akan menyumbang kebaikan bagi masyarakat. Ini merupakan isyarat yang sesuai dengan semangat Jubileum Agung, yang membawa kita memasuki Milenium Ketiga.

Oleh karena itu, setelah pertimbangan layak dan memperhatikan petisi yang ditujukan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan St. Thomas More sebagai pelindung surgawi negarawan dan politisi. Paus memutuskan bahwa, sesuai hukum, ia dianggap memiliki kehormatan dan hak istimewa liturgis.