Pages

Friday, April 02, 1999

Pemberontakan Berwajah Ramah


Gelombang demokrasi telah mendobrak anarki kekuasaan. Bangsa Indonesia boleh merasa lega. Tetapi masih ada yang menyesakkan dada. Ketidakpuasan, pembakaran dan berbagai tindak kekerasan silih berganti menghantui masyarakat. Peristiwa ketidakpuasan massa yang merusak dan menghancurkan masih saja terjadi.

Dalam konteks Indonesia, demokrasi sebenarnya diarahkan menuju perbaikan. Semula demokrasi diteriakkan karena rakyat sungguh-sungguh ingin keluar dari aneka krisis. Berkaitan dengan hal itu, rakyat ingin keluar dari sitausi yang tidak adil, ingin lepas dari tirani pemerintahan dan sekedar ingin bersuara tanpa dicap subversif.

Kenyataannya, demokrasi yang dimulai sejak 1998 lalu telah keluar dari tujuan semula. Peristiwa kekerasan yang silih berganti terjadi bertentangan dengan tujuan reformasi sekaligus menodai demokrasi. Di negara yang sedang belajar demokrasi, kejadian sedemikian ini tentu tidak diinginkan rakyat Indonesia.

Makna Pemberontakan

Pada dasarnya, reformasi demokrasi mengandung arti perubahan dari suatu keadaan yang buruk ke arah perbaikan. Situasi yang buruk dapat dianalogikan dengan situasi yang absurd. Absurd artinya situasi hidup yang sia-sia, tak berarti, tak masuk akal. Keinginan untuk keluar dari situasi yang absurd, menurut Albert Camus, ditempuh dengan cara pemberontakan (la revolte). Pemberontakan bertujuan menegakkan kesatuan, kebebasan dan keadilan. Pemberontakan menjadi pilihan utama, karena situasi yang absurd telah menghilangkan semua kesempatan atas kebebasan hakiki.

Dalam buku The Rebel terjemahan Anthony Bower (1971), Camus menjelaskan secara panjang lebar arti pemberontakan. Ia menyebutkan bahwa seseorang memberontak karena menolak takluk pada kondisi yang tidak bisa ditolerir atau seseorang memiliki hak untuk memberontak.

Pemberontakan yang dimaksud Camus ialah pemberontakan yang menentang struktur tuan-budak. Seorang budak memberontak karena ia diperlakukan tidak adil. Selanjutnya ia akan berkata: “memberontak total atau tidak sama sekali” (all or nothing). Artinya, ia mengikuti kemauan memberontak yang disadarinya secara total atau ia harus hancur sama sekali daripada dikuasai oleh ketidakadilan yang mengatasinya.

Pemberontakan yang dimaksud Camus, bukan pemberontakan yang didasarkan pada perasaan dendam seperti yang dimaksud pendahulunya, Max Scheler. Perasaan benci atau dendam, menurut Camus, hanyalah benih kejahatan yang terpatri dalam diri manusia. Pemberontakan tidak pula didasarkan pada perasaan iri hati buta. Seseorang merasa iri hati karena tidak memiliki apayang dimiliki orang lain. Pemberontakan tidak menginginkan apa yang dimiliki oleh orang lain. Tetapi pemberontakan justru ingin mempertahankan apa yang dimiliki si pemberontak, yaitu haknya.

Pemberontakan adalah ciri eksistensialis manusia yang menyadari absurditasnya. Manusia yang menyadari absurditas kehidupannya dapat menyerah atau putus asa, tetapi dapat pula menjadi pemberontak. Alternatif kedua inilah yang dipilih Camus. Pilihan Camus ini menunjukkan bahwa ia tidak abstain terhadap permasalahan moral. Ia melibatkan diri dalam moral dan memiliki pendirian moral yang kuat, dalam gagasannya tentang pemberontakan.

Kegagalan Pemberontakan

Kegagalan pemberontakan pernah terjadi dalam Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia. Revolusi Perancis 1789 digerakkan oleh pemikiran Jean-Jacques Rousseau. Pemikiran Rousseau yang menginginkan terciptanya keadilan disamakan begitu saja dengan kesamaan. Para revolusioner amat yakin bahwa jurang ketidakadilan, berupa perbedaan kelas dapat dan harus dihapus. Karena semua harus sama, maka kekuasaan terletak pada kehendak rakyat. Suara rakyat amat diagungkan. Akibatnya justru timbul penyimpangan berupa penganiayaan terhadap siapapun yang menolak kehendak umum. Para penolak itu mati sebagai pemberontak dipancung guillotine.

Peristiwa serupa terjadi dalam Revolusi Rusia 1917 yang digerakkan oleh pemikiran Karl Marx memimpikan suatu dunia utopis tanpa kelas. Para pengikut Marx amat yakin bahwa jurang ketidakadilan antara kelas pemodal dan buruh dapat diatasi. Situasi baru yang harus didirikan ialah masyarakat tanpa kelas. Namun cara itu dianggap sebagai satu-satunya cara terbaik. Akibatnya, muncul pikiran menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Setelah revolusi, justru timbul kelas baru (elite) yang berkeinginan memerintah dan menindas. Karena kelas baru berkeinginan mempertahankan status quo, maka yang terjadi adalah tindakan represif terhadap sikap perlawanan. Akibatnya korban berjatuhan, tidak terkecuali nyawa manusia.

Demokarsi di Indonesia, tidak dapat dipungkiri telah dikotori dengan tindakan kekerasan. Fakta itu menyiratkan adanya interest group yang memanfaatkan euphoria reformasi untuk melakukan kekerasan. Kehendak pihak tertentu dipaksakan secara dahsyat. Euphoria demokrasi pun disusupi isu-isu rawan, seperti isu balas dendam dan bahkan isu SARA.

Demokrasi yang melenceng berakibat konflik antar anggota masyarakat. Korban materi dan nyawa tidak dapat dihindarkan. Konflik ini jelas menodai dan menghancurkan demokrasi. Karena demokrasi seharusnya berwujud konflik cerdas, dialog, penegakkan hukum dan sikap proaktif. Dalam sitausi chaos, tidak ada yang diuntungkan sama sekali.

Albert Camus mengecam pemberontakan yang penuh dengan kekerasan. Pemberontakan sedemikian ini bertentangan dengan tujuan keutuhan, kebebasan dan keadilan yang hendak dicapai.

Oleh karena pemberontakan merupakan jalan pemecahan, sedangkan pemberontakan menghendaki keutuhan, maka Camus menolak kekerasan. Alasannya, kekerasan in se bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai, ialah keadilan. Kekerasan yang mengakibatkan kehancuran niscaya melawan keadilan.

Sikap nihilistik harus ditolak pula. Karena sikap nihilistic cenderung tidak mengenal batas dalam bertindak. Akibatnya, kehancuran dan bahkan pembunuhan diterima sebagai sesuatu yang wajar. Nihilisme semacam ini justru memungkinkan akibat fatal, ialah tuntutan kebebasan total. Kebebasa total ditolak Camus, karena kebebasan total niscaya menghambat terwujudnya keadilan.

Tujuan pemberontakan akan tercapai bila ada penghormatan terhadap hak-hak dasar (kodrati) manusia. Sebab sebagaimana kata-kata Albert Camus, “tidak ada keadilan dalam masyarakat tanpa hak-hak sipil dan hak-hak dasar sebagai dasarnya”. Pemberontakan pun menuntut adanya kerendahan hati (moderation). Karena itu Camus mengatakan, “belajarlah hidup dengan rendah hati dan jangan coba-coba menjadikan dirimu sebagai Tuhan”

Pemikirian Albert Camus tentang pemberontakan dapat dijadikan inspirasi menemukan panduan eksistensialis dalam mengartikulasikan pemberontakan, dalam kehidupan demokrasi. Pemberontakan ala Camus adalah pemberontakan murni. Pemberontakan yang asli dan ingin mempertahankan apa yang dimiliki pemberontak, ialah haknya. Pemberontakan itu bukan pemberontakan karena dendam, iri, bukan untuk melakukan kekerasan, bukan untuk menghancurkan, bukan pula disusupi isu-isu yang berpotensial konflik. Pemberontakan semacam inilah pemberontakan yang niscaya membawa pemberontak keluar dari situasi absurd. (Penabur, Feb-Mar 1999)