Pages

Wednesday, November 16, 2005

Teologi Pembebasan



Teologi Pembebasan Amerika Latin

Sejarah

Cikal bakal teologi pembebasan menurut Erizue Dussel merujuk kepada ucapan Bartolome de Las Casas pada tahun 1564. Saat itu Bartolome menyadari bahwa Tuhan telah memilihnya untuk membebaskan orang-orang Indian yang mengalami ketidakadilan. Cikal bakal tersebut tenggelam pada masa kolonialisasi (1553-1808) karena praktek teologi Kerajaan Kristen yang menutupi praktek ketidakadilan. Tetapi pada tahun 1577, seorang Jesuit Peru bernama Jose de Acosta kembali bereaksi atas politik pengejaran orang kulit putih terhadap suku Indian dan menggagas pemerdekaan mereka.

Pada tahun-tahun berikutnya (1808-1831) muncul teologi emansipasi politik yang memperjuangkan persamaan dalam politik dan kehidupan masyarakat. Lalu muncul teologi konservatif yang mempertahankan kekuasaan neokolonial. Pada rentang tahun 1930-1962 mulai ada keprihatinan sosial berupa gerakan teologi Kerajaan Kristen Baru sebagai reaksi atas teologi klasik barat. Gerakan sosial semacam Aksi Katolik di Perancis pun tumbuh di Amerika Latin.

Teologi Pembebasan mencuat bersamaan ikut sertanya para teolog Amerika Latin dalam Konsili Vatikan II, tahun 1962-1965. Saat itu Gereja Katolik ingin memperhatikan kebutuhan umat manusia dalam konteks hidupnya. Sesuai dengan semangat pembaharuan itu, para Uskup Amerika Latin dalam konferensi mereka di Mendellin, Kolombia tahun 1968, melihat bahwa di Amerika Latin, tanda-tanda zaman itu adalah penderitaan dan nasib kaum miskin yang mayoritas serta kerinduan mereka terhadap pembebasan. Pada tahun 1970 dan seterusnya, terjadi pertemuan-pertemuan yang membahas Teologi Pembebasan di Bogota, Buenos Aires, Mexico City, Oruro dan lain sebagainya. Setelah sekian lama, pada tahun 1971 Gustavo Gutierrez menerbitkan buku yang diberinya judul Teologia de la liberacion.

Pada bulan April tahun 1972 gerakan teologi pembebasan telah menjadi radikal secara politik dan teologis. Sejak saat itu hingga sekarang terjadi tindakan pemenjaraan dan pembuangan oleh rezim militer di kebanyakan negara-negara Amerika Latin.

Situasi tak aman di Amerika Latin membuat teologi pembebasan justru tersebar ke negara-negara dunia pertama dan ketiga lainnya. Titik awalnya ialah pertemuan para teolog Eropa di Spanyol tahun 1972, kemudian pertemuan para teolog pembebasan di Mexico City tahun 1975. Rantai teologi pembebasan bergerak ke Afrika dan Asia, diawali refleksi Virginia Fabella teolog dari Filipina. Sejak itu terbentuklah Ecumenical Association of Third World Theologians. Organisasi ini bertujuan memperkembangkan terus-menerus teologi di dunia ketiga.

Arti

Istilah Teologi Pembebasan merujuk pada kata teologi dan pembebasan. Menurut Karl Rahner dan Herbert Vorgrimler (1965), istilah teologi berasal dari kata Yunani Theologia yang berarti pembicaraan tentang tuhan-tuhan atau Tuhan, khususnya secara legendaris dan filosofis. Pada dasarnya teologi adalah usaha sadar dari orang Kristen untuk mendengarkan sabda Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode keilmuan dan untuk merefleksi tuntutan dalam tindakan. Di Amerika Latin itu berarti iman dalam tantangan sejarah perjuangan untuk pembebasan.

Istilah pembebasan, muncul sebagai istilah khas Amerika Latin baru pada Dokumen Medellin (1968). Istilah tersebut merupakan istilah yang dibakukan sebagai reaksi terhadap istilah pembangunan di Amerika Latin dan negara lainnya. Pembangunan telah membawa misi sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik akan memeratakan hasilnya kepada semua pihak yang berperan di dalamnya apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan alami.

Sistem liberal kapitalis justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan yang kaya. Negara miskin semakin tergantung pada negara kaya, dalam hal hutang dan hubungan dagang internasional. Desa semakin menjadi pinggiran dan tergantung pada kota. Buruh semakin menggantungkan nasibnya pada majikan yang memerasnya.

Situasi tersebut disadari oleh Konferensi Uskup Amerika Latin sebagai kekerasan yang melembaga sekaligus yang menginjak kaum miskin. Pembangunan bukan hal yang dirindukan rakyat tetapi merupakan istilah kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan tindakannya. Rakyat sebenarnya lebih membutuhkan pembebasan daripada pembangunan.

Ide tersebut memicu para teolog Amerika Latin menggali lebih mendalam arti pembebasan. Para teolog yang berusaha memberikan arti secara utuh dan integral terhadap istilah pembebasan antara lain adalah: Gustavo Gutierrez (1973), Leonardo Boff (1974). Gutierrez mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sedangkan Boff menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya.

Dari berbagai uraian tersebut tampaklah definisi tentang Teologi Pembebasan. Gutierrez merumuskan teologi pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Definisi yang lain sebagai berikut: gugatan secara moral dan sosial yang keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme dan terhadap dosa struktural sebagai sistem yang tak adil dan tak beradab serta pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuju pembebasan serta sejarah pembebasan manusia sebagai antisipasi akhir dari penyelamatan Kristus, saat hadirnya Kerajaan Tuhan

Metode

Teologi Pembebasan memakai metode analisis perjuangan kelas yang dimulai dengan praksis. Maksudnya, mengubah basis hubungan sosial ekonomi. Metode materialisme sejarah membantu praksis dalam mengubah refleksi teologis yang mandeg (suprastruktur). Jadi, berteologi adalah langkah kedua setelah orang berpraksis. Teolog pembebasan tidak berhenti pada analisis Marxis saja, tetapi dilanjutkan dengan proses penafsiran seturut iman Kristiani yang bersumber pada
Kitab Suci.

Gutierrez mengatakan bahwa teologi merupakan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh sabda Injil. Di Amerika Latin itu berarti refleksi kritis atas praksis sejarah pembebasan berdasarkan Sabda Tuhan. Maka, teologi pembebasan bukan dipakai untuk menciptakan ideologi yang membenarkan status quo atau penenang saat iman ditantang sekularisme dan konsumerisme.

Pada teologi pembebasan Gutierrez sebenarnya ada tiga langkah berteologi. Pertama, kenyataan bahwa orang Kristen dan komunitas Kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang definitif, yaitu kasih, tindakan, dan komitmen pelayanan untuk sesama. Kedua, teologi harus menjadi kritis dalam terang Injil, baik terhadap masyarakat umum maupun institusi Gereja. Maka, teologi harus membebaskan kedua bentuk lembaga tersebut dari ideologi, keberhalaan dan alienasi serta mengkritik praktek pastoral yang sekedar aktivisme. Pendek kata, teologi harus mampu mentransformasi dunia. Artinya iman harus menjadi iman dalam praksis sejarah yang merupakan iman yang direfleksikan untuk mengatur langkah praksis, yaitu mentransformasikan masyarakat dan Gereja. Ketiga, teologi berefleksi tentang praksis iman dalam terang masa depan yang dipercayai dan diharapkan.

Praksis

Ada banyak pembebasan yang terjadi di Amerika Latin. Ada yang menggunakan kekerasan senjata untuk melawan kekerasan yang menindas. Cara ini hanya demi pembebasan dari belenggu sistem ekonomi, sosial dan politik yang mapan. Sedangkan tataran pembebasan yang kedua ialah pembebasan untuk memanusiakan manusia dalam solidaritas, sebagaimana diungkapkan Camilo Torres dan Nestor Paz yang bersatu dengan gerilyawan memperjuangkan perlakuan manusiawi kepada petani dan buruh.

Tataran pembebasan kedua ialah pembebasan dari dosa dengan segala akar-akarnya yakni ketamakan dan riba sebagaimana diperjuangkan Dom Helder Camara dan Pedro Casaldaliga. Keduanya sepakat bahwa hal itu berarti berhadapan dengan kekerasan, karena tamak dan riba mencapai titik nadirnya dalam realisasi kekerasan. Perlawanan terhadap tamak dan riba dapat dilakukan dengan cara menjadi miskin dan tak berdaya atau rela tanpa kuasa bersama rakyat yang tak memiliki kekuasaan. Bentuk kemiskinan sukarela ini melawan praktek pemiskinan yang dipaksakan oleh struktur yang tidak adil.

Isi

Teologi pembebasan memiliki refleksi kritis berdasarkan praksis pembebasan yang diterangi oleh Sabda Allah. Beberapa pokok refleksi tersebut ialah: kedosaan manusia, Kerajaan Allah, Yesus Kristus Sang pembebas, gereja rakyat miskin dan spiritualitas kemiskinan sukarela.

Kedosaan manusia menurut Konferensi Para Uskup Amerika Latin tampak dalam penindasan yang terjadi di sana. Para penindas ialah para tuan tanah, industrialis, perwira tinggi militer, intelektual teknokrat yang bekerjasama dengan kapitalis Amerika Utara dan Eropa. Sedangkan golongan tertindas ialah para petani yang tak memiliki tanah, buruh perkebunan, buruh pabrik, para aktivis mahasiswa, para klerus, para gerilyawan serta penghuni perkampungan miskin dan kotor.

Penindasan yang berlangsung telah menjadi kekerasan yang melembaga. Bentuknya ialah cacat struktural dari sistem pertanian dan industri, ekonomi nasional dan internasional, kehidupan politik dan budaya yang menindas hak-hak asasi manusia untuk mencukupi kebutuhan dasar, yaitu peluang berinisiatif dan bertanggung jawab mengembangkan kebudayaan dan ikut dalam kehidupan politik dan sosial. Akar dari semuanya itu ialah mekanisme cinta materi yang melembaga dalam bentuk sistem Kapitalisme Liberal atau Kolektivisme Marxis.

Kapitalisme Liberal membuat manusia haus akan keuntungan dan menggencarkan eksploitasi demi keuntungan diri sehingga mengakibatkan jurang lebar antara yang kaya dan yang miskin . Kolektivisme Marxis mendorong orang mencari jalan pintas dari situasi menghimpit dengan jalan kekerasan. Keduanya menjadikan manusia budak dari ambisi kekayaan, kuasa, pengagungan kepentingan umum, seks dan kenikmatan duniawi serta menggerogoti keluhuran martabat manusia dalam hubungan dengan Tuhan. Keadaan itulah kedosaan.

Kerajaan Allah merupakan warta Yesus yang utama. Artinya, Allahlah yang meraja, menyatakan bentuk realisasi dari sebuah utopia. Ini bertolak dari keadaan bangsa Israel dalam Perjanjian Lama yang tertindas tetapi tetap bertahan dalam harapan menantikan jaman akhir dengan keyakinan bahwa Yahwe pasti akan membebaskan. Kerajaan Mesias menjadi harapan masa depan. Dalam Perjanjian Baru, Yesus yang memberikan tanda-tanda dan pengampunan dosa merupakan tanda kedekatan Yesus dengan Kerajaan Allah. Namun, hadirnya Kerajaan Allah tetap menuntut pertobatan dari manusia. Manusia harus mengubah cara pikir, bertindak dan cara beradanya sesuai dengan kehendak Allah, karena kedosaan manusia merupakan bentuk penolakan manusia terhadap Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus tidak berhenti di dunia ini melainkan merujuk ke masa depan melalui krisis salib. Hal ini memiliki dimensi eskatologis, yaitu saat Yesus dibangkitkan Bapa. Dimensi eskatologis penting dalam merumuskan transformasi pembebasan, berupa keluar dari cengkeraman dosa struktural. Transformasi tersebut harus mengantarkan manusia sampai pada Kerajaan Allah di mana ada pembebasan dari belenggu kekerasan, ekonomi, sosial dan politik, pembebasan yang menciptakan solidaritas antar manusia serta pembebasan dari dosa yang menyatukan lagi hubungan Allah dan manusia. Ketiga pembebasan itulah yang harus menjadi gerak utama pembebasan manusia.

Yesus Kristus telah menjadi skandal bagi orang Farisi, para ahli Kitab, kaum Saduki, pengusaha, pegawai teras Yerusalem, partai politik Herodian dan penguasa penjajah Romawi. Kematian Yesus pun ada di tangan penguasa politik. Namun kebangkitanNya menunjukkan bahwa kematianNya bukan sesuatu yang konyol. Ia mati sebagai korban situasi kedosaan manusia, bukan sekedar korban revolusi politik.

Menurut Boff, Yesus melakukan semua itu karena melaksanakan kehendak Bapa dalam sejarah manusia. Yesus menyadari kesengsaraan dan kematiaanNya kelak. Sementara Sobrino menunjukkan bahwa titik tolak pewartaan Yesus ialah Allah Bapa yang masuk ke dalam sejarah manusia. Ia bertolak dari perhitungan Allah Bapa yang terlibat dalam kematian Yesus. Allah Bapa juga menanggung kematian PuteraNya, merasakan kesakitan sejarah manusia yang dirundung dosa. Lewat solidaritas itu, Bapa mewahyukan diriNya sebagai Allah cinta. Janji Allah Bapa terpenuhi dalam kebangkitan Yesus. Namun, kebangkitanNya bukanlah kata akhir. Allah belum menjadi semua dalam semua. Salib dan kebangkitan masih menjadi tantangan bagi orang Kristen. Artinya, hanya lewat jalan salib dan kebangkitanlah Kerajaan Allah akan hadir sebagai sesuatu yang nyata.

Gereja rakyat miskin adalah sebutan yang tepat untuk Gereja Amerika Latin yang menderita, mengalami kematian karena dibunuh oleh sistem yang menindas dan mempraktekkan kekerasan yang melembaga. Meskipun demikian, Gereja Amerika Latin sekaligus Gereja yang berharap dan merindukan pembebasan dari belenggu tatanan sosial ekonomi dan politik. Jadi, Gereja Amerika Latin bukan sekedar Gereja untuk orang yang miskin tetapi sebagai Gereja yang miskin. Artinya, Gereja memilih menjadi miskin dan solider bersama perjuangan orang miskin.

Gutierrez menyebutkan secara nyata sebagai Gereja rakyat. Artinya, Gereja yang anggotanya terdiri dari mereka yang miskin yang berada di pinggiran hidup. Ciri khasnya ialah kesetiaan orang miskin pada Yesus. Perkembangan Gereja ini justru dari bawah, yaitu dari mereka yang miskin, yang tertindas, yang berada di pinggiran. Bentuk nyata Gereja ini sering disebut sebagai Komunitas Eklesial Basis. Komunitas inilah yang menjembatani antara iman dan politik. Mereka tidak hanya menafsirkan Injil dalam konteks keprihatinan mereka sebagai kaum miskin tetapi juga berpartisipasi dalam perjuangan rakyat.

Kemiskinan sukarela merupakan perwujudan pastoral mengikuti Yesus. Yesus sebagai Putera Bapa merendahkan diriNya menjadi sesama bagi manusia yang tercabik oleh keadaan dosa. Dalam tradisi Gereja, kemiskinan lazim disebut keutamaan. Sumber yang tepat ialah kemiskinan menurut Injil. Sementara Gutierrez menafsirkan kemiskinan sebagai berikut: kemiskinan material sebagai produk dari ketamakan manusia yang terwujud dalam struktur yang tidak adil, pemiskinan ini tidak dikehendaki Kitab Suci. Berikutnya kemiskinan spiritual, yaitu sikap anawin yang mempercayakan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Sedangkan kemiskinan sukarela merupakan solidaritas kepada kaum miskin sekaligus bentuk protes terhadap praktek penindasan. Kemiskinan sukarela ini bukan tujuan tetapi alat untuk membebaskan.

Teologi Pembebasan Asia

Tokoh teologi pembebasan Asia, Aloysius Pieris mengatakan bahwa realitas Asia terdiri atas dua kekhasan yaitu kemiskinan dan religiositas. Atas dasar pernyataan tersebut akan diuraikan situasi masyarakat, refleksi serta praksis pemerdekaan di Asia.

Situasi Asia

Situasi ekonomi di Asia dipengaruhi oleh produksi dan distribusi barang. Produksi selalu terkait dengan ilmu, teknologi serta eksploitasi kekayaan alam dengan ilmu dan teknologi. Distribusi terkait dengan perdagangan dan perbankan. Teknik produksi dan distribusi memang memberi kemungkinan terpenuhinya kebutuhan jasmani penduduk, tetapi kapitalisme menyebabkan penumpukan kekayaan yang tidak adil dan kemiskinan bagi banyak orang. Situasi politik terkait dengan siapa yang mengendalikan sarana-sarana produksi dan pasar juga terkait dengan siapa yang mengusai masyarakat. Biasanya orang yang kaya memiliki kendali secara politis. Peran mereka tidak tampak melalui gerakan politis yang profesional. Kelompok ini mengekspoitasi masyarakat. Akibatnya kesejahteraan umum tidak terwujud, karena gencarnya kepentingan kelompok tertentu.

Situasi seperti itu memunculkan kemiskinan. Kemiskinan muncul karena sistem ekonomi dan politik. Kelompok tertentu menguasai sarana produksi dan menggunakannya untuk memperbesar keuntungan sehingga mengakibatkan orang menjadi miskin dalam proses tersebut. Para politisi terlibat melindungi proses ekonomi daripada mengutamakan kesejahteraan umum. Sementara itu orang miskin tidak memiliki kekuatan untuk membela kepentingan mereka karena mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan yang bisa mengangkatnya dari kemiskinan.

Kemiskinan di bidang ekonomi diperparah oleh struktur-struktur budaya dan agama. Kemiskinan yang terjadi kerap kali terkait dengan ras, kasta serta gender. Budaya dan agama dapat dijadikan sebagai alat yang mempertegas jatidiri kelompok sehingga memudahkan mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Dengan demikian budaya dan agama menjadi rusak karena digunakan kelompok tertentu untuk membenarkan kedudukan mereka.

Gagasan Pembebasan Asia

Titik tolak refleksi teologis adalah pengalaman hidup bermasyarakat. Atas dasar situasi Asia yang diwarnai kemiskinan, muncul beberapa gagasan pemerdekaan yang diharapkan dapat mengubah situasi tersebut.

Kekhasan Asia terletak pada religiositasnya. Agama harus bisa menilai ketidakadilan yang terjadi, memberikan pandangan hidup yang tepat, mengkritik sistem yang tak adil dan menawarkan alternatif pemecahan. Maka, agama harus didukung dengan ilmu-ilmu soial, ekonomi, politik, psikologi dan sosiologi. Dukungan ilmu-ilmu tersebut membantu dalam membuat pilihan-pilihan nyata dan merancang strategi-strategi untuk mengatasi persoalan masyarakat. Praktek seperti ini telah dilakukan para nabi di jaman Perjanjian Lama. Para nabi melihat kaitan antara penyembahan berhala dan ketidakadilan dan mengutuk keduanya. Mereka menentang praktek keagamaan yang bersifat ritual formal dan tanpa praksis moral.

Yesus melanjutkan peran para nabi. Ia menolak kekuasaan, kekayaan dan kedudukan. Ia menawarkan ajaran kasih dan berbuat kasih kepada orang-orang yang miskin, menderita dan berkekurangan. Ia mengajarkan supaya cinta kasih diberikan kepada siapa saja, bahkan kepada musuh. Yesus mengecam agama yang membuat mereka mandul dengan praktek formal seperti puasa, doa yang dipamer-pamerkan, serta penetapan aturan sabat yang amat ketat. Praktek formal keagamaan bagi Yesus hanya mengakibatkan masyarakat terpecah-pecah antara orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan yang tidak berkuasa di bidang ekonomi, sosial, politik dan agama.

Kekhasan berikutnya ialah spiritualitas hidup miskin. Agama-agama di Asia sepakat bahwa keadilan terwujud jika disertai pengendalian egoisme dan hasrat atas keinginan. Demikian pula kemiskinan yang dipaksakan dapat dihapus dengan pilihan hidup menjadi miskin, mengendalikan keinginan, mengurangi kebutuhan-kebutuhan, membatasi konsumsi dan membagikan sebagian miliknya kepada orang lain. Kesadaran orang Asia bahwa dunia ini adalah pemberian Allah begitu besar sehingga segala miliknya dipahami sebagai milik Allah yang harus dibagikan kepada orang lain.

Perjuangan tanpa kekerasan juga merupakan kekhasan yang disetujui oleh orang Asia. Alasannya, pertama, tujuan tidak membenarkan sarana. Sarana harus selaras dengan tujuan. Peningkatan cinta kasih dan persekutuan dengan jalan kekerasan hanya mengakibatkan kebencian. Kedua, tujuan tindakan bukanlah kemenangan atas pihak lain, melainkan perubahan hati dan struktur sehingga tercipta harmoni. Ketiga, jika kekerasan segera membangkitkan emosi, jalan tanpa kekerasan justru membangkitkan akal sehat serta melahirkan dialog sebagai sarana untuk mempermudah perubahan. Bagi pengikut Yesus, jalan salib Yesus merupakan jalan tanpa kekerasan.

Jalan tanpa kekerasan dapat berupa ketidakpatuhan sipil secara aktif, protes kenabian dan pengerahan masa. Tindakan ini bukannya kekerasan melawan kekerasan tetapi menawarkan daya kekuatan kebenaran, keadilan dan cinta kasih melawan kekuasaan ekonomi dan politik. Meskipun hanya secara perlahan-lahan menghasilkan buah, jalan tanpa kekerasan tetap membawa manfaat dan perubahan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, sebab orang secara aktif mencintai dan memajukan kehidupan.

Teologi Pembebasan Asia

Teologi Minjung

Teologi Minjung merupakan refleksi dari orang-orang Kristiani miskin di Korea tentang pengalaman hidup mereka pada tahun 1970-an. Awal mula teologi ini berasal dari penyadaran kepada para pekerja pabrik tentang penindasan. Saat itu kapitalisme industri sedang berkembang di Korea. Keadaan ini menimbulkan kemiskinan bagi pekerja miskin yang berpindah, kaum perempuan dan anak-anak. Minjung adalah sebutan untuk mereka yang tertindas secara ekonomi, sosial dan politik.

Teologi Minjung dipengaruhi oleh alam pikir timur tentang Han dan Dan. Han adalah perasaan gusar, susah, marah, tak berdaya sebagaimana dialami mereka yang tertindas. Sedangkan Dan ialah cara pemecahan persoalan Han, yaitu dengan penyangkalan diri untuk melepaskan diri dari impian hidup enak.

Pengalaman Yesus dipahami para teolog sebagai identifikasi dengan sosok Minjung. Yesus juga dipahami sebagai orang yang menyambut mereka yang berdosa tanpa syarat. Ia memaklumkan kepada mereka tentang kedatangan Kerajaan Allah yang memerdekakan. Sosok Minjung serupa dengan rakyat Israel yang tertindas oleh Mesir namun dibebaskan Allah sebagaimana terungkap dalam kisah Keluaran.

Atas dasar itu teologi Minjung menolak mesianisme yang semu. Mesianisme semu ialah mesianisme yang ditawarkan para penjajah dan rezim Marxis Korea yang seolah-olah hendak menyingkirkan diktator proletariat serta pemerintah. Teologi Minjung justru menawarkan pandangan bahwa kaum miskin sebagai subyek keselamatan sebagaimana diinspirasikan oleh Yesus. Yesus adalah bagian dari Minjung dan bukan semata-mata demi Minjung.

Teologi Perjuangan

Teologi Perjuangan lahir dari situasi negara Filipina yang sedang berkembang sekaligus memunculkan kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Kaum miskin ialah penduduk pedesaan yang bekerja sebagai buruh, anggota-anggota suku yang tergusur dari tanah leluhur dan kebudayaan. Selain itu juga pekerja anak, kaum perempuan, pekerja seks. Keadaan ini diperburuk dengan hutang luar negeri, kebijakan ekonomi yang merugikan kaum miskin, keberadaan pangkalan militer Amerika sebagai dominasi asing dan pemerintahan diktator Marcos.

Orang Katolik yang berpihak pada kaum miskin dikecam sebagai Komunis yang dikutuk oleh Gereja dan Negara. Kepedulian praktis mereka dianggap melawan kebijakan pemerintah. Situasi ini menjadi tempat lahir Teologi Perjuangan yang dipengaruhi Teologi Pembebasan Amerika Latin. Teologi Perjuangan bukanlah teologi tentang perjuangan, tetapi dari dan dalam perjuangan. Teologi ini merupakan refleksi orang yang sungguh sedang berjuang, yakni orang miskin yang tertindas dan orang yang memilih berjuang bersama mereka. Pilihan berjuang ini didasari kepercayaan bahwa keadilan adalah hak mereka dan mereka dipanggil untuk menata dunia yang lebih baik. Perjuangan mereka pun ada yang menggunakan kekerasan ala perjuangan kelas Marxis tetapi ada yang meniru teladan kelemahlembutan Yesus dengan jalan ketidakpatuhan sipil atau pemogokan.

Teologi Pembebasan Aloysius Pieris

Menurut Aloyisius Pieris, agama-agama Asia memandang bahwa penyebab kemiskinan ialah dorongan untuk memiliki barang jasmani, serta keinginan untuk memiskinkan orang lain. Maka pilihan yang diajarkannya ialah meninggalkan keinginan untuk memiliki barang jasmani. Pieris menganjurkan bahwa orang yang memilih hidup miskin seharusnya tidak sekedar melawan dirinya tetapi juga membebaskan orang miskin. Dasar pemikirannya berpijak pada sosok Yesus sendiri yang menjadi miskin sekaligus memperjuangkan kaum miskin. Di tingkat praksis, orang-orang yang memilih hidup miskin sekaligus memperjuangkan kaum miskin bersatu dalam persekutuan manusiawi dan berkomitmen untuk membela dan memajukan persamaan dan keadilan bagi semua orang. Dalam perspektif ini orang miskin memiliki peran mesianis, sebab melalui mereka orang diantar kepada Tuhan.

Teologi Feminis

Kaum perempuan Asia adalah kaum yang tertindas. Pada beberapa tempat ada kebudayaan yang amat menindas kaum perempuan. Jika seorang anak perempuan lahir, ia akan dibunuh karena perempuan dipandang sebagai beban. Saat menjadi gadis, ia berada dalam lingkungan patrialkal yang menganggap lemah perempuan hingga ia harus tinggal di rumah. Jika ia miskin, ia harus bekerja dengan upah yang lebih rendah daripada kaum lelaki. Sementara itu, ia harus mengurus rumah tangga. Saat kawin, keluarganya harus membayar mas kawin. Dalam tatanan sosial patriakal, ia tak memiliki kekuasaan membuat keputusan, peran perempuan pun minimal dalam kehidupan beragama.

Situasi itu membuat perempuan dari berbagai daerah di Asia, yang sadar segera bangkit berjuang. Michael Amaladoss membagi perjuangan mereka dalam kategori: perjuangan feminisme liberal dari perempuan kota kelas menengah yang memperjuangkan persamaan gender, gaji atau pekerjaan; perjuangan perempuan dalam gerakan politik kiri di dunia kerja dan perjuangan rakyat demi kaum petani, buruh atau nelayan. Tujuan perjuangan mereka ialah terbentuknya tatanan sosial baru yang tak hanya patrialkal atau matrialkal, tetapi tatanan yang semata-mata manusiawi.

Teologi feminis, menurut Chung Hyun Kyung, berusaha menghargai perempuan yang berfokus pada keberadaannya sebagai Citra Allah, teladan Yesus dan Maria. Tujuan refleksi teologis ini memberikan visi baru yang menentang segala penindasan terhadap perempuan. Citra Allah sebenarnya tak melulu bercorak lelaki, karena Allah dipahami sebagai perempuan (Mzm 123:2), perawat (Mzm 22:9-10), atau perempuan yang melahirkan (Yes 42:14). Sementara itu, sosok Yesus yang menderita dapat diidentikkan dengan penderitaan perempuan. Perlakuan Yesus terhadap perempuan pun penuh penghargaan. Ini tampak dari sikap Yesus kepada perempuan Samaria, perempuan yang tertangkap berzinah, perempuan Kanaan atau Maria Magdalena. Kaum perempuan Asia, menurut Chung Hyun Kyung, dapat mengidentikkan dirinya dengan Bunda Maria yang ikut serta dalam rencana keselamatan Allah dan menjadi teladan Yesus.

Pendasaran Kitab Suci

Kitab Suci memberikan acuan mengenai tema pembebasan. Gagasan tentang pembebasan didasarkan dari ajaran bahwa Allah membuat manusia menurut citraNya sendiri. Maksudnya, kepada manusia dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri, agar manusia merajai binatang dan unggas. Sejak lahir manusia dianugerahi akal budi, kemampuan dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam bentuk benih dan sifat yang harus diolah supaya membuahkan hasil. Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang berdaulat dan semua hak manusia ialah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah. Hak manusia dilindungi Tuhan, terutama bila ia sendiri tidak mampu membela diri. Bahkan ketika manusia kehilangan haknya, karena kesalahannya sendiri, Tuhan tetap membela dan melindunginya sebagimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus: “apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti, supaya jangan ada orang yang memegahkan diri di hadapan Allah”.

Kebebasan amat dirindukan manusia. Tetapi seringkali orang mendukung kebebasan dengan cara yang salah, mengartikannya sebagai kesewenang-wenangan untuk berbuat sesuka hatinya atau bertindak jahat. Padahal kebebasan yang sejati merupakan tanda yang mulia, gambar Allah dalam diri manusia, karena Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri. Maksudnya supaya manusia secara sukarela mengabdi kepadaNya secara bebas sampai mencapai kesempurnaan hidup. Memang kebebasan manusia seringkali dibelenggu dosa, tetapi hanya dengan bantuan rahmat Allah manusia dapat mewujudkan gerak hatinya kepada Allah. Dan setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perilaku hidupnya sendiri di hadapan tahta pengadilan Allah, sesuai dengan perbutannya yang baik maupun yang jahat.

Dalam suasana terbelenggu oleh dosa, manusia tetap merindukan kebebasan. Sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama, ketika manusia mengalami ketidakbebasan maka manusia berseru kepada Allah supaya menjadi pembebas dari segala kesesakan. Kitab Keluaran mengisahkan peristiwa pembebasan bangsa terpilih dari penindasan bangsa asing dan perbudakan. Kebebasan itu dimaksudkan untuk pembentukan umat Allah dan Ibadat Perjanjian yang dirayakan di Gunung Sinai. Peristiwa tersebut telah menjadi kenangan bagi umat Yahudi yang hidup dalam pengharapan akan kebebasan baru setelah runtuhnya Yerusalem dan pembuangan di Babilonia. Pengalaman ini menorehkan pengalaman bahwa Tuhan adalah Pembebas.

Kecemasan dan penderitaan yang dialami oleh mereka yang setia kepada Allah dan Perjanjian merupakan tema beberapa Mazmur dalam bentuk keluhan, permohonan bantuan dan ucapan syukur yang mengacu pada keselamatan religius dan pembebasan. Penderitaan tersebut merupakan cermin situasi kemiskinan, tekanan politik, permusuhan dengan para lawan, ketidakadilan, kegagalan dan kematian. Mazmur itu sekaligus mengungkapkan bahwa hanya dari Tuhanlah seseorang dapat mengharapkan keselamatan dan penyembuhan. Sikap inilah yang dilakukan seorang Hamba Tuhan yang hidup dalam penyerahan sepenuhnya pada Penyelenggaraan Tuhan yang penuh cinta kasih.

Para Nabi sesudah Amos pun menyatakan tuntutan keadilan dan solidaritas serta mengecam kaum kaya yang menindas kaum miskin. Para nabi membela para janda dan yatim piatu. Mereka mengecam penguasa yang akan mengalami hukuman keras karena kejahatannya. Para nabi mewartakan bahwa kesetiaan pada Perjanjian Tuhan harus diikuti dengan tindakan adil kepada sesama, karena Tuhan adalah pembela dan pembebas kaum miskin. Apalagi, Perjanjian Lama menegaskan perintah mengasihi sesama merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan sosial. Tujuan dari pembebasan itu tak lain kedamaian di mana tercipta ketertiban baru, baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan alam. Saat di mana Kerajaan Allah hadir.

Perjanjian Baru mempertegas tuntutan Perjanjian Lama secara lebih radikal. Yesus yang menjadi miskin mengajak manusia untuk mengenal kehadiranNya dalam diri orang miskin. Yesus mengalami penderitaan sebagaimana kaum miskin yang menderita dan yang dikejar-kejar. Kemiskinan Yesus bukan hanya protes negatif terhadap nilai-nilai Mamon, bukan sekedar solidaritas dengan kaum miskin saja, tetapi merupakan perlawananNya terhadap Mamon yang dinyatakan sebagai saingan Allah.

Yesus menyadari diriNya yang didorong oleh Roh Kudus memperjuangkan pembebasan kepada orang yang miskin. Ia mempertegas pembelaanNya kepada kaum miskin dalam kotbah di tanah datar. Ia pun menuntut kesempurnaan kepada para muridNya dalam perbuatan kasih, sebagaimana Bapa yang penuh belas kasih. Jelaslah bahwa panggilan orang Kristen ialah menjalankan kasih persaudaraan dan berbelas kasih. Sikap Yesus dipertegas dengan pernyataanNya bahwa dalam dan melalui kaum miskinlah Ia akan melaksanakan hukuman terakhirNya demi seluruh umat manusia. Sampai akhirnya, Yesus menyempurnakan karyaNya di kayu salib. Saat itulah Ia dipaku di gunung Kalvari karena hidup beragama manusia yang terpolusi uang dan kekuasaan kolonial.

Santo Paulus mempertegas anjuran ini saat menghadapi situasi Korintus yang kacau dengan menekankan ikatan persaudaraan cinta kasih dan membantu saudara yang kekurangan. Dengan demikian, wahyu Perjanjian Baru mengajarkan kepada kita bahwa dosa adalah kejahatan yang terbesar, maka kebebasan yang diusahakan ialah kebebasan dari dosa yang menjadi penentu kebebasan lainnya.

Sifat radikal kebebasan yang dibawa Yesus dan diberikan kepada semua orang menuntut perubahan kondisi sosial atau politik. Sumbernya ialah kebebasan baru yang diberikan oleh rahmat Kristus yang harus berdampak dalam bidang sosial politik. Oleh rahmat itu tiap pribadi hendaknya mematikan akar kejahatan yang mengakibatkan penindasan dan ketidakadilan. Akar kejahatan terletak dalam pribadi yang harus dipertobatkan oleh rahmat Kristus supaya hidup dan bertindak sebagai mahluk baru dalam cinta kasih kepada sesama.