Pages

Saturday, December 10, 2005

Natal: Menghidupkan Teologi Kehidupan



Perayaan Natal selalu mengingatkan pada kisah pasangan dari Nazareth, Yusuf dan Maria. Maria mengalami pengalaman mengejutkan ketika malaikat Gabriel mengatakan, “engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki”. Maria tidak begitu saja memahami kabar itu. Malaikat itu menjelaskan kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus” (Lukas 1:35).

Maria kesulitan mengambil keputusan. Jika Maria menolak bayi dalam kandungannya, berarti ia menolak kehendak Tuhan. Jika menerima bayi itu, berarti menerima kehendak Tuhan dan menyerahkan diri kepadaNya. Ternyata, Maria memilih menerima bayi yang ada dalam kandungannya. Keputusan yang diambil Maria adalah keputusan yang didasari iman. Maria percaya pada Tuhan. Maria menghormati anugerah hidup yang berasal dari Tuhan.

Dalam konteks seperti itulah, Natal kali ini harusnya disikapi dengan merenungkan kembali semangat menghormati kesucian hidup yang berasal dari Tuhan. Penghormatan terhadap kesucian hidup mendesak untuk dijadikan perhatian. Karena, nilai hidup manusia sedang terpuruk. Tindakan struktural dan kekerasan personal melecehkan nilai hidup sedang meningkat secara memprihatinkan di dunia modern. Kekejaman dan kekerasan terhadap manusia, eksploitasi terhadap lingkungan hidup telah menimbulkan ancaman terhadap masa depan hidup bersama.

Globalisasi yang mengagungkan kemajuan ilmu, teknologi dan ekonomi ternyata tidak serta merta membawa hasil baik bagi hidup manusia. Kelaparan, kemiskinan, kekejaman, kekerasan dan aneka macam penderitaan manusia masih saja terjadi, menyebabkan manusia frustasi dan kehilangan harapan. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi, namun jaminan hidup, keamaanan pribadi dan sosial serta identitas budaya terkikis secara drastis. Kecenderungan ini agaknya akan terus berlanjut, dalam sistem ekonomi pasar global. Penderitaan manusia akan berlangsung terus sepanjang abad. Penderitaan manusia jaman ini tak bisa dilepaskan dari konteks globalisasi.

Di Indonesia terpuruknya nilai hidup manusia terjadi di depan mata. Sidang Agung Gereja Katolik 2005 yang baru saja berlangsung merumuskan bahwa terpuruknya hidup yang menjadi begitu lemah itu tampak dari keretakan hidup berbangsa, formalisme agama, korupsi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas/premanisme, penderitaan buruh, terpuruknya matra hidup seperti lingkungan hidup, pertanian, pendidikan, kesehatan dan kekerasan dalam hidup berbangsa. (Hidup, 12/12/2005).

Terpuruknya Hidup

Terpuruknya hidup manusia, sekurang-kurangnya tampak dari keputusan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 114 persen. Investor asing dan lembaga-lembaga internasional memuji langkah berani pemerintah. Para kreditor mengamini karena mereka merasa lebih nyaman jika APBN lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan utang.

Ekonom Faisal Bisri (NU Online, 2/12/2005) mengatakan memang di awal kenaikan harga, laju inflasi tahun 2005 tertahan sekitar 10 persen. Tetapi beberapa hari kemudian dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya kembali dikoreksi menjadi 14 persen. Terbukti bahwa pemerintah salah langkah, jelas keliru dan menyederhanakan masalah.

Kompensasi dari kenaikan BBM tersebut, pemerintah mengucurkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi setiap keluarga miskin sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka sekaligus untuk tiga bulan. Dengan BLT ini pemerintah sangat yakin bisa menekan jumlah orang miskin. Keputusan tersebut sungguh suatu perhitungan yang teramat matematik-statik yang seolah-olah menempatkan hidup 220 juta penduduk Indonesia bagaikan mesin tanpa badan dan jiwa di dalam laboratorium terisolasi.

Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu berdampak seketika terhadap peningkatan pengangguran terbuka sebanyak 426.000 pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya akan terus bertambah panjang dalam setahun ke depan karena gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan terus berlanjut setelah Tahun Baru nanti. Dampak kenaikan harga BBM kali ini lebih berat dirasakan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan bersifat seketika. Padahal, UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.

Nasib kehidupan petani pun masih memprihatinkan. Kemiskinan di Indonesia mencapai sekitar 30 persen, padahal penduduk Indonesia 65 persen petani. Kemiskinan tersebut dikarenakan menyempitnya lahan petani. Hasil pertanian di Indoensia pun sekarang ini masih belum bisa mandiri. Hal itu ditunjukkan dengan setiap tahun masih impor beras, impor daging, kedelai, ternak sapi, bahkan juga masih impor garam.

Teolog Juergen Moltman (Future Theology: 1979) melihat ada arus kuat yang sangat mengancam hidup manusia. Di masa sekarang, kekuatan pasar menguasai hidup manusia di seluruh dunia. Hidup dan kehidupan menjadi korban akibat dari proses globalisasi, yang dikuasai oleh kekuatan pasar. Efek buruk dari kekuasaan yang lalim, feodalis dan otoriter itu ialah ketidakadilan dan kekerasan yang menghancurkan hidup manusia dan alam semesta. Dimensi ketidakadilan sangat terintegrasi dengan proses globalisasi. Industri modern Barat dan raksasa korporasinya dengan karakter transnasional dan bersimbiosis dengan kekuatan politik (yang disebut sebagai kompleks indsutri) telah menciptakan orde global dan proses kolonialisme dan kolonialisme baru yang dinamai modernisasi atau Westrenisasi. Inilah yang merusak lingkungan hidup dan memanipulasi proses alami hidup.

Globalisasi geo-politik dengan kekuatan sibernetika dan teknetronika melancarkan proses ketidakadilan budaya, ketertinggalan budaya dan kekacauan budaya yang merusak hidup komunitas manusia dan alam semesta. Globalisasi geo-politik dengan kedua kekuatan yang disebut sebagai bentuk modal global merusak tak hanya di level teori dan kebijakan, tetapi juga merusak dalam arti mengorbankan hidup dan komunitas kosmos.

Realitas penderitaan manusia di negara-negara dunia ketiga merupakan akibat dari kondisi obyektif hidup dalam era globalisasi, yang pada saat yang sama terwujud ketiadaan pembaharuan iman sebagai kondisi subyektif bagi hidup. Pada masa sekarang, hal ini dipandang sebagai efek optimisme kapitalisme global dan kekeliruan kebijakan sosial ekonomi yang hanya mengakibatkan manusia menderita secara masif tanpa sedikitpun pengharapan. Perjuangan manusia dalam memperbaiki kesejahteraannya berarti perjuangan berhadapan dengan ilmu sosial liberal dan teknokrasi modern, di mana yang berkuasa ialah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kekuatan dasar dari industri geo-politik ialah kekuatan industri Barat. Industri dan geo-politik modern memiliki cirri khas: ekspansi Barat ke masyarakat sipil non-Barat. Dalam situasi pasca kolonial, penetrasi kolonial baru ialah modernisasi Barat menekan masyarakat pra modern. Modal negara Barat dan pasar mereka menguasai negara miskin yang terintegrasi dalam proses industri dan geo-politik modern.

Moltman menyebut situasi itu sebagai memprihatinkan hidup manusia, sekaligus sangat bahaya. Status sosial dicabik-cabik hingga mengakibatkan kesenjangan akibat globlalisasi. Politik serta keputusan pemerintah ditentukan begitu saja demi kepentingan praktis ekonomi. Terjadi kesenjangan tajam di antara manusia yang masing-masing berjuang keras untuk sekedar bertahan hidup.

Di dalam tataran global, globalisasi sedemikain itulah yang menyebabkan angka kemiskinan tak pernah turun, tiap hari terjadi kematian yang sia-sia, 25.000 orang anak mati setiap hari karena kelaparan dan kekurangan gizi. Globalisasi secara tak sadar telah meniadakan solidaritas di antara sesama manusia. Demikianlah, jika hidup manusia dihargai sekedar menurut nilai potensial pasar, sehingga penganggur, mereka yang tak berpendidikan, petani, orang sakit dan orang miskin dipandang tidak memiliki nilai apapun. Globalisasi telah menciptakan kesenjangan. Konsekuensinya, mereka yang kaya menarik diri dalam komunitas tertutup dan membuat pemisahan dengan orang miskin. Dengan demikian, ide demokrasi tentang persamaan derajat tak akan pernah sesuai dengan sistem ekonomi yang selalu memperlebar jarak kesenjangan.

Kekerasan dan premanisme meningkat seiring dengan kemiskinan dalam keluarga dan kaum muda yang kehilangan harapan. Frustasi menghadapi persoalan hidup telah membawa seseorang menolak hidup dan mengabaikan nilai hidup. Situasi ini menjadi parah ketika agama memberikan pembenaran. Padahal semua agama seturut essensi ajarannya justru untuk mencintai hidup dan menghormati kehidupan.

Sekarang, tidak ada lagi teori sosial yang memberi alternatif pemecahan menghadapi kapitaslisme di era globlalisasi. Padahal, kapitalisme seperti dikatakan Francis Fukuyama (The End Of History And The Last Man: 1992) terbukti justru melawan keluhuran martabat hidup, melawan hak-hak kodrati manusia dan melawan masa depan hidup manusia.

Teologi Kehidupan

Teolog Asia, Dr. Kim Yong Bok (Theology of Life; 2001) mengatakan bahwa Tuhanlah pemberi hidup manusia. Tindakan Tuhan mencipta, sekaligus hendak melawan ketiadaan. Tuhan yang menghendaki ciptaanNya hidup dan baik adanya, sekaligus berarti Tuhan tidak menghendaki kematian dan kejahatan. Tuhan adalah sumber gerakan dinamis kehidupan melawan kematian, serta kebaikan melawan kejahatan. Hidup adalah gerakan dari ketiadaan menuju keberadaan. Dengan demikian, Tuhan memberikan harapan kepada manusia.

Manusia yang diciptakan Tuhan menunjukkan bahwa hanya kuasaNya yang memberi sosok keberadaan manusia. Kuasa manapun tidak ada yang boleh meniadakan keberadaan manusia dan kemanusiaannya karena manusia mendapatkan keberadaannya dari Tuhan dan oleh Tuhan saja.

Hidup manusia selalu berorientasi ke masa depan yang lebih baik. Harapan akan hidup baru termasuk sebuah evaluasi kritis terhadap masa kini dan masa lalu. Hidup yang berorientasi terhadap harapan masa depan, bukan dalam arti pemikiran kosmologis modern ala Newton atau Einstein. Harapan yang dimaksud ialah kondisi kehidupan eskatologis, yang bukan berarti sebuah fantasi, mimpi, romantika atau sekedar utopia. Tetapi keadaan hidup yang sejahtera, pengalaman keselamatan nyata, yang di dalamnya termasuk tanggung jawab manusia terhadap visi hidup dan tujuannya.

Visi hidup baru menjadi acuan berpikir untuk mengoreksi kehidupan manusia di masa lalu dan sekarang. Ada sebuah perbedaan sosial dan paparan analitis tentang kenyataan masa sekarang jika dilihat dengan kerangka visi masa depan. Analisis structural ilmu sosial melihat adanya ketidakadilan structural dan relasi kekuasaan yang tak adil dalam sepuluh tahun terakhir. Keadaan ini memunculkan sebuah pertumbuhan kesadaraan akan ketidakberesan ialah betapa buruknya realitas kehidupan manusia, yang membuat orang pesimis dan bahkan kehilangan harapan. Meskipun demikian, tetap ada kemungkinan untuk memperjuangankan kehidupan baru di dunia ini, jika analisis itu justru menjadi sumber keberanian dan penyemangat untuk melawan ketidakadilan. Harapan akan hidup baru hendaknya menjadi bagian integral dalam praksis menempuh hidup baru. Harapan terhadap hidup baru yang lebih baik dengan demikian menunjukkan bahwa sebagai citra Tuhan manusia memiliki visi, merencanakan dan merancang komunitas masa depan yang nyata seturut kehendak Tuhan. Gambaran tentang harapan memiliki tujuan yang sangat realistis.

Jika globlalisasi ekonomi menghasilkan adanya dunia ketiga di antara negara-negara, teologi kehidupan secara logis akan menjadi sangat universal, karena merupakan teologi sosial-politik tandingan terhadap kapitalisme yang muatnya ialah komersialisasi global terhadap segala hal. Jika teologi ini menjadi universal, teologi kehidupan menjadi perintis sebuah teologi sosial-kritis universal yang sangat kontekstual di manapun. Karena teologi kehidupan pula, agama-agama bisa bersatu, dimulai dengan penghormatan terhadap kehidupan manusia yang tertindas dan terpisah-pisah.

Penghormatan terhadap kehidupan artinya memerangi segala hal negative seperti: kemiskinan, penindasan, peperangan, ketidakadilan, perusakan lingkungan hidup yang semuanya merendahkan martabat luhur kehidupan manusia. Teolog Jon Sobrino menghubungkan perspektif luhur ini sebagai hadinya kerajaan eskatologis dengan sebuah kondisi dimana: Allah yang merajai hidup, hidup dalam kesejahteraan dan kepenuhannya (Mistery Liberation: 1970). Demikianlah, teologi Allah yang meraja dalam teologi kehidupan menekankan berharganya hidup. Kesadaran politis baru teologi Kristiani tidak didasarkan pada kekuasaan seperti teologi kekuasaan di masa lalu, tetapi terwujudnya budaya hidup melawan budaya barbar kematian. Kesadaran itu berarti pula menumbuhkan sikap sinis terhadap penindasan negara maju dengan referensi penghormatan hidup.

Penghormatan terhadap hidup merupakan tema dari teologi kehidupan. Tema lainnya ialah kesetaraan hidup manusia. Sejak kehancuran negara-negara sosialis, tidak seorang pun berpendapat tentang kesamaan, karena kolektivisme kaum sosialis terbukti telah gagal. Akan tetapi, tidak akan ada penghormatan hidup tanpa kesetaraan hidup manusia. Secara politis berarti, semua orang diciptakan secitra dengan Tuhan dan sama, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci (Kej 1).

Kondisi kesetaraan hidup dan persamaan hidup merupakan konsep sosial yang berarti keadilan. Sebagai konsep kemanusiaan, kesetaraan berarti solidaritas dan sebagai konsep Kristiani, kesetaraan berarti mengasihi. Hal ini melawan sikap ektrem kaum individualis Barat dan dunia modern, bahwa keutamaan semangat publik seharusnya dipelajari kembali untuk menghormati kehidupan manusia yang luhur. Dengan demikian terjadi investasi masa depan kehidupan manusia untuk jangka panjang atau mengurangi keuntungan di masa sekarang dan mengurangi pelecehan kemanusiaan di masa depan. Di Eropa, pengembangan teologi sosial kritis kehidupan justru mempersatukan gerakan sosial keagamaan dan mengundang bergabungnya teologi politis, teologi ekologi dan teologi feminis.

Menghidupkan Teologi Kehidupan

Sebagaimana diketahui, pasar global mempengaruhi kehidupan sipil secara fundamental, di mana kaum Barat modern menjadi semakin dominan. Globalisasi kapital mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan ekonomi masyarakat dan mengorbankan mayoritas masyarakat. Institusi politik, nasional dan lokal dibuat sangat lemah dan tak berdaya, masyarakat semakin lama semakin kehilangan harapan. Pasar diarahkan dalam kondisi persaingan ala Darwinisme sosial baru yang berkait erat dengan Neo-liberalisme, yang semakin mengintensifkan kekerasan sosial, melecehkan manusia dan meniadakan jaring pengaman sosial. Pasar menyeret kehidupan yang terus menerus mengancam identitas budaya, nilai individu dan komunitas, yang memungkinkan terjadinya kekacauan hidup manusia. Agama dan kebijaksanaan hidup semakin tak laku dalam proses globalisasi. Krisis ekologi merupakan bukti keterpurukan itu, selain terpuruknya seluruh kehidupan, manusia dan alam.

Dalam menyikapi globalisasi, manusia seharusnya tidak pesimis. Hendaknya manusia tetap memiliki harapan akan hidup yang lebih baik, messkipun menderita pada saat yang sama hendaknya harus tetap berjuang. Tanda-tanda harapan akan tetap ada. Dalam konteks inilah komunitas Kristiani terpanggil untuk mewujudkan harapan itu, dengan mewujudkan gagasan berikut ini:

1. Melawan Perang dan Penghancuran Hidup

Pada abad ke 20 terjadi dua Perang Dunia dan di masa sekarang ilmu dan teknologi dengan perkembangan sibernetika dan teknetronika sangat mungkin menghancurkan kehidupan, manusia dan kosmos secara menyeluruh. Hidup baru memiliki unsur pengaman demi terwujudnya damai bagi seluruh hidup yang menghalagi terjadinya perang lokal, nasional, regional, internasional dan global. Suatu gerakan damai yang komprehensif dengan penelitian dan praksis di tingkat manapun diperlukan dalam hidup baru di dunia.

2. Melawan Penindasan, Kelaparan dan Kemiskinan

Ekonomi dalam perkembangannya memberi sumbangan sekaligus kerugian bagi hidup. Padahal, ekonomi merupakan aktivitas manusia untuk menjaga kehidupannya di dunia. Ekonomi menghasilkan pertumbuhan ekonomi sekaligus kerakusan manusia yang tampak dalam bentuk, penindasan, kelaparan dan kemiskinan. Kaum kaya senantiasa memiliki kekuasaan besar dalam sejarah manusia. Kini, kekuatan kapital global dan korporasi transnasional menguasai pasar global, memonopoli ilmu dan teknologi yang membuat kekuasaannya makin tak terbatas dan pengaruhnya tidak terkontrol oleh siapapun. Di masa sekarang, uang dengan kekuatannya telah mengorbankan manusia secara radikal. Seluruh pasar modal dan persetujuan di antara masyarakat disetir oleh agen-agen pasar global yang rakus bertujuan demi penumpukan capital. Maksimalisasi keuntungan dan kontrol kekuasaan merupakan nama lain dari permainan yang mereka mainkan.

Hidup baru dalam kosmos menuntut keadilan baru ekonomi. Pengaturan rumah tangga yang benar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup di bumi. Konsep ekonomi untuk mensejahterakan hidup sangat dibutuhkan. Orientasi pertumbuhan dan maksimalisasi keuntungan seharusnya diubah. Komunitas lokal menginginkan sumber hidup sendiri dan sumber untuk mencukupi dirinya sendiri demi keberadaannya dan demi keadilan ekonomi dalam kehidupan.

3. Melawan Penindasan

Lembaga politik senantiasa menindas masyarakat dalam aneka bentuk. Penindasan itu berupa, pemerintahan yang lalim, aturan yang otoriter, dominasi penjajahan, totalitarianisme, dikatator negara, militer, simbiosis agama-negara, kolonialisme dan aturan ketat ideologi dalam banyak rupa. Demokrasi liberal ala Barat pun tidak begitu saja membawa keikutsertaan penuh warganya. Memang hak asasi manusia dan kebebasan politis seseorang terakomodasi, namun pada saat yang sama dominasi kekuasaan dan uang senantiasa menindas kaum lemah dan miskin. Perkembangan Neo-liberal seiring dengan demokrasi politik liberal, tetapi tradisi liberal tetaplah gagal mengontrol pasar global.

Globalisasi tetah membuat keutuhan negara dan keamanan nasional yang makin meningkat. Sebagai contoh, dominasi negara super power dan kini kekuatan korporasi transnasional telah menjadi kekuatan yang sangat menindas. Karena itu untuk melawannya dibutuhkan suatu partisipasi dan solidaritas antar jaringan lokal-nasional-regional-global. Institusi politis baru ini hendaknya merangkum partisipasi dan solidaritas global lintas negara. Inilah yang dapat mengontrol tirani dan dominasi kekuasaan lalim, diktator militer, kuasa penjajahan dan kekuatan korporasi transnasional.

4. Melawan Konflik Sosial Dan Kekerasan

Sejarah manusia merupakan rimba di mana yang kuat memangsa yang lemah dan yang kuat saja yang dapat bertahan. Proses ini terjadi dalam relasi sosial bidang apapun. Kondisi konflik antara etnis dan ras, kelas dan kasta, gender dan status sosial, seperti itulah yang melahirkan kekerasan sosial. Dalam rimba sedemikian ini tidak ada keadilan, tak ada komunitas dan tak ada kerjasama serta damai.

Globalisasi membawa proses sosial sedemikian itu kian menjadi-jadi, yang dipicu oleh apa yang disebut Darwinisme sosial baru. Konflik baru dan pertentangan baru selalu terjadi sebagaimana konflik antara kaum kaya dan miskin. Konflik semakin tajam hingga mengakibatkan kekerasan yang lebih besar.

Keadilan sosial, keamanan sosial, kedamaian sosial dan rekonsiliasi sosial harus dirumuskan kembali, karena telah terjadi perusakan tatanan sosial tersebut oleh ideologi kompetisi yang dipakai ideologi neo-liberal. Dalam ideologi kompetisi yang menang ialah yang memiliki kekuatan besar dengan menghalalkan segala cara. Manusia jaman sekarang membutuhkan pendekatan baru untuk mewujudkan hidup bersama yang lebih sejahtera.

Sistem pengaman sosial negara yang sejahtera sebagaimana digagas kaum sosialis harus ditransformasikan untuk membangun komunitas manusia dinamis dengan keadilan, damai dan harmoni sebagai prinsip utamanya. Partisipasi komunitas local hendaknya terhubung dengan jaringan pengaman komunitas manusia di seluruh dunia.

5. Melawan Pemerosotan Budaya Hidup

Globalisasi mempengaruhi budaya manusia manapun di dunia. Proses globalisasi ini dipercepat dengan teknonetronik dan sibernatika, bersamaan dengan informasi dan komunikasi berbentuk teknologi tinggi. Akibatnya identitas etnis, nasional, budaya yang menjadi daya hidup suatu komunitas, diredusir oleh globalisasi. Persepsi, orientasi nilai dan pandangan hidup manusia banyak dipengaruhi oleh apa yang dibawa teknologi media dan komunikasi, yang digerakkan oleh kekuatan pasar global.

Mammonisme dan konsumerisme, materialisme dan hedonisme telah merasuki otak dan hati manusia di belahan manapun. Komunikasi teknologi tinggi dan informasi sibernetika mempengaruhi pasar, proses politik dalam masyarakat secara kuat. Yang dipuja ialah apa yang disenangi pasar dan mekanisme yang berorientasi kenikmatan.

Ada tantangan bagi gerakan budaya baru, ialah budaya semestinya menjadi sumber kebijakan baru dan sumber hidup baru bagi manusia. Budaya hendaknya menjadi sarang tumbuhnya peradaban global baru, yang akan melawan proses budaya di bawah kendali globalisasi. Keanekaragaman budaya dengan demikian bermanfaat bagi kehidupan, bukan melulu untuk memperbesar keuntungan.

6. Melawan Penghancuran Hidup

Modernisasi menumbuhkan kerancuan fatal bahwa hidup manusia tidak ada hubungannya dengan hidup di alam semesta. Inilah gagasan penyempitan moderen dalam memahami hidup. Padahal hidup selalu terkait dengan proses bio-kimia.

Peradaban industri, yang didasarkan pada ilmu dan teknologi modern, berkembang sekaligus menaklukan kekuatan alam. Hal ini mengakibatkan proses perusakan lingkungan. Paradigma dasar ekonomi industri justru tidak memberi pemecahan bagi masalah kiris ekoologi. Sikap dasar modernitas tampak dalam ilmu-ilmu dimana metodologi modifikasi genetic justru mereduksi dan mendominasi hidup.

Demikianlah, globalisasi justru memberi peluang pula terjadinya penghancuran bagi hidup dan kehidupan. Padahal, hidup begitu berharga. Maka hidup harus dijaga hingga mencapai kesempurnaanya. Kesempurnaan hidup ialah demi kemuliaan Tuhan. Dasar dari tujuan dan penghormatan hidup ialah iman kepada Tuhan yang memberikan hidup. Hidup adalah hidup, ketika hidup melawan kuasa kematian. Hidup adalah hidup yang sesungguhnya, ketika hidup memiliki dimensi keabadian. Hidup adalah hidup, ketika hidup mengalami kepenuhan. Yusuf dan Maria, di hari Natal ini memberi inspirasi betapa berharganya hidup pemberian Tuhan itu. Jangan sia-siakan hidup dan kehidupan ini.