Pages

Saturday, March 11, 2006

Don Francesco Lugano: Imam Praja, Imam Sekular

Masih terdengar jelas bagaimana Rm. Julius Haryanto, CM, Administrator Keuskupan Surabaya ketika memberikan kotbah dalam misa requiem melepas kepergian Rm. Francesco Lugano, Pr. Beliau menyebut Francesco Lugano dengan kata depan “Don”. Kata “Don” memang kependekan dari kata berbahasa Latin, Dominus. Dominus arti harafiahnya ialah tuan. Di Italia, tanah kelahiran Rm. Lugano istilah Don memang dipakai untuk menyebut seseorang yang berstatus sebagai imam, pastor atau romo.

Imam Praja

Almarhum YB. Mangunwijaya pernah menyebutkan, imam adalah sosok jembatan, ponton (berakar kata pontus, sama dengan, pontifex). Imam menjadi penghubung antara Tuhan dan manusia. Imam adalah orang yang bagi umat dapat mengaktualisasikan, mempersonifikasikan dan menggambarkan jawaban dari kerinduan manusia untuk menemukan harmoni antara manusia dan Tuhan. Imam diharapkan memenuhi kerinduan manusia terhadap segala warna kebaikan, kebenaran, kejujuran, kedamaian, dan semua yang menumbuhkan persaudaraan. Imam tidak tinggal di menara awan. Ia tidak steril dari kondisi perkembangan masyarakat. Imam bertugas atas nama Tuhan yang maha baik serta hati nurani kolektif masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan untuk menolong siapapun.

Kata imam begitu indah dikenakan kepada Rm. Lugano. Sebagai imam, Rm. Lugano menempatkan diri sebagai seseorang yang yakin bahwa dirinya dipanggil Tuhan, mau menyerahkan diri seutuhnya dan seumur hidupnya demi pengabdian kepada seluruh GerejaNya. Oleh tahbisan imamatnya (tahbisan presbiterat), ia masuk dalam jajaran hirarki Gereja untuk menggembalakan umat Allah.

Sebagai imam, Rm. Lugano memang ditahbiskan oleh seorang Uskup. Ia ditahbiskan sebagai imam praja yang mengikatkan diri pada praja (wilayah, pemerintahan) tertentu. Dalam hal ini ia mengikatkan diri pada karya di wilayah keuskupan tertentu. Atas ijin Uskup di mana ia menginkardinasikan diri, Rm. Lugano ini justru menyediakan diri untuk berkarya di Keuskupan Surabaya, sejak Agustus 1963.

Rm Lugano bukan sembarang imam, ia imam diosesan. Ia mengikatkan diri pada Dioses atau Keuskupan Surabaya seumur hidupnya. Karena imam Keuskupan, maka ketika datang ke Indonesia pun, Rm. Lugano lebih dulu menghadap Uskup Surabaya. Oleh Uskup, Rm. Lugano ditempatkan di Blitar. Ia menjalankannya dengan taat. Ketaatannya tampak pula dari keseriusannya melengkapi pengabdiannya dengan belajar bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, beliau pun pernah mengungkapkan “Tugas kerasulan tidak boleh mengandalkan perencanaan manusiawi, melainkan lebih tergantung pada rencana Tuhan. Ojo sakepenake dhewe (semaunya sendiri).”

Sebagai imam praja Keuskupan Suarabaya, yang bertempat tingga di wilayah terpencil dan pesisir pantai, Rm. Lugano mulai berpikir dalam konteks keadaan umat, budaya, bahasa tempat pengabdiaannya. Ketika Uskup Surabaya pada tahun 1967 memberinya tambahan tugas mengembalakan umat di seputaran Mojorejo, di Blitar Selatan, ia pun sadar harus bisa berbahasa Jawa. Karena mayoritas umat desa menggunakan bahasa Jawa. Namun karena kedekatannya dengan umat desa, ia tak membutuhkan waktu lama untuk lancar berbahasa Jawa.

Romo Lugano dikenal banyak umat di wilayah Blitar Selatan, Wlingi, Tulungagung dan Trenggalek sebagai gembala yang sederhana dan setia. Kesederhanaannya, tampak dari selalu menerima apa adanya apa yang disediakan umat entah itu makanan dan tempat tidur. Meskipun dalam berpastoral terkenal dengan gaya khasnya, sak wanci-wanci (sewaktu-waktu) tidak berpatokan pada jam tertentu, namun ia setia mengunjungi umatnya. Bahkan beliau pun secara rutin menghadiri UNIO bersama para imam praja Keuskupan Surabaya, setiap bulan sekali.

Ketika menjumpai banyak tantangan dari masyarakat sekitar yang masih percaya hal gaib, menganggap daerah hutan, laut sebagai tempat yang wingit (angker) dan mitos tentang daerah itu sebagai janma mara janma mati (berbahaya), Romo Lugano tak menyerah. Ia memberanikan diri meretas tahyul dengan imannya kepada Tuhan, Allah yang Maha Kasih. Tak jarang ia harus tidur bermalam sendirian di atas pasir, di tepi pantai. Sekalipun warga memberitahunya kalau di sekitar daerah tersebut masih ada harimaunya, Romo Lugano tidak takut. Pernah saat gelap malam tiba, Romo Lugano pernah melihat sepasang sorot mata yang bergerak-gerak dari jarak sekitar 15 meter, namun tiba-tiba menghilang. Romo Lugano pun tidak menghiraukan karena toh tidak menganggu, pikirnya.

Sebagai imam, kesaksian martyrianya tampak ketika dalam pewartaan ia mengalami banyak tantangan dan ancaman dalam mewartakan kabar gembira Yesus Kristus. Rm. Lugano pernah sepulang mengajar agama di daerah Boro dan Cungkup di tikungan jurang antara desa Cungkup dan Banjarsari dilempari batu oleh sekelompok orang kampung yang tidak senang dengan kehadirannya. Namun ia terbebas dari lemparan batu. Hingga kini, penduduk setempat menamai jurang tersebut sebagai “jurang Lugano”.

Rm. Lugano merumuskan spiritualitasnya sebagai imam praja dengan tepat, ialah solidaritas Keuskupan. Karena ia menyerahkan seluruh hidupnya bagi Gereja lokal, yaitu Keuskupan Surabaya. Dalam hal itu dimaksudkan, apapun yang dituntut darinya demi kesejahteraan Keuskupan, ia laksanakan dengan sepenuh hati, budi dan kekuatannya. Bila Keuskupannya subur, ia ikut bersyukur, bila kering ia tidak takut hidup prihatin, bahkan berusaha mengembangkannya.

Imam Sekular

Imam Praja dalam perjalanan sejarahnya sempat dicap dengan istilah imam sekular. Sekular berarti duniawi. Oleh sebab itu, imam sekular berarti imam duniawi. Istilah ini pernah dipakai bagi imam praja atau imam diosesan untuk membedakan mereka dari imam biarawan. Kemungkinan besar julukan itu muncul ketika Gereja amat mengagungkan cara hidup membiara sebagai satu-satunya jalan mencapai kesempurnaan hidup. Pada waktu itu segala sesuatu yang tidak bersifat kebiaraan dinggap tidak religius dan kurang baik. Istilah ini berasal dari bahasa Latin berupa sacerdos saecularis, imam sekular yang masih dipakai dalam Kitab Hukum Kanonik.

Kata “don” yang berbau sekular yang arti harafiahnya tuan dan julukan imam sekuler atau duniawi, kiranya justru indah dikenakan pada Rm. Lugano. Ia sungguh sadar akan realitas dunia di sekitarnya, dengan demikian tindakan pastoral yang diambil sungguh memberi jawaban atas persoalan dunia. Dunia atau yang duniawi dengan demikian bukan sesuatu yang berkonotasi jelek, tetapi jutsru menjadi locus theologicus, yang inspiratif dalam menjawabi persoalan yang ada di dalamnya. Ia menjadi pemimpin, pengarah yang tidak sekedar see-judge-act, tetapi discern-option-act. Dalam diri Rm. Lugano, keprihatinan dunia di medan karya pastoralnya menjadi keprihatinan karyanya, demikian pula kegembiraan dunia, juga menjadi sarana dan sumber kesempuraan karyanya.

Keprihatinan dunia yang dilibati Rm. Lugano ialah situasi nyata Gereja setempat. Ia justru mewartakan bahwa Gereja Katolik hadir di tengah dunia. Ia menjadi bukti bahwa seorang imam dan Gereja Katolik tidak steril dengan keadaan sekitarnya. Karya Rm. Lugano dapat disebut sebagai keterlibatan dalam rangka berpolitik. Rm. Lugano melibatkan diri dalam politik dalam arti asli. Kembali merujuk pada YB. Mangunwijaya, berpolitik ialah berkarya demi kepentingan bersama. Suatu karya demi kepentingan bersama, tidak cukup dengan mengajarkan prinsip-prinsip yang benar, tetapi juga harus melibatkan diri secara nyata ke dalam perjuangan praktis. Tujuannya untuk menata kembali hidup sosial dalam kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Keterlibatan itu terutama merupakan solidaritas yang nyata dan arif, mengutamakan orang miskin, namun tanpa memusuhi orang tak miskin.

Rm. Lugano menunjukkan Gereja Katolik wajib dan berhak terlibat dalam politik, dalam arti asli, moral, hati nurani. Ia berpolitik demi kesejahteraan rakyat, demi common good, demi keadilan, penyembuhan, pemerdekaan dan perdamaian. Tujuannya, agar sesamanya semakin memerdekakan diri, manusiawi, adil, beradab, dengan merealisasikan kehendak Tuhan. Rm. Lugano dengan demikian bukan berpolitik dalam realm of power. Rm. Lugano berpolitik untuk menyejahterakan masyarakat, bukan untuk meduduki kekuasaan. Ia berpolitik dalam realm of common good.

Ketika mendapati lokasi pengabdiaanya terpencil, terdiri dari para nelayan tradisonal yang pendapatannya rendah, Rm. Lugano pun berpikir untuk mengembangkan daerah itu. Ia akhirnya memilih lokasi strategis untuk kegiatan bersama para nelayan, yakni Pantai Jalasutra dan Tambakrejo, Kecamatan Wates dan Bakung, Blitar Selatan. Ia mendirikan Lembaga Pengembangan Kenelayanan. Pada tahun 1969, dengan didukung aparat kecamatan dan desa setempat serta Lembaga Karya Dharma Keuskupan Surabaya, dimulailah pembuatan jalan makadam (bebatuan) sepanjang 12 kilometer yang menghubungkan daerah Wates-Gondangtapen-Jalasutra. Proyek padat karya yang melibatkan seluruh warga setempat dilanjutkan kembali dengan merintis jalan antara Wates-Mirigede sepanjang 4 kilometer, Wates-Tugurejo sepanjang 4 kilometer dan Wates-Bantengan sejauh 6 kilometer. Pengerjaan tersebut berlangsung selama 3 tahun dan berakhir tahun 1972.

Pula ketika dipindahtugaskan ke Tulungagung tahun 1991. Meskipun karya besar telah dikerjakan di Blitar dan sekitar Mojorejo, Rm. Lugano merelakan karya itu diteruskan nelayan binaannya. Di tempat barunya di Tulungagung Rm. Lugano justru merintis karya baru. Bersama nelayan di seputaran Prigi, Trenggalek, ia mendirikan Lembaga Pengembangan Kenelayanan dengan merancang perahu yang lebih murah, dilengkapi jaring hasil karyanya bernama purse seine dan membuat beberapa perahu yang dijual ke nelayan setempat dengan harga 40 persen lebih murah.

Di Tulungagung, sepak terjang Rm. Lugano dalam kegiatan lintas agama tidak tanggung-tanggung. Ia dengan setia menjadi penasihat dan nara sumber bagi aktivis PMII Cabang Tulungagung. Sekalipun dekat dengan kaum nelayan yang bukan Katolik, Romo Lugano tetap menghormati kebebasan beragama rekan kerja dan para nelayan. Romo Lugano tak pernah memaksakan agama Katolik kepada mereka. Bahkan di Prigi, tempat dimana beliau menghabiskan waktu selama 15 tahun terkahir, mayoritas peserta Lembaga Pengembangan Kenelayanan tetap beragama Islam. Hanya seorang saja yang beragama Katolik, itupun pendatang dari Jawa Tengah. Dalam karyanya, Romo Lugano melibatkan kawan-kawan dari agama Islam, terutama dari kalangan NU dan mahasiwa dari PMII, sekaligus sebagai sarana untuk mengembangkan sosial kemasyarakatannya. Tak heran, Romo Lugano dikenal baik di kalangan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, (FKAUB), para kiai, kalangan Pondok Pesantren dan para pejabat Pemda Tulungagung.

Rm. Lugano yang bergaya khas ajur-ajer, yang artinya melebur dengan masyarakat, membuat dirinya tidak terisolasi melainkan penuh inisiatif pribadi untuk menjadi terang dan garam dunia. Sikap inilah yang berarti pula kehendak untuk bekerjasama dengan siapapun, juga dengan mereka yang berbeda agama, bahkan dengan yang atheis lahiriah namun memiliki sifat batin yang humanis dan religius.

Kiprah politis Rm. Lugano semakin diakui dengan tampilnya beliau sebagai moderator nasional Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun 1991, bersama Romo Gregorius Utomo Pr (pendiri HPS) di Yogyakarta untuk bidang pertanian/tanaman pangan. Bersama nalayan-nelayan di Jawa Timur yang berkumpul di Prigi, Trenggalek 13-16 Oktober 1994, Romo Lugano memprakarsai sebuah deklarasi yang disebut Harapan Tulungagung, yang diantaranya memuat ajakan untuk mencintai dan melestarikan lingkungan, membuka komunikasi, pengembangan ketrampilan serta meningkatkan kesejahteraan bagi petani dan nelayan.

Memang karya Rm. Lugano begitu besar, tak terhitung kekayaan materi yang dimiliki dalam karyanya selama ini. Aset berupa tanah, perahu, truk, gedung LPK dan uang yang tersimpan dalam rekening bank, jika dijumlahkan tentu mencapai ratusan juta rupiah. Tetapi pelajaran berharga dapat dipetik dari komitmen dedikasinya demi keuskupan dan pilihannya untuk kaum lemah. Rm. Lugano justru dengan iklas menyerahkan kekayaan materi untuk kegiatan kenelayanan dan lanjutan karyanya, demikian bunyi surat wasiatnya. Bahkan untuk menyimpan uang di rekening bank, ia sebenarnya secara pribadi tidak menghendaki memakai namanya, yang hendak menunjukkan sikapnya yang lepas bebas terhadap harta benda dan kekayaan. Terhadap imam yang memiliki kekayaan materi, hampir tidak ada yang mempersoalkan kekayaan tersebut, karena Rm. Lugano mengimbangi dengan karya demi sesama dan kesedarhanaan nyata. Dengan demikian kekayaan materi tidak menjadi batu sandungan. Karena kekayaan materi justru ditempatkan Rm. Lugano sebagai sarana untuk semakin memuliakan Tuhan dan sesama, bukan untuk kenikmatan semata, apalagi untuk mengejar ambisi politis.

Demikianlah, Don Francesco Lugano memberi pelajaran yang sungguh sangat indah dalam menyandang gelar Imam yang Praja, yang berpolitik, yang sekuler bagi kita. Konotasi imam praja yang dianggap boleh kaya, pastor ndonyani, duniawi justru terasa pas dalam diri imam bernama Francesco Lugano. Engkaulah imam untuk selama-lamanya. Sacerdos est tu in aeternum. (A. Luluk Widyawan, Pr, rohaniwan, tinggal di Ponorogo)