Pages

Tuesday, March 14, 2006

Paskah: Memoria Passionis Demi Keadaban Bangsa


Seorang lelaki tua tengah bercerita kepada kumpulan anak muda. Ia mengisahkan perjalanan hidupnya di masa lalu. Betapa buruk dan tidak mengenakkan pengalaman hidupnya di masa penjajahan. Ia mengungkapkan dengan ucapan: “jaman Londo, jaman Jepang mbiyen opo-opo rekoso” (jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dulu berbuat apapun sulit). Pengalaman buruk itu antara lain: sikap intoleran penjajah kepada penduduk pribumi, mental dehuman penjajah memaksakan kerja paksa, ide sektarianisme dimunculkan untuk memuluskan politik adu domba, sikap diskriminatif yang hendak memecah belah kekuatan rakyat, hingga monopoli sumber-sumber kekuasaan dan kesejahteraan yang amat menyengsarakan rakyat.

Kisah semacam itu kerap terdengar dari generasi pendahulu. Penceritaan kembali mengandung ajakan untuk menyebarkan informasi pengalaman buruk kepada generasi penerusnya. Pengalaman buruk itu pun berubah menjadi pengalaman kolektif bangsa Indonesia. Karena, berhadapan dengan pengalaman itu yang muncul ialah sikap trauma. Tak seorangpun ingin pengalaman buruk itu kembali terjadi di negara Indonesia. Karena, pengalaman itu hanya menyisakan perpecahan, perselisihan, pertumpahan darah dan terlebih kesengsaraan rakyat.

Pengalaman Buruk

Pengalaman buruk di dalam kehidupan membuat orang apatis, acuh tak acuh bahkan kecewa, geram dan marah kepada pemerintahannya. Penerusan kisah buruk masa kolonial membuat pendengarnya percaya bahwa di mana saja kolonialisme selalu membawa penderitaan kepada rakyat. Karena kolonialisme identik dengan kekerasan, penindasan, kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pasca kolonial, ketika Ir. Soekarno memimpin bangsa Indonesia, wacana tunggal yang diangkatnya untuk melupakan pengalaman buruk itu ialah menyatukan gerak langkah seluruh lapisan masyarakat dengan pembangunan bangsa dan karakter nasional. Dengan segala sikap anti kolonialisme, arah yang dicapai jelas, yakni pembangunan identitas bangsa. Pasca Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, wacana kepemimpinannya adalah pembangunan nasional yang diterjemahkan dalam program pembangunan bertahap. Dengan pelajaran pengalaman buruk masa lampau, arah yang dicapai jelas, yakni mewujudkan kesejahteraan yang adil dan beradab.


Kedua masa pemimpin bangsa tersebut dicatat sejarah sebagai mampu memberikan visi “Indonesia Baru”. Lebih dari itu, mereka mampu menggerakkan rakyat untuk memiliki komitmen menata masa depan yang lebih baik dan tidak mengulang kesalahan yang sama, ialah pengalaman buruk masa kolonial. Meskipun kedua pemimpin negara itu menyelesaikan tugasnya secara tragis dengan dipaksa berhenti dan dicaci-maki lawan-lawannya.

Periode pasca Orde Baru tidak memiliki kekuatan bersama atau semangat bersama semacam itu. Pemimpin bangsa yang berulang kali berganti tidak memiliki wacana yang kuat untuk mempersatukan seluruh bangsa. Yang terjadi di kalangan rakyat hanyalah antusiasme reformasi tanpa bentuk, bagaikan baru saja lepas dari belenggu kuat dan beban berat. Kondisi ini diartikan sebagai kesempatan bebas untuk melakukan apa saja, “yang penting reformasi”, “yang penting bukan orde baru”. Tampak suatu reformasi tanpa konsep penataan hukum yang memadai. Lebih parah lagi, bangsa Indonesia telah tercabik-cabik ke dalam berbagai kelompok eksklusif, kedaerahan, etnis, agama, politik dan lain sebagainya. Konflik antar etnis dan bom yang meledak mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Nasionalisme dan keutuhan bangsa seolah terpinggirkan bersama dengan lenyapnya identitas kolektif yang dengan susah payah dibangun oleh generasi the founding fathers.

Di masa sepuluh tahun terakhir, masalah silih berganti muncul. Semarak kebangkitan agama-agama memunculkan sisi negative semacam konflik antar agama dan kekerasan yang beradarah-darah dengan segala kerugian fisik, moral dan nyawa manusia. Dalam kadar tertentu bahkan semakin meningkat sebagai kekerasan structural sekaligus pendangkalan religiositas.

Kemajuan dunia diikuti dengan kerusakan moral dan iman dengan maraknya mentalitas individulis, materialis, konsumeris, hedonis dan kerusakan lingkungan. Persatuan sebagai bangsa pun rentan oleh orientasi primordialis dan sectarian. Kesatuan geografis, politis dan psikologis bangsa begitu rapuh karena tak ketidakberdayaan mengatasi kepentingan-kepentingan sempit. Para elite politik menikmati status quo-nya yang otoriter dan monolog. Suara rakyat dimanfaatkan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Pemerataan kesempatan, kekuasaan dan kesejahteraan berlangsung tak adil, karena praktek monopoli dan korupsi, kolusi serta nepotisme.

Memoria Passionis

Pengalaman buruk sebagai praksis sosial memang menyengsarakan. Persoalannya adalah bagaimana refleksi atas sebuah praksis sosial di masa lalu dapat memunculkan sebuah tindakan moral baru. Sikap menolak pengalaman buruk, yang pahit dan tak mengenakkan itu muncul dalam refleksi teologis Johann Baptist Metz tentang memori penderitaan (memoria passionis) dan memori kematian (memoria mortis) (Fatith in History and Society: 1977).

Maksud dari memoria penderitaan adalah memori yang diinspirasikan dari penderitaan Yesus di salib dan semua saja yang menderita. Memori telah membentuk identitas seseorang. Aliran kesadaran (baca: ingatan) yang bergerak terus menerus dari kekinian kita menuju masa lalu, memberi kita sesuatu yang tetap, yang kita sebut identitas. Kehilangan memori akan menghapus identitas. Oleh karena itu memori penderitaan menuntut untuk diceritakan dan terus menerus dituturkan.

Identitas bangsa pertama-tama dibentuk oleh sejarah yang adalah sejarah para penderita. Sejarah iman kristiani pertama-tama sejarah orang-orang yang kalah. Oleh penderitaan Yesus di salib, sejarah ditulis sebagai sejarah orang-orang yang menderita. Bagaimana mungkin sejarah penderitaan memberi identitas ? Bahwa identitas kristiani dibentuk oleh memori penderitaan mau mengatakan bahwa memoria passionis memang harus disertai dengan memoria resurrectionis (memori kebangkitan).

Maksud dari semua itu ialah, memoria passionis diingat dalam iman sebagai memoria resurrectionis. Kebangkitan yang dimedia-si oleh memori penderitaan berarti bahwa Yesus yang mati, yang kalah, yang tertindas dan yang menderita, memiliki arti (bagi kita). Karena kematian, kekalahan, ketertindasan dan penderitaan yang harus ditanggungNya, nilai-nilai luhur kehidupan yang dipegang, cita-cita dan harapanNya telah dimusnahkan. Nilai-nilai luhur, cita-cita dan harapan Yesus berarti bagi kita justru karena peristiwa kebangkitan.

Sejarah bangsa kita pun pertama-tama adalah sejarah orang yang kalah. Orang yang kalah karena penindasan kolonialisme, yang sengsara karena dijajah, menuturkan pengalaman buruk kepada generasi penerusnya. Generasi penerus yang mendengar pengalaman buruk itu kemudian tergerak untuk bertindak. Ialah merumuskan tindakan nyata untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi mereka yang telah mengalami penindasan dan kesengsaraan dan bagi dirinya sendiri.

Dengan demikian, tuturan pengalaman buruk yang dikisahkan generasi pendahulu sebenarnya memiliki harapan-harapan yang tak sempat diwujudkan oleh mereka sendiri karena didera penderitaan yang mereka alami. Adalah tanggungjawab pendengarnya dan generasi penerus yang akan membuatnya menjadi nyata.

Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia: 2001) menegaskan, setiap pengalaman historis seperti ini seharusnya dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang, yaitu mengingat sekaligus melupakan. Kesanggupan mengingat membantu orang untuk bisa terus maju. Ia tidak perlu mulai dari nol. Ia sudah mempunyai dasar pijak untuk bangkit dan bertumbuhkembang secara bersinambung serta tidak mengulang-ulang kesalahan yang sama. Kesangupan melupakan, mengajak orang untuk memutuskan diri dengan pengalaman traumatik sebagai perputusan sejarah yang membantu orang untuk mengembangkan dirinya tanpa perlu terus-menerus terpasung oleh pengalaman traumatik masa silam. Kesanggupan melupakan adalah ungkapan keyakinan yang paling penting untuk bangkit dan bergerak menatap masa depan yang lebih baik.

Bangsa yang mau belajar dari sejarah tanpa terkungkung dari pengalaman traumatic masa lampau adalah bangsa yang berani memandang kenyataan kini di sini (hic et nunc) yang memprihatinkan namun tetap memiliki harapan akan perubahan dan kemajuan. Sejarah masa lampau dan masa kini dipandang dengan kesadaran dan keterbukaan yang kristis, sambil tetap menjaga gerak sejarah ke masa depan yang lebih baik.

Keadaban Bangsa

Paskah selalu mengingatkan akan peristiwa kebangkitan. Yesus yang jatuh tiga kali tetapi bangkit berdiri memikul salib lagi. Yesus yang mati sesudah tiga hari justru bangkit. Peristiwa yang dialami Yesus memberi inspirasi bahwa jatuh, gagal bahkan mati sekalipun bukan akhir dari sebuah perjuangan menegakkan nilai luhur. Peristiwa jatuh, gagal, mati yang amat menyakitkan itu akan direkam sebagai memori penderitaan. Memori penderitaan itulah yang kelak memunculkan harapan dan energi yang membangkitkan dan menggerakkan generasi penerusnya.

Bangsa Indonesia pernah jatuh, sengsara dan menderita karena kolonialisme. Negeri ini pernah pula gagal dalam pembangunan di masa Orde Lama dan Orde Baru. Bahkan negeri ini untuk kesekian kalinya harus terpuruk karena konflik agama, radikalisme, ekstremisme religius, mentalitas individualis, meterialis, konsumeris, hedonis, primordialisme, ekslusifisme etnis, regional, politis, status quo, monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah memoria passionis kondisi masyarakat Indonesia yang masih memprihatinkan

Sejak tahun 1997 Konferensi Waligereja Indonesia lewat seruannya telah melihat bahwa terjadi kerusakan moral hampir di segala bidang. Pada tahun 2001, KWI menengarai rusak dan matinya moralitas di negeri ini. Kembali pada tahun 2003, KWI mengingatkan telah hancurnya keadaban di Indonesia. Aneka kerusakan itu bermuara pada ketunaadaban publik.

Itulah memoria passionis yang memprihatinkan dan menyengsarakan rakyat, yang bisa dirasakan dari begitu lemahnya kehidupan bersama di Indonesia. Kerena ternyata dalam kehidupan bangsa, iman tidak menjadi dasar hidup, hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan, perhitungan materi, uang dan kedudukan menjadi penentu utama, manusia menjadi egoistik, konsumeristik, materialistic dan menjadi rakus.

Memoria passionis tersebut begitu menekan dan mengundang keprihatinan. Dengan kesadaran sebagai bangsa yang mau belajar dari sejarah, maka sikap yang perlu ialah memandang kenyataan kini di sini (hic et nunc) yang memprihatinkan, namun tetap memiliki harapan akan perubahan dan kemajuan. Tak ada alasan lain untuk segera memperbaikinya selain dengan membangun kembali keadaban publik yang rusak dan mengembangkan habitus baru bangsa.

Keadaban publik yang dicita-citakan dan habitus baru yang hendak dikembangkan harus memperhatikan tiga poros yang menopang hidup bersama. Ialah penataan kembali aturan main di poros negara, poros pasar dan poros masyarakat warga. Bentuknya ialah menggunakan politik untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, bukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kesejahteraan kelompok tertentu. Bisnis semestinya dijalankan melalui transaksi demi keuntungan antara penjual, pembeli dan masyarakat, bukan demi semakin besarnya penumpukan modal dan keuntungan pihak kaya raya. Hidup bersama seharusnya menjamin rasa aman bagi seluruh warga, bukan dirusak oleh tindakan untuk memenangkan kelompok atau golongannya sendiri.

Memoria passionis kaum penderita di Indonesia sudah cukup menjadi alasan kuat untuk menghentikan ketunaadaban publik. Pengalaman para korban yang kalah, yang tersingkir, yang mati sudah saatnya mengundang keprihatinan sebanyak mungkin anak bangsa untuk bangkit dan bergerak menata keadaban bangsa. Selamat Paskah 2006. (A. Luluk Widyawan, tinggal di Ponorogo)