Pages

Thursday, March 16, 2006

Pendampingan Masyarakat Blok Cepu


Masyarakat sekitar Blok Cepu akan merasakan kegembiraan pasca ditandatanginya kesepakatan joint operating agreement 15 Maret 2006 lalu. Demikian ditegaskan Deva Rachman, juru bicara Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) menjelang berlangsungnya kesepakatan tersebut dengan PT Pertamina (Persero). PT Pertamina dan EMOI sebelumnya telah mencapai kata sepakat untuk mengelola Blok Cepu secara bersama-sama. Dalam kesepakatan tersebut juga disetujui general manager eksekutif yang akan diduduki perwakilan EMOI, sedangan wakil general manager-nya orang dari PT. Pertamina.

Investasi yang diperlukan untuk mengembangkan proyek Blok Cepu cukup besar, yakni mencapai angka 2 miliar dolar AS lebih. Namun investasi tersebut akan sebanding dengan perkiraan potensi bagi hasil per tahun yang ditaksir mencapai angka Rp. 31,02 triliun. Proyek kelas dunia yang menggunakan teknologi tinggi, investasi besar, akan ditangani tenaga ahli yang berpengalaman dari kerjasama kedua perusahaan minyak luar negeri dan domestik.

Pengembangan proyek pengeboran minyak dan produksi di kisaran Blok Cepu memang akan membawa dampak positif bagi industri dan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan poin kesepakatan, sebanyak 8,5 persen pendapatan dari produksi Blok Cepu akan disetorkan ke pemerintah Indonesia. Sedangkan PT. Pertamina mendapatkan 6,75 persen, EMOI mendapatkan 6,75. Sementara sebanyak 1,5 persen akan dibagi untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). (Kompas, 15/3/2006).

Dampak ikutan (multiplier effect) yang akan dinikmati 4 Pemda terkait bukan hanya itu. Proyek Blok Cepu diperkirakanakan menyumbang langsung sekitar Rp. 4,5 triliun ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing wilayah. M. Nafik, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya yang sedang meneliti tentang Blok Cepu memperkirakan, dana bagi hasil bisa mendongkrak PAD hingga 2,224 persen dari PAD tahun 2004 yang sebesar Rp. 33 miliar. Perkiraannya, PAD Kabupaten Bojonegoro jika operasi Blok Cepu berlangsung akan menjadi 728, 33 miliar per tahun. PAD Kabupaten Tuban akan menjadi 741,35 miliar per tahun. Sedangkan bagi propinsi Jawa Timur akan mendapatkan pandapatan sebesar 3250,15 miliar per tahun.

Tingginya angka pendapatan yang akan didapatkan dari pengoperasian Blok Cepu memicu Pemda Bojonegoro untuk secepat mungkin menyediakan sarana dan prasarana. Saat ini telah direncanakan pembebasan lahan seluas 750 hingga 1000 hektare untuk menyelesaikan persiapan prakonstruksi. Pembebasan lahan itu dimaksudkan untuk pengeboran maupun untuk perkantoran, gudang dan berbagai kepentingan yang terkait dengan pengeboran migas di Blok Cepu.

Selain pembebasan lahan, Pemda Bojonegoro telah merencanakan pula penyiapan berbagai sarana dan prasarana yang digunakan seperti jalan, air bersih, listrik, telepon, lapangan olahraga, hotel berbintang, restoran, supermarket, bank, bandara udara, rumah sakit bertaraf internasional dan aneka kebutuhan lainnya. Pemda pun turut serta menyiapkan tenaga terampil dengan prioritas asli daerah untuk mengikuti kursus kilat berbagai ketrampilan. Mereka akan dididik mengikuti kursus listrik, las, pipa, teknik mesin. Upaya tersebut termasuk agar pemuda asli daerah diprioritaskan untuk bekerja di perusahaan pengoperasian pengeboran minyak dan gas.

Meskipun bayangan optimis mengenai aneka keuntungan dan tingginya pendapatan yang akan diperoleh, proyek Blok Cepu tetap memberi kemungkinan masalah. Beberapa yang sudah muncul ialah protes penempatan wakil EMOI sebagai general manager oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Juga protes dari kalangan DPR RI utamanya dari fraksi PKS, PKB, PDIP dan PAN yang mempersoalkan diserahkannya hak operatorship Blok Cepu kepada EMOI. Selain itu tak kalah penting ialah masalah pendampingan bagi masyarakat sekitar Blok Cepu berkaitan dengan kesiapan menerima aneka kemudahan ekonomi yang tentu akan berdampak pula bagi kehidupan sosial.

Sistem Sosial Modern

Sistem sosial modern pasti akan dialami masyarakat sekitar Blok Cepu. Sistem sosial itu paling tidak telah terlihat dari aneka rencana pendirian sarana dan prasana akan yang bermunculan. Sarana dan prasarana yang dibangun seperti jalan, air bersih, listrik, telepon, lapangan olahraga, hotel berbintang, restoran, supermarket, bank, bandara udara dan rumah sakit bertaraf internasional akan hadir di sekitar Kabupaten Bojonegoro dan Tuban.

Cara hidup masyarakat dipastikan akan berubah. Terlebih mengingat situasi daerah Bojonegoro selama ini rawan banjir di musim penghujan dan kering di saat kemarau, merupakan daerah yang miskin. Kehidupan masyarakat tradisional yang tergantung pada kekayaan alam akan bergeser pada kemudahan mendapatkan uang. Kemudahan mendapatkan uang bukan tanpa masalah, justru dapat menciptakan ketergantungan. Hal ini dipastikan akan terjadi pasca pengoperasian penambangan. Perubahan drastis akan terjadi karena masyarakat tradisional dengan cepat akan mengenal uang.

Hal yang paling mencolok ialah perkembangan harga tanah di kawasan lapangan minyak tersebut. Harga tanah di kawasan itu, naik cukup signifikan. Kabar segera ditekennya JOA telah membuat warga yang mempunyai lahan di sekitar kawasan tersebut menaikkan harga lahannya. Harga tanah di desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem yang sebelumnya hanya berkisar Rp 50 ribu sekarang mencapai Rp. 100 ribu. Melambungnya harga tanah itu terjadi di Desa Gayam, Mojodelik, Begadon, Brabuan, dan Bonorejo, semua di Kecamatan Ngasem. Kenaikan harga itu dipicu keyakinan warga bahwa di dalam lahannya tersebut terdapat kandungan minyak yang melimpah. Bahkan, lahan warga yang berdekatan dengan lokasi lapangan minyak Banyuurip dan Jambaran dengan radius 100 hingga 300 meter, harga per m2 mencapai sekitar Rp 200 ribu. Kenaikan itu masih wajar, sebab sebelumnya warga telah ditipu sejumlah spekulan.

Berhadapan dengan penghasilan seperti itu, karakter masyarakat pun dengan cepat akan beradaptasi dengan realitas baru itu. Di balik logika keberuntungan dengan mudahnya uang dicari, keadaan tersebut menyisakan kemungkinan malapetaka. Hal yang tak pernah terpikirkan di lahan kering dan tandus tanpa harapan itu kini menjadi sepetak tanah yang menghasilkan ratusan rupiah, hanya dengan duduk-duduk menunggu spekulan dan penawar. Logika kemudahan mendapatkan rejeki dikhawatirkan akan berujung dengan mudahnya menghabiskannya dalam sekejap.

Tantangan di balik kemudahan mendapatkan uang akan tetap berlangsung selama proses pra pengeboran hingga beberapa tahun ke depan ketika proyek Blok Cepu berlangsung. Pendapatan yang diperoleh mestinya diimbangi dengan pendidikan untuk menabung, untuk modal sekolah dan usaha atau menjadikan uang itu modal yang bermanfaat bagi generasi mereka. Cara hidup subsisten masyarakat sekitar Blok Cepu yang selama ini tradisional harus diimbangi dengan cara hidup berciri cerdas mengelola uang. Mental dan kultur masyarakat harus ditingkatkan sampai pada tahap kesadaran untuk menciptakan uang secara produktif. Corak turun-temurun yang hanya tahu menjadi petani, buruh atau bahkan karyawan hendaknya diubah menjadi pelaku-pelaku yang cerdas menyiapkan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Jika masyarakat sekitar Blok Cepu tidak ditingkatkan corak kehidupannya, ialah melulu kerja hanya untuk hidup dan tidak menghasilkan kehidupan yang lebih baik, maka masyarakat Blok Cepu akan tertinggal dengan masyarakat pendatang. Logika pendatang yang berpikir untuk melipatgandakan uang, harus diikuti oleh masyarakat Blok Cepu sehingga mereka tidak hanya memikirkan untuk menghabiskan uang, karena logika kemudahan rejeki yang mereka dapatkan.

Pola hidup konsumtif, dikhawatirkan akan terjadi karena locatan peradaban yang cukup ektrem. Ada loncatan yang tidak menyiapkan masyarakat. Loncatan besar dari harga tanah yang sangat murah menjadi ratusan ribu. Dalam satu generasi yang sama orang mengalami dunia tradisional dan dunia yang sangat modern. Di daerah lain, masyarakat berproses. Dari usaha sedikit-sedikit lalu berkembang menjadi cukup besar hingga akhirnya sangat besar. Masyarakat sekitar Blok Cepu tidak. Ibaratnya dari jalan kaki, langsung naik mobil. Ini tentu menimbulkan kejutan budaya. Belum lagi sarana dan prasana, modern dari jalan bebatuan lalu ada jalan bebas hambatan, dari warung lalu ada restoran, dari toko kecil lalu ada supermarket yang akan menyeret masyarakat untuk mengikuti arus.

Guncangan itu jelas akan berdampak pada pola konsumtif masyarakat. Entah masyarakat kelas bawah, yang dengan mudah akan terimbas juga masyarakat terdidik pun akan mengalami gegar budaya. Masyarakat akan memiliki hasrat besar melampiaskan keinginannya mengikuti gaya hidup modern. Guncangan budaya itu dapat membunuh jati diri masyarakat sekitar Blok Cepu, karena masyarakat berebut mendapatkan uang dan penghasilan sebesar-besarnya. Padahal kegiatan itu seharusnya didahului dengan kerja keras dan ketekunan, bukan jalan pintas dan mau enaknya. Hal ini bisa berbahaya bagi masyarakat karena bisa menimbulkan konflik antara sesama masyarakat Blok Cepu, bahkan sesama warga negara Indonesia. Jika hal ini yang terjadi, maka uang bukan menjadi bagian yang positif dalam hidup, namun sebaliknya. Karena uang justru akan merusak identitas masyarakat sekitar Blok Cepu. Aneka kemungkinan dekadensi nilai-nilai masyarakat inilah yang patut disadari, sebelum kelak masyarakat Blok Cepu melihat bahwa justru kaum pendatang lebih diuntungkan dengan adanya proyek.

Pentingnya Pendampingan

Pendampingan masyarakat yang akan bergerak maju menjadi masyarakat dengan sistem sosial modern menjadi catatan penting di tengah eforia segera dilangsungkannya eksplorasi minyak dan gas. Keberadaan proyek Blok Cepu yang dipastikan memberi dampak ikutan positif, sungguh dinikmati oleh sebanyak mungkin masyarakat Indonesia, utamanya sekitar Blok Cepu sendiri. Dampak peningkatan penghasilan hendaknya diikuti dengan pendekatan sosio-kultural yang seimbang.

Di Indonesia, ada beberapa kota minyak yang pengelolaan masyarakatnya dapat menjadi contoh positif. Kota Balikpapan di Kalimantan Timur, yang kegiatan pengolahan minyak dan gasnya memberi sumbangan 46,7 persen pada kegiatan perekonomian masyarakat, menjadi kota yang menarik pendatang. Namun pemerintah daerah setempat mengantisiapasi kemungkinan ini dengan Perda No. 22/2002 tentang manajemen kependudukan. Aparat pemerintah lokal sering merazia KTP untuk memastikan seseorang memiliki pekerjaan. Jika tidak memiliki pekerjaan para pendatang harus menyerahkan uang jaminan sebesar harga tiket kendaraan atau kapal dari daerah asal. Jika Jika sudah diberi kesempatan enam bulan namun usahanya gagal, mereka harus kembali ke daerah asal dan uang jaminan pun dikembalikan utuh. Dengan demkian jumlah pendatang dapat dikendalikan.

Selain itu, angka pengangguran di Balikpapan dapat ditekan. Jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas sebanyak 397.901 jiwa, sedangkan penganggur atau pencari kerja sekitar 14.000 orang atau 3,58 persen. Kecilnya angka pengangguran ini menempatkan Balikpapan sebagai kota teraman di tanah air dengan angka kejahatan rata-rata kurang dari dua kasus per hari. Angka tersebut relative rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk yang melebihi 520.000 orang dengan aktivitas masyarakat yang sangat tinggi. Bukan hanya rasa aman, tingginya angka melek huruf yang mencapai 97,19 persen dari jumlah penduduk menyebabkan relative mudah melakukan sosialisasi peraturan. Karena itu Balikpapan relative tertib, dari aspek kebersihan, perparkiran, pedagang kaki lima, angkutan umum, maupun perilaku berlalu lintas dibanding kota lain di Indonesia. (Kompas, 27/4/2004)

Sementara itu di Dumai, Sumatera, meskipun minyak dan gas menjadi penyumbang pendapatan terbesar, pilar perekonomian kota justru didapatkan pula dari usaha perdagangan. Kegiatan tersier ini mampu menghasilkan produk domestik regional bruto Rp 212 miliar atau sekitar 27,11 persen dari total. Partisipasi kegiatan ekonomi ini memberikan pekerjaan kepada 26 persen penduduknya. Selain itu, pajak dari hotel dan restoran yang tumbuh subur di kota telah menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah (Kompas, 14/5/2003).

Lain halnya dengan penyelenggaraan penambangan di Timika, Papua. Gegar budaya justru berat karena konflik sosial yang timbul diselesaikan dengan membagikan uang. Padahal masyarakat tidak mengenal cara itu dan tak mendapatkan pendampingan dalam pengelolaan uang. Belum lagi uang yang justru membodohkan dan menghilangkan kesadaran orang untuk menjaga kesehatan, karena begitu sakit mendapatkan biaya kesehatan. Pembodohan semacam itulah yang justru membuat masyarakat rentan konflik (Kompas, 12/3/2006)

Pelajaran dapat dilihat pula dari kasus pemberian dana pengembangan masyarakat oleh PT Pertamina untuk masyarakat Desa Nglobo, Kabupaten Blora. Dana tersebut justru digunakan untuk membangun infrastruktur yang menunjang kegiatan perusahaan. Akibatnya, tidak banyak warga yang menikmati dana tersebut. Yang ada justru kesenjangan dan kecemburuan sosial. Selain itu, tanpa koordinasi dengan pemkab, maka penyaluran dana tersebut justru tidak tepat sasaran.

Masyarakat Blok Cepu yang akan menyambut eksplorasi minyak dan gas di wilayahnya hendaknya tidak dikejutkan dengan sistem sosial modern yang kompetitif, materialistis dan kompleks yang akan dihadapi. Proses pendampingan masyarakat, pendekatan sosio-kultural, manajemen kependudukan, partisipasi ekonomi masyarakat serta koordinasi antara perusahaan dan pemerintah daerah menjadi agenda penting dari segenap partisan untuk meminimalkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di masyarakat. Justru dengan semangat pembelajaran, kontrol dan kebersamaan, maka masyarakat sekitar Blok Cepu tidak ditempatkan sekedar sebagai penonton dari sebuah proyek raksasa ini. (Surya, 18 Maret 2006)