Pages

Friday, April 07, 2006

Passion: Bersahabat Dengan Derita



Siapakah yang ingin menderita ? Niscaya tak seorang pun mau mengalaminya. Setiap orang berusaha supaya tindakannya tidak mendatangkan penderitaan. Demi menghindari penderitaan, orang akan mengerahkan seluruh pikiran dan tenaganya demi kehidupan yang lebih baik. Karena penderitaan itu serba tidak enak, susah, sengsara dan berat untuk dijalani.

Sejarah pribadi setiap orang akan bergerak dari sebuah perjuangan untuk meningkatkan kehidupannya terlepas dari penderitaan. Kisah penderitaan yang buruk membuat orang tidak mau mengalaminya. Pengalaman penderitaan yang dialami seseorang menjadi salah satu faktor pemicu untuk tidak mengulangi penderitaan yang sama. Penderitaan yang menyakitkan itu telah mengakibatkan seseorang tergerak berusaha hingga menikmati sukses.

Berbagai pengalaman sukses yang ada, tak sedikit yang diasalkan dari pengalaman penderitaan. Seorang kuli panggul yang hanya lulusan SD bisa menjadi juragan gerobak, mantan sales ballpoint bisa memiliki pabrik ballpoint, pendatang dari negeri seberang yang hidupnya pas-pasan dan biasa tidur di kolong lantai kini menjadi pengusaha rokok besar, seorang yang di masa pemerintahan sebelumnya dipinggirkan bisa menduduki kursi presiden. Itulah beberapa fakta yang ada.

Pepatah lama menuturkan berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Artinya bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Pepatah tersebut sangat cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup seseorang yang berawal dari serba keterbatasan namun kini menuai sukses. Orang sukses menjadi bukti nyata bahwa keberhasilan hanya dapat diraih dengan mengamalkan keutamaan hidup. Keutamaan hidup ulet, tekun, jujur, disiplin, tidak mudah putus asa, tidak mengeluh, tidak boleh iri dengki, hemat, prihatin merupakan jalan harus ditempuh untuk mendapatkan kesuksesan.

Kesuksesan mengingatkan pada kata sukses dalam bahasa Cina. Ada dua elemen yang membentuk kata sukses. Aksara pertama mengandung arti kerja keras. Yang kedua adalah kekuatan. Maka, untuk sukses, setiap orang membutuhkan kerja keras dan kekuatan bertahan. Kerja keras dan kekuatan bertahan merupakan gagasan yang tak bisa lepas dari unsur penderitaan.

Tak Mau Menderita

Namun kenyataannya, tidak banyak orang yang mau menderita. Karena memang, secara manusiawi oranglebih suka tinggal dalam zona nyaman atau comfort zone. Jika merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki dan posisi yang enak, orang tidak akan mau mengambil resiko untuk mengambil tantangan baru yang sering kali berarti kesukaran. Dan kesukaran adalah penderitaan.

Apalagi jika mengingat kesukaran dan penderitaan bukan hanya datang dalam bentuk pilihan, tetapi sudah menjadi kenyatan hidup. Hidup sehari-hari sudah merupakan penderitaan ketika masalah muncul silih berganti. Inilah yang membuat orang tak mau bersusah payah menderita.

Orang yang tidak menyukai kesukaran dan penderitaan enggan menghadapi masalah. Karena masalah identik dengan kepedihan. Tak seorang pun suka dengan kepedihan. Lalu orang pun seringkali lebih mudah untuk menciptakan dunianya. Dunia yang indah dimana tidak kesukaran dan kepedihan. Dan di bawah sadar tiap orang berharap semua masalah akan selesai dengan sendirinya. Maka orang memilih untuk tak perlu bersusah payah. Entah selesai sendiri, yang pasti cara yang dipilih ialah jalan apapun yang tersingkat, bebas dari penderitaan. Dan cara itu seringkali berarti mengorbankan visi hidup, rasa malu bahkan harga diri. Atau lebih parah lagi di masa mendatang cara itulah yang niscaya justru menghancurkan hidup.

Kecenderungan memilih jalan apapun yang tersingkat dan yang bebas dari penderitaan inilah yang menjadi faktor penyumbang berbagai keterpurukan di Indonesia. MT Zen (2005) pernah mengungkapkan Indonesia masih ketinggalan dalam banyak hal. Antara lain bangsa ini terpuruk sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Pemerintahannya dikenal paling birokratik (in the worse sense), pegawai pemerintahan hanya tahu memeras/minta uang jasa saja, jiwa dan semangat melayani masyarakat tidak ada pada birokrasi pemerintahan.

Bangsa Indonesia itu cepat puas diri dan menjadi lengah (complacent), suka menganggap semua masalah itu mudah (taking things easy), hanya puas dengan formalitas saja. Jika ada masalah antara dua kelompok masyarakat, masalah tersebut diselesaikan dengan acara yang sangat formal dan superfisial, seperti menandatangani kesepakatan atau doa bersama tanpa mencoba mengerti dan memecahkan masalah dasarnya. Fenomena di atas menunjukkan masih bercokolnya mentalitas masyarakat Indonesia yang tak mau menderita. Pantas bila Sobirin dkk (2005) mengatakan, bangsa Indonesia itu miskin. Karena tidak memiliki sikap dan kemauan hidup berdasarkan prinsip-prinsip fungsional untuk mencapai kesuksesan.

Kenyataan tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta yang ada. Dalam hal keuangan saja, utang total Indonesia jumlahnya tidak sedikit. Jumlah utang itu terdiri dari utang luar negeri pemerintah (78,7 miliar dollar AS), utang luar negeri BUMN (4,8 miliar dollar AS), utang luar negeri swasta (45,5 miliar dollar AS), dan utang pemerintah dalam negeri (kira-kira 60 miliar dollar AS). Data sumber daya manusia Indonesia tahun 2004 menunjukkan angka pengangguran yang tinggi, sebanyak 9,82 persen (10,25 juta). Sementara itu, menurut catatan kependudukan, pada tahun 2005 sebanyak 18,2 persen (38,4 juta) jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan dan index mutu hidup manusia Indonesia masih pada peringkat 117 dari 175 negara.

Dalam Forum Paris Club di Paris Prancis, awal tahun ini, pemerintah Indonesia berharap mendapat keringanan pembayaran utang senilai Rp 30 triliun. Namun upaya itu tidak berhasil antara lain karena alasan tingkat korupsi yang tinggi, ialah menduduki rangking 6 pada tahun 2005.

Ide Penderitaan


Dalam diri setiap manusia terdapat dua jenis arus pokok, yaitu dorongan arus sentrifugal yang terus mau mengalir keluar. Kemudian ada arus sentripetal yaitu arus yang terus mau mengalir masuk. Para pemilih jalan tak mau menderita ialah tipe manusia dengan arus sentripetal. Ia ingin melulu mendapatkan comfort zone, yang nyaman bagi dirinya. Arus sentripetal niscaya dicirikan dengan sikap hidup yang malas, tak mau menderita, tak mau bersusah payah, tak mau bekerja keras, tidak jujur, jalan pintas, seenaknya, cepat putus asa, cepat mengeluh, iri, dengki, boros.

Ditilik dari akarnya, kecenderungan arus sentripetal ini disebabkan oleh sikap egoisme. Kepentingan diri berubah menjadi yang utama. Segala cara dipakai untuk sebesar-besarnya memuaskan ego. Salah satu bentuk egoisme perorangan maupun kelompok untuk memuaskan diri di bidang materi adalah korupsi. Lebih parah lagi egoisme ini begitu subur dan menjamur di berbagai instansi sehingga muncul kesan, praktik semacam ini sudah menjadi budaya

Tipe manusia dengan arus sentrifugal justru sebaliknya. Pengikut arus sentrifugal berlawanan dengan arus setripetal. Kekhasannya ialah kecenderingan untuk mengalir keluar. Seberapa besar pengeluaran yang dicurahkan, akan menentukan besarnya kondisi perbaikan yang dicapai. Ia sadar bahwa kenyamanan, kesusksesan, keberhasilan hanya akan dicapai dengan kerja keras dan kekuatan bertahan. Arus sentrifugal niscaya dicirikan dengan sikap hidup yang tekun, mau menderita dan bersusah payah untuk mendapatkan hasil, suka bekerja keras, jujur, displin, tidak cepat putus asa, tidak mudah mengeluh, tidak iri, tidak dengki tetapi justru kreatif.

Harus diakui, masih ada individu berwatak pekerja keras dan orientasinya seluruhnya adalah hal sosial. Termasuk juga di dalamnya adalah indvidu-individu yang mencurahkan segala waktu dan dedikasinya untuk kemakmuran orang lain, rela hidup di daerah terpencil, bergaji kecil, tak memiliki kesempatan korupsi dan bahkan dengan risiko nyawa untuk memberikan sentuhan kemanusiaan pada sesamanya. Ini sulit dikategorikan sebagai stable mind, barangkali yang lebih tepat adalah extraordinary mind.

Yang pasti, untuk memajukan suatu bangsa, kerja keras individu-individu yang mendiami bangsa tersebut adalah perlu (necessary) tetapi belum cukup (sufficient). Syaratnya di dalam negara tersebut harus terdapat juga, dalam persentase yang relatif banyak, individu-individu yang memiliki orientasi sosial, baik yang seimbang maupun cenderung sosial. Tanpa itu, suatu bangsa akhirnya tidak akan mampu menjadi bangsa yang sukses.

Kiranya, Yesus adalah sosok manusia yang memiliki arus sentrifugal. Yesus mengorbankan dirinya untuk umat manusia. Ia telah merendahkan diri mengambil rupa hamba dengan menjadi manusia. Ia mengorbankan masa muda dan seluruh kehidupannya dengan cara hidup sebagai orang miskin. Ia mengorbankan nama baikNya dengan cara mati terhina di salib. Ia bahkan mengorbankan jubah dan bajunya sewaktu disalibkan. Terakhir, Ia mengorbankan seluruh darahNya yang termulia dan nyawaNya. Dalam pribadi Yesus, tampaklah Allah yang melulu memberi dan memberi. Pada Allah tidak ada arus masuk karena semuanya merupakan arus keluar. Allah mengajar manusia untuk selalu memberi dan bukan untuk selalu meminta, menuntut, selalu merasa kurang. Dengan demikian, Yesus mengajarkan soal memberi secara murah hati. Praktek hidup Yesus melawan keras praktek mengejar kemakmuran duniawi yang melulu serakah hanya untuk memuaskan ego.

Bersahabat Dengan Penderitaan


Ada basis epistimologis yang cukup kuat di balik keyakinan untuk bersahabat dengan penderitaan. Penderitaan terkait erat dengan kegiatan mau bersusah payah dan mau bekerja keras. Sebab dengan penderitaan seseorang dipacu untuk berusaha, belajar, mencari dan berusaha semaksimal mungkin.

Pepatah bijak mengatakan berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Ini berarti tidak ada kesuksesan dan keberhasilan tanpa melewati usaha, kerja keras dan rangkuman penderitaan untuk mencapainya.

Lebih dari sekadar terkait erat, penderitaan juga sebentuk maha guru imajinasi yang amat mengagumkan. Bayangkan, berapa banyak inovasi, keberhasilan dan kesuksesan yang lahir dari manusia-manusia yang pernah hidup dalam penderitaan. Dengan tidak pernah berhenti, kesuksesan besar lahir justru karena pelakunya sempat mengalami kehidupan yang tak nyaman. Penderitaan menguji sekaligus menumbuhkembangkan. Terbukti bahwa penderitaan sebenarnya bukan aib yang menakutkan.

Bahkan kendati sudah sampai pada tangga kesuksesan yang mengagumkan sekalipun, seorang yang sukses akan tetap mendidik generasi penerusnya menghormati hukum pertumbuhan. Karena, tidak ada sukses tanpa membanting tulang. Maka keutamaan hidup yang pantas dihidupi untuk sebuah kemuliaan ialah praktik tidak seenaknya, menghargai usaha sendiri, tidak menempuh jalan pintas, tekun, mau menderita dan bersusah payah, suka bekerja keras, jujur, displin, tidak cepat putus asa, tidak mudah mengeluh, tidak iri, tidak dengki tetapi justru kreatif.

Lebih dari itu, bersahabat dengan penderitaan yang dicirikan dengan sikap hidup mengikuti arus sentripetal merupakan ungkapan solider dengan saudara sebangsa yang masih menderita dan susah kehidupannya. Laku solider yang ditempuh dengan menolak egoisme merupakan ungkapan tobat pula atas keserakahan yang marak terjadi. Dengan demikian bersahabat dengan penderitaan merupakan bagian dari perjalanan proses pemurnian sebagai bangsa.

Pemaknaan derita itu erat kaitannya dengan penghayatan hidup manusia sebagai proses yang mengalami pasang surut, terang dan gelap silih berganti. Dalam cara hidup itulah hidup menjadi indah untuk direnungkan, tetapi juga untuk melihat sejauh mana peranan orang lain dalam kehidupan kita. Justru biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati akan menghasilkan banyak buah bagi orang lain. Maka, bersahabat dengan penderitaan semacam ini cocok untuk mengembangkan solidaritas sosial kepada orang lain. Hal semacam ini memungkinkan pengakuan akan segala keterbatasan dan kerapuhan manusiawi.

Hanya dalam inspirasi penderitaan, orang tergerak keluar dari egoismenya dan peduli terhadap orang lain. Orang yang hanya mau enaknya, yang malas, tak mau menderita, tak mau bersusah payah, tak mau bekerja keras, tidak jujur, mencari jalan pintas, seenaknya, cepat putus asa, cepat mengeluh, iri, dengki, boros jarang ingat kepada sesamanya. Justru karena terinspirasi penderitaan dan menyaksikan sesamanya menderita, orang diharapkan tidak serakah.

Bangsa Indonesia yang terpuruk memerlukan semangat pertobatan itu. Maraknya korupsi, mentalitas jalan pintas, tak mau menderita serta kecenderungan mau menang sendiri, dalam masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tidak sedikit masyarakat yang masih dihinggapi sikap setripetal, mau enaknya sendiri, mau menang-menangan, sombong dan tidak mau rendah hati. Dengan bersahabat dengan penderitaan, niscaya egoisme koruptif akan runtuh berganti dengan tumbuhnya solidaritas yang akan membuahkan kesuksesan besar bagi Indonesia tercinta. (A. Luluk Widyawan, Pr, rohaniwan dan dosen di STKIP Widya Yuwana, Madiun).