Pages

Wednesday, May 17, 2006

Algons, Paroki Metropolis (dibuat dalam rangka Ultah Paroki Algons, Surabaya Ke XX)




Paroki Algonz, Surabaya sungguh hanya terdengar dari jauh (sebagaimana yang diminta redaksi Warta Paragonz). Yang menjadi latar belakang tulisan ini sungguh bukan dari sebuah kedalaman bersentuhan dengan imam, mantan imam Paroki Algons, tokoh umat, umat kebanyakan maupun kehidupan beriman di Paroki Algonz. Namun ada beberapa kisah personal dalam perjumpaan terbatas dengan imam, tokoh umat dan beberapa umat kenalan dekat, serta informasi dari majalah Warta Paragonz.

Dari Metropolis Ke Paroki

Metropolis merupakan kata jadian berbahasa Yunani pula, mater dan polis, yaitu ibu kota. Lalu metropolis direntang pengertiannya menjadi major city center. Pembentukan metropolis tentu berkaitan dengan proses perkembangan industri. Industri membutuhkan tenaga kerja, sedangkan daerah tidak menyediakan pendapatan dan lapangan kerja. Maka revolusi industri membuka kemungkinan membanjirnya manusia dari desa ke kota secara dramatis. Ledakan kerja dan meningkatnya teknologi mengakibatkan membengkaknya jaringan organisasi, sekaligus meningkatnya produktivitas. Dengan itu, kawasan kota menjadi luas dan taraf kehidupan pun naik. Kota menjadi metropolis. Akan tetapi yang mencolok dari bentuk metropolis bukanlah aspek-aspek kuantitatifnya, melainkan segi kualitatif sikap hidup, misalnya bahwa ikatan primordial berkurang, digantikan sikap rasional dan ekonomis, penilaian pribadi diganti dengan penilaian obyektif berdasarkan prestasi dan sebagainya.

Keadaan inilah yang menegaskan bahwa metropolis melahirkan konotasi yang paling lazim. Metropolis berarti krisis hingga secara sinis metropolis sekaligus disebut sebagai miseropolis, kota penderitaan. Pada umumnya krisis itu menyangkut bidang ekonomi, sosial, seperti kepadatan penduduk, kesehatan, perumahan, pekerjaan maupun kriminalitas. Serta aneka masalah yang marak seperti ketidakadilan, hak asasi manusia, kemiskinan, termasuk juga krisis psikologis dan iman.

Dalam suasana metropolis yang lengkap dengan sisi poitif dan negatifnya, hadirlah Paroki Algons pada tahun 1986. Berita yang terdengar dari Paroki Algons adalah kisah serius imam dan para perintis paroki menata konsep pastoral paroki menuju Gereja Umat Allah. Konsep ini sesuai dengan wawasan Konsili Vatikan II, tepatnya didasarkan pada 2 dokumen penting konsili itu yaitu Lumen Gentium dan Gaudium et Spes. Bukan hanya konsep, slogan yang dicanangkan tidak tanggung-tanggung: Garam dan Terang Dunia.

Berkaca pada makna dasar Paroki, memang Paroki berasal dari bahasa Yunani, paroikia, artinya jemaat yang sedang berziarah atau tinggal untuk sementara di tempat pengasingan. Sejak abad ke- IX paroki dimengerti sebagai kelompok orang beriman, dengan Gereja dan Imam sendiri, yang tinggal dalam wilayah yang merupakan bagian dari suatu Keuskupan.

Paroki adalah persekutuan umat beriman dalam batas-batas wilayah tertentu dalam lingkup keuskupan yang bersama-sama menggereja dan reksa pastoralnya dipercayakan kepada Pastor Paroki di bawah otoritas Uskup. Sebagai persekutuan orang beriman di bawah pimpinan gembalanya, Paroki menghadirkan Gereja universal. Paroki dipimpin oleh seorang Pastor kepala yang diangkat oleh Uskup. Menurut hukum kanonik Pastor paroki memiliki hak-hak tertentu dalam memelihara umat Katolik parokinya, tetapi harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada Uskup.

Wajah Paroki Algons
Tepatlah konsep peletak dasar Paroki Algons yang hendak hadir di tengah suasana metropolis, ialah menjadi garam dan terang dunia. Konsep tersebut didaratkan dengan sebuah persiapan dan sosialisasi kepada umat, pula melalui para katekisnya. Semuanya demi menjalankan konsep pastoral yang berwawasan modern ala Lumen Gentium dan Gaudium et Spes. Panca tugas Gereja dijadikan pedoman umum reksa pastoral Paroki. Di antara Liturgia, Koinonia, Kerygma, Martyria dan Diakonia, justru Diakonia yang ditetapkan sebagai ujung tombak Paroki, sebagaimana diinspirasi oleh Gaudium et Spes. Namun tetap menjadikan Liturgia, Koinonia, Kerygma dan Martyria sebagai batang tombak yang fungsinya sangat penting sekaligus menjadi penguat dan pengarah ujung tombak. Sebuah konsep kehadiran Gereja yang hendak meluber, tumpah, memberi, dengan tekanan Diakonia.

Di bidang Martyria dan Diakonia, tampaklah aneka karya karitatif. Kegiatan sosial kemasyarakatan dilakukan di sekitar wilayah Paroki maupun ke berbagai penjuru paroki Keuskupan Surabaya. Karya itu bahkan melintas batas Keuskupan, ketika menghimpun dana dan sumbungan bagi korban tsunami di Aceh. Betapa kehadiran Paroki Algons lewat karya karitatif tersebut menjadi saksi transformasi - pertobatan – metanoia umat. Kehadiran Gereja dengan demikian hadir bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

Bukan hanya konsep saja yang modern. Ciri modern yang menjadi watak sebagian besar umat Paroki Algons tentu mempengaruhi cara hidup menggereja mereka. Hal itu antara lain tampak dalam ciri demokratis, pengguatan umat, gerak lingkungan yang dinamis, pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, kepemimpinan yang kolegial-partisipatif, pudarnya corak kolot hirarkis, institusional dan organisatois. Meskipun tetap sadar selalu berdasar pada visi dan misi dua elemen, ialah hirarki dan awam.

Paroki Algons memang berada di wilayah suatu pusat pertumbuhan fisik. Tepatnya di wilayah sebuah kota baru yang menjadi cikal bakal pertumbuhan kota Surabaya. Warga paroki Algons dengan demikian adalah mereka yang mengenyam keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan fisik, gedung gereja, ruang pertemuan dan sekolah untuk Paroki Algonz sendiri tentu sudah mencukupi sekaligus bukti potensi ekonomi tersebut. Keberhasilan ekonomi itu diakui sekaligus diwaspadai supaya dimanfaatkan demi penguatan iman umat.

Penguatan iman umat tampak pula dari tiga bidang Gereja lainnya. Beberapa hal bisa dilihat dari gerakan umat dalam bidang Liturgia, ialah umat Paroki Algonz bersama para imamnya, mengikuti gerak tahunan liturgi secara konsisten. Misalnya pelaksanaan doa rosario di bulan Maria dan bulan Rosario, pelatihan lektor, pembinaan putra altar, dirigen, koor, pembelajaran Ekaristi Kaum Muda. Dalam bidang Koinonia, dapat kita saksikan keguyuban lingkungan dalam perayaan Ekaristi bersama atau perayaan Natal atau Paskah bersama atau kemasan baru berupa fellowship night. Di bidang Kerygma tak terhitung pembinaan lewat retret, ceramah rohani, seminar rohani, bible study, kuis, bahkan seminar mengenai kepemimpinan, manajemen, dan tema aktual seperti The Da Vinci Code dan Maria Magdalena.

Memang, idealnya setiap Paroki sungguh merupakan suatu persekutuan umat beriman. Jadi pertama-tama, setiap warga Paroki harus sungguh beriman, memiliki iman yang hidup, yang diamalkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (bdk. Yak 2: 14-18). Kedua, umat Paroki ideal haruslah guyub bersekutu (bdk. Kis 2:41-47). Paroki dibentuk dengan tujuan tertentu yang disebut sebagai visi dan misi (cita-cita) Paroki. Dalam cita-cita ini biasanya terungkap cita-cita umum seluruh Gereja, yakni mengikuti dan melanjutkan karya Yesus menyelamatkan dan menyejahterakan umat manusia. Di samping visi dan misi umum, biasanya paroki juga memiliki visi dan misi khusus yang terkait dengan masyarakat setempat.

Paroki Pengharapan

Umat Paroki Algons dapat dikategorikan umat yang secara sosiologis berada dalam posisi sebagai kelas menegah-atas. Kelas menengah-atas merupakan golongan yang berciri berorientasi ke depan. Mereka banyak memperhatikan masa depan anak cucunya dan juga masa depan masyarakat pada umumnya. Mereka berkeyakinan diri, mandiri, menganggap penting kreativitas, ekspresi diri dan identitas. Demi masa depan yang lebih baik dan cita-cita yang lebih besar mereka mau banyak berkorban dan berdisiplin. Ada perhatian cukup baik terhadap nasib masa depan kelompok dan masyarakatnya. Meskipun tetap ada sikap rendah terhadap paguyuban, malah cenderung tak peduli bila dituntut pengorbanan tertentu.

Perkembangan Paroki Algons tentu dipengaruhi oleh komposisi kelas ini. Karena mayoritas paroki kelas menengah-atas, ada kecenderungan besar gerak perkembangan paroki akan lebih cepat. Akibat kemajuan ekonomi, pendidikan dan teknologi memang ada proses mobilisasi kelas itu secara vertikal. Proses mobilisasi itu terasa, misalnya dengan peningkatan kepekaan dan keprihatinan terhadap kejahatan, ketidakadilan, hak-hak asasi, kemiskinan, keterbelakanan dan sebagainya. Konsekuensi dari peningkatan itu, di sisi lain, makin tinggi pula standar hidup dan kebutuhan, yang berarti justru makin tinggi potensi ketidakpuasan. Yang khas pada mentalitas menengah-atas adalah bahwa keprihatinan sosial mereka cukup besar hingga cenderung merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kepincangan-kepincangan masyarakat. Di pihak lain ketidakmampuan pribadi untuk memperbaikinya memudahkan mereka untuk menjadi apatis ataupun sinis terhadap masyarakat, bahkan Gereja.

Syukurlah perintis Paroki Algons meletaknan kesadaran hidup menggerejanya dengan semangat menjadi Garam dan Terang Dunia dengan titik berat dalam bidang Diakonia. Tentu yang dimaksud ialah Gereja Paroki Algons hadir bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Kiranya sabda Yesus, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Yoh 20: 28) sungguh menjadi spiritualitas segenap umat Paroki Algons.

Patut dicatat, semangat dan konsistensi konsep Martyria dan Diakonia, dengan menjadi Garam dan Terang dunia tersebut harus bersumber dari sebuah iman yang benar yang selalu disirami dengan menjalankan Liturgia, Koinonia dan Kerygma secara mendalam dan konsisten pula. Ada kecenderungan Paroki metropolis mengkuti trend desakralisasi Liturgia, Koinonia dan Kerygma. Karena sekularisasi, menyeret orang cenderung membebaskan diri dari kontrol religius. Pendek kata, matra religius transenden ditolak.

Padahal, perlu diingat, metropolis melahirkan pula anonimitas, mobilitas, pragmatisme dan profanitas. Anonimitas menghilangkan kedirian dan kemanusiaan. Mobilitas menjadikan umat urban neurotik, selalu terburu-buru dikejar sesuatu yang tak pernah jelas, berpindah-pindah kerja dan rumah demi kesia-siaan, berbicara tentang segala sesuatu yang tidak mereka mengerti, selalu mencebur dalam keramaian sambil tetap kesepian dan sebagainya. Pragmatisme melahirkan sikap membuang hal-hal yang tidak relevan. Hal-hal yang tidak dimengerti dimasukkan di dalam kurung dan tak perlu dilihat, pertanyaan terdalam dan religius dianggap membuang-buang waktu saja. Profanisme melahirkan ketiadaan Allah.

Dalam keadaan demikian, Paroki Algons perlu hadir memberi jawaban atas kegelisahan umat metropolis. Penguatan kegiatan Liturgia, Koinonia dan Kerygma, menjadikan umat metropolis tetap memiliki pengharapan. Karena imannya akan juga bertumbuh kembang, seiring dengan perkembangan ekonomi mereka. Dengan demikian penguatan kegiatan eksklusif – dogmatis semacam ini sekurang-kurangnya menawarkan pemaknaan-pemaknaan yang lebih optimistik terhadap pengalaman empiris kehidupan metropolis yang dapat menyeret pada suasana pesimistis. Pemaknaan yang lebih optimistik ini hanya mampu dipenuhi dengan kesadaran religius

Kehadiran Paroki yang mewartakan pengharapan akan menguatkan iman, sekaligus melepaskan umat dari belenggu modernitas yang serba tak pasti, bahkan hampa. Dengan begitu horison sekuler serta kegelisahan tanpa makna manusia modern dibuka kembali dari ketidakpastiannya. Karena, masa depan manusia tidak memiliki dasar selain dalam iman. Sekurang-kurangnya kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya akan selalu meyakini yang lebih baik dan membahagiakan. Hanya umat yang berpusat pada kesadaran transendental, niscaya akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan itu. Hanya umat yang mendapatkan kebahagiaan dalam Yesus, akan konsisten mengikuti dan bahkan melanjutkan karya Yesus menyelamatkan dan menyejahterakan, pertama-tama untuk dirinya sendiri, lalu meluber untuk sebanyak mungkin umat manusia. Jawaban-jawaban yang lebih baik dan membahagiakan bagi umat metropolis inilah yang harus disediakan oleh Paroki Algons, Paroki metropolis. (A. Luluk Widyawan, tinggal di Ponorogo)