Pages

Friday, January 19, 2007

Politik Demi Kesejahteraan Rakyat


Komentar Mayjen TNI (Purn) Basofi Sudirman tentang politik di Indonesia, dalam diskusi di Kantor Redaksi Surya, patut dicermati. Menurutnya, mulai Orla, Orba, sampai sekarang, politik yang dibicarakan hanya politik membangun kekuasaan. Hal ini sudah menjadi watak, bukan watuk (batuk). Watuk bisa diobati, kalau watak tidak. Ia menambahkan, meskipun pemilu sudah selesai, masih saja ingin membangun kekuatan kekuasaan (Surya, 17/1/2007).

Sebagai contoh, ketika rakyat menjerit menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, para wakil rakyat justru sibuk mengusulkan kenaikan gaji dan menuntut fasilitas yang lebih baik bagi diri sendiri. Ketika keprihatinan bangsa ini terarah pada masalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, orang belajar dari media massa, justru KKN itu sekarang semakin parah dilakukan oleh orang-orang yang dulu berteriak berantas KKN. Ketika bangsa ini sedang prihatin mempertanyakan masa depan anak-anak mereka, para politikus sibuk berebut lahan basah dan menjajaki kemungkinan aliansi atau membentuk kaukus untuk menyiapkan masa depan kemenangan partai masing-masing. Ketika para pencuri ayam, dan para penjahat kelas teri tewas di tangan massa, para koruptor kelas kakap, konglomerat pengemplang uang negara, dan provokator pengadu domba rakyat dibiarkan hidup tenang menikmati hasil kejahatan mereka. Kriminalitas rakyat kecil digunakan untuk menutupi ilegalisme penguasa.

Maka, komentar mantan Gubernur Jatim tersebut bisa diartikan sebagai ungkapan kekecewaan sekaligus sebuah peringatan untuk menafsir ulang kembali makna politik. Ungkapan kekecewaan tersebut dilatarbelakangi sebuah pemahaman, bahwa politik sebenarnya bukan pertama-tama untuk membangun kekuasaan, melainkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Makna politik yang asali harus dikembalikan, yaitu politik seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Realitas Politik

Selama ini politik menjadi isu yang marak diperbincangkan. Masalah politik lebih mendominasi dan seakan-akan masalah politik sajalah persoalan terpenting dalam hidup berbangsa. Perhatian sebagian besar masyarakat disedot untuk masalah-masalah politik. Bahkan ada penilaian negatif, politik sudah menjadi salah satu mata pencaharian dan sumber nafkah. Makna politik tidak lagi dipahami sebagai persoalan distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya menciptakan kesejahteraan rakyat.

Rakyat bisa menilai bahwa para elite politik kita sebenarnya tidak memahami substansi politik. Politik dipahami hanya sebagai ajang meraih tangga kekuasaan dan jabatan belaka. Pendapat yang muncul di kalangan masyarakat pun negative. Politik itu kotor, politik itu penuh kekerasan, politik itu ajang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lain disebabkan oleh oknum-oknum pelaku politik yang menyalahgunakan dunia politik demi kepentingan sendiri.

Realitas politik justru menjadi realitas yang tidak sehat di masyarakat. Sering praktek yang ada menunjukkan bahwa partai-partai politik yang ada memiliki tingkat keserakahan dan korupsi yang tidak bisa lagi ditoleransi, pula pelaku politik yang memiliki track record yang buruk.

Sebagai contoh, negara lebih boros membiayai kepentingan-kepentingan lembaga politik, untuk gaji anggota DPR dan iuran partai politik, tetapi sangat pelit untuk menaikkan gaji guru. Kalau untuk membayar anggota DPR, negara seperti berlimpah uang, tetapi untuk gaji guru selalu mengeluh kekurangan uang. Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak terwujud. Tampak jelas bahwa, politik anggaran dan politik kesejahteraan tidak saling menunjang. Kesejahteraan selalu dikalahkan politik anggaran. Sementara itu, korupsi dan kebocoran APBN terjadi di mana-mana.

Ada berbagai produk hukum yang tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, PP No. 37/2006, tentang tunjangan komunikasi dan dana operasional kepada legislatif yang dinilai banyak kalangan sangat memberatkan anggaran daerah. Selain itu, penolakan peraturan pemerintah tersebut akan mengerogoti belanja untuk rakyat, membuka peluang terjadinya korupsi dan perampasan uang rakyat secara legal oleh para anggota DPRD, merusak distribusi belanja daerah yang diamanatkan dalam UU No. 32/2004, yang hendak meningkatkan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta pengembangan sistem jaminan sosial. Jelaslah bahwa pemberian tunjangan tersebut tidak pantas dengan kondisi masyarakat sekarang.

Di masa lalu, reaksi keras kaum buruh berkaitan dengan revisi UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan, mengingatkan wakil rakyat untuk memikirkan kesejahteraan buruh. Protes kalangan pendidikan muncul berkaitan dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 yang mengatur masalah penghasilan, karena para guru dan dosen pun belum mendapat penghasilan sebagaimana mestinya. Saat ini nasib guru masih jauh di bawah standar, terutama guru bantu dan guru tidak tetap.

Buruknya realitas politik, menunjukkan dari kuatnya posisi birokrasi dalam sistem dan proses politik. Hal ini terjadi akibat tumbuhnya persepsi bahwa pembangunan adalah prakarsa pemerintah (state sponsored). Salah satu wujud dari persepsi itu dalam pembangunan politik adalah munculnya pembinaan hubungan patron-client antara negara dengan masyarakat. Budaya patron-client ini juga tumbuh di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari sponsor dari atas, daripada menggali dukungan dari basisnya. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan.

Politik Kesejahteraan

Dari sudut pandang filsafat politik, berdasarkan realitas politik yang sedemikian memprihatinkan itu maka perlu pengambilan jarak dan kritis terhadap realitas politik. Artinya perlu sebuah perspektif tertentu dan pengujian nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral serta perlu suatu ideal yang melibatkan suatu konsepsi tentang manusia dan kesejahteraannya.

Politik yang maknanya dipersempit hanya untuk kekuasaan terjadi ketika ruang publik direduksi menjadi pasar. Ketika tekanan adalah hasil, maka ekonomi menjadi perhatian utama. Penyelenggaraan negara direduksi menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok tertentu atau individu-individu tertentu. Akibatnya, politik menjadi arena untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi serta untuk mendapatkan pengakuan. Politik bukan lagi seperti dikatakan Hannah Arendt sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama serta keadilan.

Penyempitan makna itu terjadi juga dalam lingkup etika politik. Bila pluralitas ditolak dan diskriminasi dipraktekkan maka bertentangan dengan etika politik. Paul Ricoeur mendefinisikan etika politik sebagai hidup baik bersama dan demi orang lain untuk semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Pendekatan pragmatisme yang menjadi ideologi teknokrasi cenderung mengabaikan proses partisipasi dan prosedur parlementer yang menjadi tulang punggung demokrasi.

Tuntutan pertama politik adalah hidup baik bersama dan untuk orang lain. Pada tingkat ini, politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara demi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan kekuasaanya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.

Eric Weil mengatakan, politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang negara Tentu saja politik bukan seperti yang dipahami politikus, tetapi bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik. Maka politik beranjak dari moral. Cara pandang moral ini harus mengakar dalam cara pandang politikus yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam relitas politik.

Dengan demikian, semua gerak yang berangkat dari moral harus membawa kepada pernyataan berikut ini: Negara adalah organisasi suatu komunitas yang menyejarah, dengan diorganisir dalam bentuk negara, komunitas itu mampu mengambil keputusan-keputusannya. Moral sebagai titik tolak politik menjadi penting karena politik akan mengetuk nurani. Orang-orang yang mampu memasuki dimensi moral dalam kehidupannya akan menyesuaikan dengan etika politik dalam praktik-praktik politik.

Penutup

Saat ini, banyak orang pesimis dengan realitas politik yang ada. Teriakan yang muncul seakan-akan: politik yang baik itu omong kosong. Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, politik demi kesejahteraan seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Terbukti bahwa realitas politik yang terjadi di negara ini sangat memprihatinkan. Karena itu perbaikan politik menyangkut tiga tuntutan, ialah upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup kebebasan dan membangun membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. hidup baik bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebasan, berupa democratic liberties seperti: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Salah satu hal yang sangat penting ialah politik, politikus dan produk politik harus ditujukan demi kesejahteraan bersama, utamanya demi mereka yang paling tidak beruntung; Politik perlu dimengerti sebagai kontrol penggunaan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, mobilisasi sumber-sumber daya dan pewujudan berbagai tujuan kolektif. Politik dengan segala distribusi jabatan, pengambilan keputusan, undang-undang, dan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan perlu diarahkan demi kesejahteraan bersama. (Surya, 19 Januari 2007)