Pages

Sunday, June 10, 2007

Kelimpahan Itu Pelayanan


Ego veni ut vitam habeant et abundantius habeant, inilah motto Uskup Surabaya yang diambil dari Injil Yohanes 10:10. Terjemahannya, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”.

Kelimpahan sebuah ide yang diagungkan oleh penganut teologi kelimpahan atau teologi sukses. Mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak menghendaki seseorang menjadi miskin dan menganggap orang miskin tidak diberkati Tuhan. Kelimpahan ini pula yang ditentang oleh penganut teologi kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengajak manusia mencari dulu Kerajaan Allah dan menolak materialisme demi mengagungkan asketisme. Kedua teologi itu justru memperlebar jarak antara kaum kaya dan miskin. Padahal Tuhan menghendaki, “orang kaya dan orang miskin bertemu” (bdk., Amsal 22:2).

Teologi pelayanan menawarkan jalan tengah. Teologi pelayanan mempertemukan kaum kaya dan miskin dalam kesatuan, bukan pertentangan. Kelimpahan bukan kutukan, kemiskinan bukan karena tidak diberkati Tuhan. Tuhan memberi manusia masing-masing seturut kesanggupannya. Dalam situasi penuh perbedaan, teologi pelayanan menawarkan keindahan.

Pandangan Kitab Suci Tentang Kelimpahan

Budaya materialistik masyarakat jaman ini, telah mempengaruhi cara pandang umat Kristiani tentang harta benda. Padahal harta benda seharusnya menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan. Acara televisi yang sangat populer seperti Deal Or No Deal dan Super Deal 3 Miliar ikut mempengaruhi umat dalam menghidupi nilai-nilai materialistik.

Akibatnya, di dalam komunitas Kristiani, orang beriman pun terpengaruh dengan pandangan-pandangan tentang kelimpahan yang bukan diinspirasi dari Kitab Suci. Salah satu bentuk ekstremnya ialah kotbah-kotbah yang amat menekankan kekayaan, sukses dan kelimpahan. Sebaliknya di ekstrem lain, umat Kristiani justru secara radikal menolak gagasan tentang kelimpahan. Bagi mereka, kekayaan justru dianggap sebagai kontradiksi.

Umat perlu memahami apa kata Kitab Suci berkaitan dengan kelimpahan ? Sekilas terlihat bahwa Kitab Suci memandang negatif kekayaan dan kelimpahan. Tidak sedikit orang Kristiani yang menyimpulkan bahwa kekayaan dibenci dalam Kitab Suci. Hal ini disimpulkan dari kotbah Yesus dan para nabi Perjanjian Lama yang melawan materialisme. Seruan Kitab Suci seakan mengajak orang untuk tidak mengejar dan memiliki kekayaan. Jika benar demikian, umat Kristiani yang kebanyakan hidupnya kaya pasti gelisah, karena memiliki kekayaan dianggap bertentangan dengan ajaran Kitab Suci.

Padahal jika disimak dengan lebih cermat dan komprehensif, ayat-ayat Kitab Suci tentang kekayaan dan kelimpahan maknanya sangat kompleks. Intinya, Kitab Suci mengajarkan tiga prinsip tentang kekayaan.

Pertama, kekayaan tidak dicela. Sebagai contoh, Kitab Kejadian 13:2 mengisahkan Abraham memiliki kekayaan. Kitab Ayub 42:10 mengisahkan Tuhan memberkati Ayub dengan kelimpahan materi. Kitab Ulangan dan Mazmur menuliskan tentang kekayaan sebagai bukti bahwa Tuhan memberkati umatNya (bdk., Ulangan 8:28, Amsal 22:2, Pengkotbah 5:19). Tetapi, meskipun kekayaan dianggap sebagai bukti bahwa Tuhan memberkati, umat beriman tidak begitu saja percaya. Kitab Mazmur, Yeremia dan 1 Timotius menulis dan mengajak umat beriman supaya tidak percaya kepada kekayaan, tetapi percaya kepada Tuhan saja (bdk., Amsal 11:4, 11:28, Yeremia 9:23, 1 Timotius 6:17, Yakobus 1:11, 5:2).

Kedua, celaan kepada orang kaya di dalam Kitab Suci lebih diarahkan kepada kualitas kekayaan yang dimiliki, bukan materi kekayaan itu sendiri. Nabi Amos menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan terlebih kepada orang kaya yang memiliki kekayaan melalui penindasan dan pelecehan (bdk., Amos 4:11, 5:11). Nabi Mikha mengkritik adanya ukuran yang tidak adil dan kekayaan yang sangat menyilaukan orang miskin (bdk., Mikha 6:1). Nabi Amos dan Mikha tidak mengkritik kekayaan itu sendiri, melainkan mengecam ketidakdilan yang terjadi, berkaitan dengan cara memperoleh kekayaan itu.

Ketiga, umat Kristinani sebaiknya memperhatikan efek dari kekayaan yang dimiliki. Kitab Nabi Amsal 30:8-9 dan Hosea 13:6 mengisahkan bahwa kekayaan seringkali mencobai manusia dan mengakibatkan manusia lupa kepada Allah. Orang kaya lebih mudah untuk meninggalkan Allah, justru karena kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Kitab Pengkotbah bab 2 dan 5 menyimpulkan bahwa orang kaya tidak sungguh-sungguh menikmati kekayaannya. Sekalipun memiliki limpah kekayaan, orang kaya sendiri berefleksi bahwa kenyataannya, mereka tidak dapat menikmati kekayaan yang dimiliki. Kitab Nabi Amsal 28:11 dan Yeremia 9:23 menuliskan bahwa kekayaan hanya membuat orang kaya ingin dipuji dan berlaku dengan sewenang-wenang.

Jadi, Kitab Suci sebenarnya tidak mencela kaum kaya. Tetapi mengingatkan kepada siapapun, jika Allah memberkati dengan kekayaan, seseorang tetap memiliki prioritas dalam hidup dan menjaga dirinya supaya tidak jatuh karena godaan kekayaan.

Pandangan Kitab Suci Tentang Kemiskinan

Kitab Suci memberi gambaran tentang penyebab kemiskinan dalam beberapa kategori. Penyebab pertama kemiskinan ialah penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, terbukti bahwa banyak orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Pemerintah dikisahkan sering mempraktekkan hukum yang tidak adil, menurunkan nilai mata uang dan mengubah takaran yang merupakan eksploitasi terhadap kehidupan manusia.

Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengajarkan, Tuhan membiarkan setan untuk mencobai Ayub. Dengan kata lain, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama ditemukan kesalahan manusia dan Tuhan yang menghakimi orang yang tidak setia (bdk., Mazmur 109:16, Yesaya 47:9, Ratapan 5:3). Ketika Israel melanggar hukum Tuhan, Tuhan membiarkan bangsa lain menawan mereka, sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka.

Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputuasaan dan kerakusan. Amsal menuliskan seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21). Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kitab Amsal 10:15 menuliskan, “kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya, tetapi yang menjadi kebinasaan bagi orang melarat ialah kemiskinan”. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan seterusnya dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaanya dan meraih sukses di masa mendatang.

Tiga Perspektif Teologi

Ada tiga perspektif teologi yang mempengaruhi kehidupan manusia jaman ini. Setiap perspektif memiliki pendapat masing-masing yang unik, didukung ayat-ayat Kitab Suci. Tiga perspektif itu adalah: teologi kemiskinan, teologi kelimpahan dan teologi pelayanan. Tidak jarang pertentangan justru muncul dalam memahami kehendak Tuhan dalam Kitab Suci, karena aneka ragam pemahaman mengklaim sebagai yang paling benar. Padahal, untuk dapat menafsirkan kehendak Tuhan, seseorang harus melihat Kitab Suci secara komprehensif.

Teologi Kemiskinan. Ajaran teologi kemiskinan membuang jauh-jauh segala macam ide duniawi dan segala obsesi terhadap uang. Ajaran ini secara ekstrem menyebutkan bahwa percaya kepada harta benda duniawi dan memilikinya dianggap sebagai kutukan. Teologi kemiskinan menolak materialisme dalam berbagai cara dan bentuk. Hal ini tentu menimbulkan bias terhadap terhadap keberadaan kaum miskin. Anehnya, teologi kemiskinan tidak memberikan jawaban terhadap masalah ini. Orang yang ragu-ragu atau menolak kekayaan sepakat dengan teologi kemiskinan.

Teologi Kelimpahan. Penganut teologi kelimpahan meyakini bahwa seseorang tidak akan mendapatkan hasil yang baik jika tidak meminta. Penganut teologi ini meyakini betapa berartinya persembahan. Kelimpahan berkat materi akan diperoleh jika seseorang mengikuti prinsip persepuluhan. Kelimpahan materi yang berlipat ganda dan kesuksesan akan didapat karena persepuluhan yang diberikannya. Penganut teologi kelimpahan berpendapat bahwa orang yang tidak kaya tidak mendapatkan, karena tidak memiliki iman. Jadi, tekanan teologi kelimpahan adalah besarnya materi, bukan hubungan dengan Tuhan. Seseorang yang tidak kaya atau tidak menjalankan uangnya dengan baik, dianggap tidak menerima berkat Tuhan. Karena bagi mereka, Tuhan tidak menghendaki seseorang menjadi miskin. Meskipun kebanyakan pengikut teologi kelimpahan justru bergaya hidup konsumtif.

Teologi Pelayanan. Penganut teologi pelayanan meyakini bahwa Tuhan memiliki dan mengendalikan segalanya. Harta benda materi merupakan kehormatan, bukan sekedar hak. Teologi pelayanan justru tidak manganggap hak milik sebagai yang utama. Penganut teologi pelayanan mengutip ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa harta milik merupakan berkat kepada masing-masing orang seturut ukurannya, kesanggupannya, seturut kodrat seseorang, seturut kemampuan Tuhan memberi serta konsekuensi iman dan ketaatan seseorang mengikuti prinsip-prinsip Kitab Suci. Penganut teologi pelayanan yakin bahwa kekayaan dan kelimpahan merupakan hasil upaya penuh iman mengembangkan talenta yang dimiliki, sesuai berkat Tuhan. Prioritasnya bukan mengumpulkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan, tetapi bijaksana dalam mengatur kekayaan. Tujuan penganut teologi pelayanan seperti seseorang yang dikisahkan dalam Mazmur, “Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya. Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; kebajikannya tetap untuk selama-lamanya, tanduknya meninggi dalam kemuliaan” (bdk., Mazmur 112:5, 9).

Di antara ketiga prespektif tersebut, mana yang benar ? Justru ketiga deskripsi itu menampilkan kerumitan. Paham teologi sangat tergantung dari latar belakang pendidikan, pengaruh yang mempengaruhi seseorang dan bagaimana seseorang menafsirkan Kitab Suci. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ketiga perspektif tersebut benar semua. Ada satu pilihan yang menjadi jalan tengah seturut kehendak Tuhan, ialah prespektif pelayanan. Terbukti dengan nyata, bahwa perspektif ekstrem teologi kemiskinan dan kelimpahan justru penuh dengan kekurangan.

Teologi kemiskinan menilai bahwa seorang yang memiliki kelimpahan harta dan uang, pasti telah melakukan ketidakjujuran. Teologi kelimpahan menganggap bahwa orang miskin, pasti tidak diberkati Tuhan, karena tidak mau berusaha. Penganut kedua teologi itu tidak pernah memikirkan seruan Kitab Suci, “orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Karena, Tuhan menghendaki perdamaian seluruh lapisan masyarakat.

Teologi Pelayanan

Teologi pelayanan mendamaikan teologi kemiskinan dan teologi kelimpahan. Teologi pelayanan merangkum unsur-unsur yang baik dari dua kubu teologi. Karena gagasan pelayanan menawarkan keseimbangan Sabda Tuhan berkaitan dengan uang dan kekayaan. Apalagi, istilah teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan telah membentuk sudut pandang yang justru menunjukkan pertentangan di antara keduanya. Teologi pelayanan mencantumkan gagasan indah tentang berkat Tuhan, sekaligus memberikan teguran jika tidak peduli terhadap kaum miskin.

Ada banyak gagasan pelayanan dalam Kitab Suci, semuanya berupa seruan tentang pelayanan dan melayani. Padahal menjadi pelayan, tidak sekedar memiliki sikap hidup atau cara pandang selaku seorang abdi. Pelayan berarti memiliki sikap iman yang peduli terhadap kepentingan orang lain, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. Kelemahan dalam teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan ialah tidak adanya analisa pemecahan. Ibarat seseorang menjadi tuan rumah untuk sebuah perjamuan, maka persiapan dan pembersihan sama pentingnya dengan acara jamuan itu sendiri. Maka, dua hal harus diperhatikan, pekerjaan dan hasilnya. Teologi kemiskinan secara ektrem menekankan pekerjaan tanpa pamrih, sedangkan teologi kelimpahan secara ekstrem menekankan hasil materi secara berlebihan. Teologi pelayanan justru menekankan kehidupan yang seimbang, mensyukuri kelimpahan berkat dari Tuhan sekaligus melayani sesama dengan penuh kasih.

Terlihat adanya kekurangan dalam pandangan kedua teologi tersebut. Padahal jika disimak dengan teliti, terlihat jelas perbedaan yang masuk akal di antara kedua teologi dibandingkan dengan teologi pelayanan. Tidak sedikit umat Kristiani yang gelisah, tidak puas dan tidak bahagia karena tidak memahami makna harta benda duniawi. Kebanyakan umat tidak bisa menggabungkan praktek keuangannya dengan hidup beriman. Bedasarkan tabel di bawah ini, berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci yang menjadi acuan, seseorang bisa memutuskan bahwa teologi pelayanan menjadi jalan tengah.

Sebuah penelitian Kitab Suci yang mendalam menunjukkan orang beriman hidup dalam ragam situasi ekonomi. Sebagai contoh, Daniel bekerja sebagai seorang sekertaris kelompok administrasi kelompok agamanya dan hidup dalam gaya hidup kelas menengah atas. Yehezkiel tinggal di luar kota yang dapat dianggap sebagai kelas menengah. Dan Yeremia tentu hidup dalam gaya hidup kelas bawah. Setiap orang memuji Tuhan dan mengikuti Tuhan seturut kehidupannya masing-masing. Mereka hidup dalam gaya hidup kelas tertentu yang berbeda-beda. Umat Kristiani harus menolak sebuah asumsi sempit yang menomersatukan kelas tertentu. Tidak ada suatu gaya hidup kelas tertentu yang ideal untuk orang Kristiani. Kelas tertentu tidak otomatis dianggap yang terbaik. Sebaliknya, seseorang harus mencari Tuhan dan mengikuti kehendakNya sesuai panggilan hidupnya masing-masing.

Arus Sentrifugal

Seorang rahib perempuan, Santa Theresia Avilla memberikan pencerahan mengatasi perbedaan diametral antara teologi kelimpahan dan teologi kemiskinan. Pertapa Karmelit itu semacam memberi jalan tengah di antara dua esktrem teologi tersebut. Menurut Theresia Avilla dalam diri setiap manusia terdapat dua jenis arus pokok, yaitu dorongan arus sentrifugal yang terus hendak mengalir keluar. Lalu ada juga arus sentripetal yaitu arus yang terus hendak mengalir masuk. Pemuda kaya dalam Injil adalah tipe manusia dengan arus sentripetal. Ia ingin mendapatkan segala sesuatu bagi dirinya, baik harta, nama baik, bahkan keselamatan kekal. Yesus mengatakan bahwa si pemuda harus membalik arus tersebut secara revolusioner, menjadi arus sentrifugal yang mengalir keluar. Maka ia dianjurkan untuk menjual segala hartanya dan membagi-bagikannya dengan orang miskin. Setelah berhasil mengubah arus pokok dirinya dari sentripetal menjadi sentrifugal barulah pemuda siap mengikuti Yesus menjadi muridNya sehingga memperoleh kehidupan kekal.

Contoh manusia yang memiliki arus sentrifugal, tidak lain ialah Yesus sendiri. Yesus mengorbankan segalanya untuk umat manusia. Yesus telah mengorbankan statusnya sebagai Allah dengan menjadi manusia. Ia mengorbankan masa muda dan seluruh kehidupannya dengan cara hidup sebagai orang miskin. Ia mengorbankan nama baikNya dengan cara mati terhina di salib. Ia bahkan mengorbankan jubah dan bajunya sewaktu disalibkan. Ia mengorbankan seluruh Tubuh dan DarahNya yang termulia, bahkan nyawaNya untuk menebus dosa umat manusia.

Kekeliruan lainnya berasal dari salah penafsiran tentang kelimpahan yang Allah berikan melalui kekayaan alam. Jika menyaksikan betapa banyaknya ikan di laut, maka ikan-ikan itu cukup untuk menghidupi seluruh umat manusia di dunia ini. Jika melihat padi di sawah, maka akan terlihat bagaimana satu biji padi dapat menghasilkan demikian banyak bulir-bulir padi baru. Jadi Allah adalah Allah yang memberi kelimpahan. Dalam diri Allah tidak ada arus masuk, semuanya merupakan arus keluar. Kasih itu memberi. Kodrat kasih adalah kodrat memberi secara total.

Sebagian orang melihat Tuhan sebagai Tuhan Yang Mahakuasa sehingga memunculkan teologi kelimpahan. Sebutan yang sempat popular ialah teologi sukses. Padahal Allah tidak menuntut atau memakai apapun bagi diriNya sendiri. Allah mengajar manusia untuk memberi dan bukan untuk meminta atau menuntut. Dengan demikian, teologi kelimpahan harus diluruskan pemahamannya sebagai teologi yang mengajarkan memberi secara murah hati, bukan teologi yang mengejar kelimpahan harta benda duniawi demi kepentingan diri sendiri.

Kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia, sikap glamour yang menolak praktek hidup sederhana dan rela berkorban, membuat bangsa ini menjadi konsumtif sebelum menjadi produktif. Kondisi ini diperparah dengan jebakan formalisasi ajaran (ortodoksi), sehingga agama menjadi mandul dalam praksis sosial (ortopraksis). Padahal, formalitas ritual dan ajaran, betapapun baiknya selalu bersifat parsial. Kepenuhan hidup justru tercapai lewat penghayatan iman yang terfokus pada Allah yang rela mengorbankan diri. Kelimpahan dan kepenuhan hidup niscaya jika umat beriman berpartisipasi dalam pengorbanan. (dimuat dalam buku, Memahami Motto Uskup Surabaya, Ut Vitam Abundantius Habeant, Seri Unio I / 2007)