Pages

Thursday, May 03, 2007

van Lith, van Java


SAV-Puskat, Yogyakarta mengeluarkan film baru berjudul Bethlehem van Java. Film berdurasi 63 menit yang disutradarai Rm. FX. Murtihadiwijayanto, SJ ini mengisahkan sosok Rm. Josephus van Lith, SJ

van Lith, nama yang dikenal sebagai nama sekolah bagus di Jalan Kartini no.1, Muntilan, Jawa Tengah. Misionaris Jesuit asal Belanda ini dikenal memiliki perhatian terhadap pendidikan, merintis karya Gereja di tanah Jawa dan dikenal berkaitan dengan Gua Maria Sendangsono tempat di mana beliau pernah membaptis banyak orang. Makamnya di kompleks kerkop Muntilan pun selalu dikunjungi para peziarah.

Bethlehem Van Java, memang hendak mengisahkan ketokohan Romo Fransiskus Gregorius Yosephus van Lith, SJ. Seorang imam kelahiran Belanda, anak seorang juru sita pegadaian yang ditahbiskan tanggal 8 September 1894. Imam yang bermodalkan ketaatan berangkat misi ke Hindia Belanda, tiba di Semarang tahun 1896. Tokoh yang semula tidak berminat untuk bermisi, yang kemudian memulai misinya dengan mempelajari konteks setempat, yang ketika manjalankan misi harus konflik dengan katekis, pimpinan, bahkan dengan teman seserikat dan semisinya. Itu semua karena pengenalan dan praktek pastoralnya yang begitu mendarat. Ia mengetahui uang misi diselewengkan, menemui umat yang sudah dibaptis namun imannya tidak berakar serta mengalami konflik dengan temannya karena perbedaan paradigma bermisi.

Romo van Lith berbeda dengan kawannya Romo Hoevenaars, SJ. Ia menterjemakan doa Bapa Kami dengan citarasa Jawa, daripada persis dalam Kitab Suci. Konflik mereka, tertulis dalam sebuah buku yang merupakan perdebatan visi masing-masing. Romo van Lith yang idealisme misinya bukan sekedar menambah jumlah baptisan, sebagaimana dilakukan kawannya di Mendut, justru dianggap gagal. Misi di Muntilah bahkan akan ditutup. Namun, rencana Tuhan sungguh indah ketika Sarikromo dan teman-temannya dari Kalibawang memohon van Lith mengajarkan iman Katolik. Sampai suatu saat van Lith membaptis 171 orang di Sendang Sono yang kemudian dikenal sebagai tempat awal misi.

Misi Muntilan tidak berakhir. Justru van Lith kian bersemangat melayani orang Jawa. Ia mendidik, menemani, menyelami, memahami, memberi dan menerima dengan belajar, bermain dan hadir bersama orang Jawa. Kedekatan Romo van Lith membuatnya dianggap bapak bagi mereka. Kedekatan itu pula yang membawanya pada posisi membela orang pribumi. Karena itu van Lith dianggap meresahkan pihak Belanda, terlebih ketika duduk dalam Volksraad (Dewan Rakyat) menyampaikan De Politiek Van Nederland Ten Opzichte Van Nederlandsch-Indie yang antara lain mengatakan: "...Kulit putih tidak dapat lagi bertahan di Asia. Sangatlah berbahaya bermain api, untuk berlagak congkak terhadap bangsa Hindia Belanda. Akuilah hak mereka..."

Kata-kata tajam kritikan van Lith tentu mengundang kontroversi, baik di kalangan misionaris maupun pemerintahan. Ketika kemudian van Lith mengalami sakit, itu dianggap sebagai kutukan atas sikap kritisnya. Atas alasan itu pula ia diijinkan pulang ke Belanda pada tahun 1921. Entah untuk berobat atau untuk meminggirkannya dari Tanah Jawa.

Namun cinta van Lith pada Tanah Jawa belum surut. Dari Belanda, di saat memulihkan sakitnya, van Lith menuliskan kritik keras atas pemerintahannya. Ia pun kembali ke Hindia Belanda tahun 1924 demi cintanya kepada orang pribumi. Romo van Lith perlahan namun pasti terus mengubah tanah Jawa yang kering dan gersang menghasilkan buah. Namun apalah, Romo van Lith hanyalah pekerja dan ia pun harus berpulang ketika Sang Empunya tuaian memanggilnya untuk selama-lamanya pada tahun 1926.

van Lith, ternyata bukan sekedar nama sebuah sekolah bagus. van Lith juga bukan sekedar tokoh misi maupun pendidikan. van Lith adalah perubahan. Ia mengubah dan diubah, mengubah Tanah Jawa yang kering dan gersang menjadi subur sekaligus diubah dari keenganan bermisi ke Hindia Belanda menjadi rindu-cinta Tanah Jawa. Semula misi begitu tak menarik, hanya demi ketaatan belaka, hingga akhirnya ibarat lilin yang harus meleleh tak berguna, van Lith harus menyala bagi Tuhan. Ia menyala bagi Tuhan dalam sosok misionaris dengan visi humanis-teosentris-antroposentris. van Lith tidak sekedar menampilkan wajah Gereja yang agung, megah dan hirarkis. van Lith justru menghadirkan wajah Gereja yang dekat dengan umat, hadir dan ada bersama, merasul-merakyat-merangkul utuh kegelisahan konteksnya, meskipun tanpa jubah, menonton wayang kulit, bermain catur, namun rela melepas jaket tebalnya untuk anak-anak yang ditemuinya tidur kedinginan.

Apa yang telah dirintis van Lith persis dengan gagasan Romo YB. Mangunwijaya, Pr tentang Gereja yang ajur-ajer. Tentang bagaimana upaya Gereja agar manusia Indonesia diperlakukan secara benar dan manusiawi, khususnya bagi mereka yang paling lemah dan terpinggirkan. Lebih jelasnya seperti yang dikatakan Mangunwijaya berikut ini: “Ajur-ajer sebagai garam dalam masyarakat adalah sesuatu yang baik dan yang dianjurkan dalam kalimat pertama Gaudium Et Spes. Ajur artinya sependeritaan dengan masyarakat. Ajer artinya tidak menjadi semacam getto yang merongkol terisolasi. Tetapi tetap punya identitas sendiri, sadar akan tugas khas Kristiani di tengah dunia".

Itulah pesan terdalam dari sosok Josephus van Lith, SJ yang tidak mungkin dijawab oleh patung beliau di kompleks SMU van Lith, Muntilan. Namun disajikan dalam film Bethlehem van Java ini. (A. Luluk Widyawan, Pr tinggal di Ponorogo)