Pages

Saturday, July 28, 2007

Mengasihi Ibu (Perempuan), Menolak Ketidakadilan



Masih segar dalam ingatan saya, ketika masih kecil. Setiap kali majalah anak-anak, Bobo, sampai di rumah, sepulang dari mengajar dan masih berseragam, ibu kami tarik-tarik untuk membacakan dan menceritakan seluruh isi majalah. Maklum kami bertiga belum bisa membaca. Kakak lelaki dan saya di samping kiri dan kanan ibu, sementara adik perempuan kami selalu mengalah, di belakang ibu. Kebiasaan itu kami lakukan sambil berbaring santai di tempat tidur.

Ibu pelan-pelan membacakan semua tulisan dari cover sampai halaman belakang, yang biasanya berupa cergam kisah Bobo. Satu persatu, ibu membuka lembar demi lembar majalah, menjelaskan, mengisahkan cerita sehingga kami mengerti, menjawab pertanyaan-pertanyaan, mengelus kepala kami dan mengatakan kata-kata peringatan kalau kami berdebat atau memprotesnya.

Ibu, yang kami repotkan. Bukan bapak. Entah mengapa yang kami minta untuk membacakan majalah itu ibu. Saya sendiri juga tidak mengerti. Yang pasti, ibu menjadi tempat pertama masa kanak-kanak kami mendapatkan perhatian. Ibu pula yang lebih memperhatikan kami ketika kami bangun pagi, meyiapkan air hangat untuk mandi, memasak dan menyiapkan sarapan, mengecek persiapan berangkat sekolah, menandatangani ketika nilai tes dapat lima, mengambil rapor, mengingatkan untuk makan, mengingatkan untuk mandi, mengingatkan untuk segera pulang, mengingatkan untuk tidur dan jangan nonton televise terlalu malam dan lain sebagainya.

Itu pun berlaku sampai sekarang ketika kami anak-anaknya sudah berusia 30 tahun. Ibu dengan setuhan khas kasih, perhatian dan empati selalu menyempatkan diri dengan berbagai cara memperhatikan kami. Entah menelpon untuk sekedar mengatakan dan melepas kangen, menngigatkan untuk menjaga kesehatan, intinya supaya anak-anaknya tetap baik. Entah kapan ibu mengurus dirinya, mempersiapkan semuanya dengan cermat dan pas, melakukannya tulus tanpa mengharap kembali, entah kapan ibu mengeluhkan sakit hati maupun fisiknya, tak pernah saya dengar. Justru saya lebih sering menyepelekan semua itu.

Betapa hebatnya ibu. Mengagumkan ! Itulah deretan kata dan masih banyak lagi yang lainnya yang pantas diucapkan mengenai ibu. Ibu seakan berupaya agar anak-anaknya mendapatkan yang terbaik. Tindakan yang ibu lakukan sekecil apapaun, merupakan kombinasi indah kecerdasan intelektual dan terlebih, kecerdasan emosinya, kemampuannya berempati. Entah belajar darimana, sehigga ibu tahu betul bahwa semua proses itu harus dikenalkan sejak dini, agar proses belajar kelak memberikan hasil maksimal. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila anak-anak tidak mendapat kasih sayang, perhatian dan teladan dari seorang ibu. Tentu saja si anak mengalami perkembangan kepribadian yang tak lengkap.

Ibu memang memiliki pekerjaan sendiri. Setiap pagi bangun, memasak, menyiapkan makanan di meja maka, lalu berangkat bekerja. Sepulang bekerja, ibu melanjutkan pun tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Anehnya, ibu tidak seperti kebanyakan aktivis perempuan atau mereka yang sering disebut kaum feminis. Ibu tak pernah sekalipun menyebut dirinya sebagai perempuan yang merasa dirinya menjadi sapi perahan. Ibu tak pernah meratapi bahwa perempuan harus membangun keluarga mulai dari melayani suami dari seks sampai nama baik, pangkat dan karirnya, lalu melahirkan anak-anak yang garis keturunannya ditetapkan sebagai garis keturunan bapak, menyusui, mengasuh anak sampai besar.

Harus diakui, ibu sebagaimana perempuan lain di banyak negara di dunia hampir tidak memikirkan dirinya sendiri. Namun ibu bukannya tidak mengerti soal hak dan merasa bahwa yang ditanam ke dalam diri mereka adalah tanggung jawab atau kewajiban terhadap orang selain dirinya sendiri. Apalagi menganggap hal itu sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun bagi perempuan-perempuan yang dilahirkan selanjutnya.

Ibu tak pernah menyesali, peran-peran yang dicanangkan terhadapnya, bahwa perempuan menjadi penjaga hubungan antarmanusia yang diasuhnya dengan sukarela. Ibu tak pernah mengutuki bahwa hidupnya seperti seorang relawan atau seluruh kegiatan domestiknya nyaris tidak dihargai sebagai prestasi. Ibu bukan perempuan bodoh yang sulit mengerti tentang haknya, yang karena ketidakmengertiannya itu, lalu menghindari konflik, demi pertahanan keluarga atau hubungan antar manusia, sebab, hanya hubungan antar manusia itulah yang membuat mereka merasa berharga. Justru ibu menjadi sangat berharga karena ketulusan dan tanggung jawabnya yang sangat luar biasa.

Megawati Soekarnoputri ketika tampil berbicara di forum Federation of Asia-Pasific Women's Association di Tokyo, Jepang mengatakan, perempuan memiliki peran yang sangat esensial dalam pembangunan. “Tidak ada pembangunan tanpa perempuan dan tanpa perempuan, tidak akan terjadi transfer pengetahuan dan pembelajaran kebudayaan melalui pendidikan”. Anak perempuan tertua mendiang Bung Karno itu menegaskan, melalui perempuan, generasi baru terus menerus hadir memperjuangkan pembangunan yang dilandasi nilai-nilai etika dan moral.Tiadanya pengasuhan, kasih sayang, perhatian dan teladan dari orang tua, khususnya ibu yang intens, ditambah lagi dengan gencarnya serangan informasi dari luar membuat anak-anak kita semakin lepas kendali. Beberapa fakta menunjukkan kondisi buruk itu.

Tiadanya kehangatan dekapan serta perhatian orangtua memicu terjerumusnya anak-anak ke tindak kriminal. Narkoba misalnya. Kian hari semakin banyak dan semakin muda usia anak mencoba narkoba. Data Badan Narkotika Nasional 2005 menunjukkan ada 2,2 % dari total pengguna narkoba di Indonesia (sebesar 3,2 juta orang) berusia 10 - 19 tahun. Dan bila sudah mengkonsumsi narkoba, maka seks bebaspun berpeluang terjadi. Apalagi saat ini pornografi sangat marak, ditambah lagi tayangan televisi yang semakin vulgar. Dan ini akan memicu penyebaran penyakit HIV/AIDS, yang saat ini sudah merambah hingga ke ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Seiring dengan keterpurukan ekonomi, semakin tertutupnya kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, makin terbuka lebar peluang terjadinya pengabaian terhadap kebutuhan dasar anak. Antara lain, kebutuhan akan rasa aman dan bahagia. Banyak anak yang justru menjadi sasaran kekerasan. Para ibu, yang karena sangat letih berperan ganda, selain harus mengurus keluarga juga sibuk mencari uang di luar rumah. Sasaran yang paling tepat, siapa lagi kalau bukan anak-anaknya. Seto Mulyadi, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, memperkirakan 50-60% orang tua pernah melakukan child abuse dalam berbagai bentuk (Kompas, 9/1/03). Menurutnya, child abuse yang sering diterima anak adalah kata-kata kasar seperti, bodoh, malas dan sebagainya, sampai deraan fisik seperti dicubit atau dipukul.

Kedua, kebutuhan akan makanan bergizi. Krisis ekonomi membuat semakin buruk saja kuantitas maupun kualitas makanan bagi anak. Akibatnya sangat banyak anak yang kekurangan gizi. Pada tahun 2000 saja, data Biro Pusat Statistik memperlihatkan bahwa dari 17,9 juta balita, ada 1,35 juta anak (7,54%) yang bergizi buruk, ada 3,07 juta anak (17,15%) yang bergizi kurang. Ironinya buruknya kondisi anak-anak tersebut dimulai sejak ia belum lahir, ketika si ibu sedang hamil. Sedikitnya 51,9% ibu hamil menderita anemia (kekurangan zat besi).

Ketiga, kebutuhan akan pendidikan. Kemiskinan juga membuat anak-anak menjadi putus sekolah. Sedikitnya ada 6,6 juta anak (2000) yang tidak bisa sekolah serta ada 7,2 juta siswa SD/SLTP yang terancam putus sekolah. Kondisi akan semakin memprihatinkan bila menyimak jumlah anak yang tidak bisa mengikuti pendidikan dini usia (PADU). Berdasarkan Sensus 2000, dari 26,17 juta anak berusia 0-6 tahun, baru 7,16 juta (27%) yang terlayani pendidikannya melalui berbagai satuan pendidikan dini usia.

Belum lagi kesibukan orangtua untuk mencari uang membuat mereka tidak sempat lagi mengawasi anak-anaknya di rumah. Mereka tidak lagi sempat memberikan pembelajaran moral maupun spiritual kepada anak-anaknya. Bagi keluarga yang sedikit mampu, mungkin mereka akan menyerahkan pengasuhan anak-anak mereka ke pembantu rumah tangga atau baby sitter, komik, playstation serta televisi atau bahkan membiarkan anaknya. Akibatnya semakin banyak anak yang tak terkontrol.

Betapa penting dan mendesaknya peran ibu, peran perempuan di tengah situasi serba sulit ini. Sayangnya, selama ini kita terjebak pada pola asuh yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Sehingga, saat kita ingin mengubah hal ini, nurani yang telah terbentuk sekian lama ini pun merasa terusik. Layaknya aktivis perempuan atau mereka yang sering disebut kaum feminis yang menyebutkan bahwa perempuan hanya menjadi sapi perahan, mengurus keluarga mulai dari melayani suami dari seks sampai nama baik, pangkat dan karirnya, melahirkan anak-anak yang garis keturunannya ditetapkan sebagai garis keturunan laki-laki, menyusui, mengasuh anak sampai besar, yang merasa perempuan hanya di posisi relawan, karena seluruh kegiatan domestiknya nyaris tidak dihargai sebagai prestasi. Sehingga tak jarang perempuan lalu melepaskan kegiatan domestiknya atau tak mau memberikan air susu ibu kepada bayinya. Padahal, peran ibu atau perempuan sungguh tak tergantikan.

Memang pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan disosialisasikan dari generasi ke generasi perlu disesuaikan. Selama ini, keluarga, sekolah, bacaan dan televisi telah menjadi sumber pengetahuan tentang bagaimana menjadi perempuan atau laki-laki yang ideal, yang sesuai dengan tatanan sosial. Dalam proses internalisasi yang salah kaprah tersebut memang dominasi laki-laki sering ditonjolkan. Hal ini telanjur mengakar kuat dan menjadi dasar pemahaman masyarakat.

Padahal, dalam perspektif gender, upaya perbaikan relasi perempuan dan laki-laki bukanlah usaha untuk memerangi laki-laki, melainkan untuk secara perlahan-lahan mengubah struktur dan sistem yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Karena, pembedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan berbagai ketidakadilan, berupa subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, pelabelan, kekerasan, pelecehan seksual serta beban kerja yang berat sebelah.

Keluarga, sebagai unit terkecil dari komunitas, memiliki peran penting dalam menginternalisasikan pola relasi yang lebih adil antara perempuan dan laki-laki. Berbagialah bila keluarga memulai dari diri sendiri, dari rumah masing-masing. Dengan paradigma gender, keluarga memberikan contoh kepada anak-anak, bagaimana relasi dalam keluarga harus dibangun atas dasar saling menghargai bukan karena dominasi salah satu pihak.

Ibu, perempuan tetap dapat memasak, membangunkan di pagi hari, menyiapkan air hangat untuk mandi, memasak dan menyiapkan sarapan, mengecek persiapan berangkat sekolah anak-anak, mengambil rapor, mengingatkan untuk makan, mengingatkan untuk mandi, mengingatkan untuk segera pulang, mengingatkan untuk tidur dan jangan nonton televisi terlalu malam, menyusui bayinya dan menjalankan peran domestiknya, tanpa harus merasa sedang berada dalam kekuasaan laki-laki. Kasih akan keluarga, suami dan anak-anaklah yang membuat perempuan melakukannya dengan tulus dan penuh tanggung jawab. Terima kasih perempuan. Terima kasih ibu.