Pages

Saturday, December 10, 2011

Meminta Maaf, Mengakui Kesalahan

Kejadian di SD Don Bosco, Kelapa Gading, Jakarta, beberapa waktu lalu mengundang perhatian publik. Sekolah tidak menerima murid bernama Im, dengan alasan bahwa ayahnya mengidap HIV positif. Penolakan itu sempat memicu keluarga murid untuk melakukan somasi kepada pihak sekolah, atas perlakuan diskriminatif terhadap anaknya. Akan tetapi, pihak sekolah, usai melakukan mediasi dengan keluarga, mengatakan hal itu karena ketidaktahuan dan penyampaian yang tidak tepat. Pihak sekolah mengaku bersalah, meminta maaf atas perlakuan diskriminatif dan akan menerima Im kembali untuk mengikuti seleksi penerimaan siswa baru di sekolah tersebut. Keluarga murid tersebut menerima isyarat yang dinyatakan oleh pihak sekolah.

Permintaan maaf, pernah dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II. Atas nama Gereja Katolik, pemimpin umat itu meminta maaf pada semua orang yang menderita karena perbuatan Gereja Katolik di masa lalu. Paus Yohanes Paulus II yang dikenal sebagai pendukung inisiatif rekonsiliasi, pernah membuat pernyataan maaf yang dipublikasikan untuk lebih dari 100 kesalahan, termasuk prosedur hukum pada ilmuwan Galileo Galilei, keterlibatan dalam perdagangan budak Afrika, peran hirarki pada penghukuman mati dan perang agama, ketidakadilan terhadap perempuan, pelanggaran hak asasi dan perendahan martabat perempuan serta ketidakpedulian umat Katolik selama holocaust pada masa Perang Dunia II. Sementara berkenaan dengan skandal, Paus Benediktus XVI mengatakan di Irlandia, "Saya juga mengakui sama dengan anda, rasa malu dan penghinaan, bahwa kita semua menderita karena dosa-dosa ini".

Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik. Dosa adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Tuhan dan sesama. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Dosa didefinisikan sebagai kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi. Dosa adalah penghinaan terhadap Tuhan. Dosa memberontak terhadap kasih Tuhan kepada manusia dan membalikkan hati manusia dari Tuhan. Seperti dosa pertama, dosa adalah ketidaktaatan, pemberontakan terhadap Tuhan oleh kehendak menjadi seperti Tuhan dan oleh dosa mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3:5). Dengan demikian dosa adalah cinta diri yang meningkat menjadi penghinaan kepada Tuhan. Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus yang melaksanakan keselamatan. (Katekismus Gereja Katolik, 1849-1850).

Dosa menghancurkan relasi manusia dengan Tuhan, yaitu dengan menghancurkan prinsip kehidupan manusia, ialah kasih. Sebagaimana dalam 10 perintah Allah yang mengajak manusia melakukan kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama, maka dosa juga mempunyai dua dampak, vertikal dan horisontal. Dampak vertikal, dosa mempengaruhi hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan dampak horisontal, mempengaruhi hubungan manusia dengan sesama. Dengan demikian, tidak ada dosa yang bersifat pribadi. Setiap dosa memiliki dimensi sosial.

Dosa manusia pertama yang menghasilkan dosa asal, telah menyebabkan putusnya hubungan antara manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama, membawa dosa bagi seluruh umat manusia. Akibatnya, manusia kehilangan rahmat kekudusan, berkat keabadian, pengetahuan akan Tuhan dan berkat keutuhan. Karena kehilangan berkat tersebut, maka manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa. Manusia harus menundukkan kecenderungan untuk berbuat dosa, yang menurut St. Paulus, ialah mengalahkan nafsu yang berlawanan dengan kehendak Roh.

Terhadap dosa yang membuat manusia menderita, Yesus dalam pengajaranNya mencontohkan pertobatan anak bungsu, yang tidak malu pergi kepada bapa dan berkata kepada bapa, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap Bapa”. Ketika Yohanes menyerukan “ Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!", Yesus pun menerima baptisan sebagai teladan pertobatan dan percaya. Semangat pertobatan ini selaras dengan perintah keempat dari lima Perintah Gereja, mengaku dosa sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

Umat yang mengaku dosa, menerima Sakramen tobat, karena ia melaksanakan secara sakramental panggilan Yesus untuk bertobat, bangkit dan kembali kepada Bapa. Ia menyatakan langkah pribadi dan gerejani demi pertobatan, penyesalan dan pemulihan selalu warga Gereja yang berdosa. Pengakuan dosa di depan imam adalah unsur hakiki sakramen ini. Sakramen pengakuan merupakan penghargaan dan pujian akan kekudusan Tuhan dan kerahimanNya terhadap orang yang berdosa. Sakramen pengampunan, melalui absolusi imam, Yesus menganugerahkan secara sakramental kepada orang yang mengakui dosa, pengampunan dan kedamaian. Sakramen perdamaian memberi kepada pendosa, cinta Allah yang mendamaikan. Seseorang memberikan diri didamaikan dengan Tuhan, sehingga mereka yang hidup dari cinta Tuhan yang berbelaskasihan, siap berdamai dengan sesama.

Pertobatan, penyesalan, pemulihan, merupakan pengakuan kepada kerahiman Tuhan yang membawa pengampunan, perdamaian dan belaskasih. Sebagaimana sapaan Yesus pada waktu datang berdiri di tengah-tengah para murid, Ia mengatakan “Damai sejahtera bagi kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada”. Sapaan ini memotivasi manusia untuk dengan rendah hati, meminta maaf, mengakui kesalahan dan dosa.

Paus Yohanes Paulus II, pernah mengatakan bahwa permintaan maaf itu lebih sulit dibanding berbohong, untuk sebuah maaf, kebohongan telah dipenjarakan. Hal ini tampak dari banyaknya kesalahan dan dosa yang ditutup-tutupi atau direkayasa. Meminta maaf, mengakui kesalahan dan dosa memang terkait dengan harga diri dan menunjukkan kelemahan. Padahal manusia pasti pernah melakukan kesalahan, sekecil apa pun. Meminta maaf, mengakui kesalahan dan dosa merupakan bentuk penyembuhan harga diri, memberikan kesempatan orang lain untuk memaafkan dan memperbaiki relasi. Meminta maaf, mengakui kesalahan dan dosa bukan menjadi alasan untuk melakukan kesalahan yang sama secara sengaja, toh nanti bisa meminta maaf. Hal yang terpenting adalah meminta maaf didasari ketulusan, kesungguhan serta mengakui kesalahan dan dosa, diikuti niat tidak mengulang dan tidak sekadar mengucapkan kata tanpa makna. Semoga kita semakin rendah hati, meminta maaf, mengakui kesalahan dan dosa di hadapan Tuhan dan sesama, sehingga mengalami damai dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. (Surabaya Post, 9 Desember 2011).