Pages

Sunday, May 20, 2012

Keberpihakkan Kepada Kaum Buruh

Pada akhir Januari lalu, ribuan buruh melakukan aksi dengan memblokir jalan tol Jakarta - Cikampek. Aksi tersebut merupakan bentuk kekecewaan ribuan buruh atas pengesahan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012. Putusan hakim yang memenangkan Apindo berarti menggagalkan kenaikan upah buruh. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang menemui demonstran akhirnya memberikan jaminan dari pemerintah untuk menetapkan upah minimum Kabupaten Bekasi sesuai dengan yang ditetapkan Gubernur Jawa Barat.

Kekhawatiran buruh terhadap penindasan disebabkan antara lain karena berbagai peraturan yang tidak memihak kaum buruh. Misalnya tentang peraturan perjanjian waktu kerja yang dikhawatirkan akan melegalkan pekerjaan waktu tertentu (kontrak). Para buruh mengkhawatirkan pula keberadaan tenaga kerja outsourching karena merupakan bentuk eksploitasi buruh.

Selain itu penghapusan pesangon yang mengatur pengupahan selama ini ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Ketika isu pelaksanaan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) merebak, muncul tuntutan untuk menolak. Di Mojokerto, sebagian besar perajin sepatu lokal terpaksa harus mengurangi jumlah produksi untuk menyiasati kemungkinan kerugian lebih besar karena membanjirnya produk impor. Kekhawatiran yang sama dialami para karyawan industri alas kaki, garmen, makanan dan minuman, besi baja dan kimia anorganik dasar yang tersebar di kawasan Germakertasusila (Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).

Perdagangan bebas menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan ketika hambatan industri belum seluruhnya baik, membuat produk lokal kalah dalam persaingan. Demonstrasi buruh merupakan hak kelompok buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan. Demonstrasi buruh merupakan upaya para buruh kembali memperjuangkan hak. Mereka sesungguhnya menampilkan kekhawatiran bahwa mereka akan kembali tertindas.

Situasi Ketidakberpihakkan

Jelaslah bahwa ketidakberpihakkan kepada buruh muncul karena pemilik modal selalu berorientasi menekan biaya tenaga kerja serendah mungkin. Orientasi yang sudah pasti berlawanan arah dengan semangat untuk menyejahterakan kehidupan buruh. Logika pemilik modal memang selalu berciri menguntungkan pemilik modal sebesar-besarnya. Pemerintah yang sibuk melayani pemilik modal justru menjajakan negaranya kepada mereka agar berinvestasi dengan tawaran menggiurkan namun menindas buruh. Tampaklah bahwa pemerintahan sedemikian ini tidak lagi mengabdi rakyatnya tetapi menguntungkan dirinya dan pemilik modal global.

Sebenarnya upaya semacam sudah pernah dilakukan, bentuknya berupa penurunan tarif impor, penjualan aset milik negara dan kenaikan tarif BBM. Logika pemilik modal berwujud struktur neoliberalisme yang digerakkan ideologi kapitalisme-liberalisme. Karena kapitalisme-liberalisme menyebabkan kompetisi penuh sebagai satu-satunya cara untuk bertahan, maka logika pemilik modal selalu mengurangi arus dana keluar berganti penumpukan modal. Namun cara semacam ini jelas menindas kedaulatan buruh. Karena itu semua, mereka begitu lemah dengan sekedar menjadi buruh yang tak jelas masa depan dan kehidupannya.

Kecenderungan kolusi pemilik modal dengan pemerintah, menyengsarakan kehidupan buruh. Dengan berdalih program penyesuaian dan pengetatan ikat pinggang untuk tujuan memampukan negara membayar kembali hutang luar negeri sekalipun ekonomi buruk, maka logika pemilik modal berhak mengatur pemerintah. Dalam sistem masyarakat kapitalisme sekarang terdapat tiga kelompok berkepentingan, yaitu pemilik modal, negara, dan buruh. Pemenang persaingan ini adalah kelompok pemilik modal, sedangkan buruh hanya sekedar bertahan hidup. Pemerintah yang tertawan pemilik modal membuat mekanisme kebijaksanaan yang sering merugikan para buruh. Banyak kebijaksanaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya menjadi sekedar kumpulan legalisasi hak prerogatif privat pemilik modal.

Sejarah Keberpihakkan

Dalam sejarah Gereja, ketika terjadi krisis sosial mengundang perhatian dari berbagai kalangan untuk ikut mencoba mencari pemecahan. Di masa lalu, reaksi sosial kalangan gerejani berawal dari gerakan-gerakan katolisisme. Gerakan ini adalah suatu gerakan kepedulian sosial yang dipengaruhi iman. Gerakan ini tidak atas perintah atau dibawah pengaruh pimpinan hirarki tertinggi Gereja (Paus), tetapi atas prakarsa dan tanggung jawab orang-orang Katolik sendiri sejauh bertindak dirinya sebagai Gereja yang hidup. Gereja tampil lewat tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok yang peduli terhadap permasalahan sosial. Gerakan ini sebagai usaha untuk memberi sumbangan demi kesejahteraan umum.

Di Perancis diawali dengan gerakan karitatif yang diprakarasi oleh Frederic Ozanam (1813-1853). Ia mendirikan Konferensi Santo Vincentius, yaitu kelompok awam yang terpanggil untuk meringankan beban penderitaan orang miskin. Di Jerman dipelopori oleh Adolf Kolping (1813-1865) dengan mendirikan rumah-rumah pertemuan untuk para tukang dan buruh di kawasan industri sungai Ruhr. Ia membuka kesadaran para tukang dan buruh industri akan pentinganya perubahan sikap, bukan hanya perubahan struktur masyarakat. Sedangkan di Belanda Wilhelm Emanuel Freiherr van Ketteler (1811-1877) mempengaruhi kalangan Katolik di negaranya dengan animo yang sangat besar. Ia membangkitkan kesadaran tantang masalah buruh sebagai masalah sosial. Ia menekankan bahwa pembangunan religius tak mungkin tanpa perubahan sosial.

Jauh setelah gerakan tersebut, ketika tahta kepausan dipegang oleh Paus Leo XIII, hirarki Gereja menjawab permasalahan sosial yang terjadi. Leo XIII sadar bahwa Gereja tidak mampu berbuat bila tidak memiliki kontak langsung dengan masyarakat. Sikap Gereja terhadap penindasan kaum buruh nyata dalam Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan Paus Leo XIII, 15 Mei 1891. Ensiklik Rerum Novarum merupakan ensiklik yang menanggapi masalah sosial yaitu masalah kaum buruh.

Gagasan Keberpihakkan

Kemerosotan moralitas telah membuka jalan bagi pemerasan kaum buruh. Ketamakan dalam proses produksi melahirkan suatu situasi di mana kaum buruh sangat rentan mengalami penindasan. Masalah kaum buruh bukan sekedar masalah kemiskinan, tetapi masalah kebebasan kaum buruh dan penghargaan terhadap pribadi manusia. Ketika kaum sosialis menawarkan penghapusan hak milik pribadi dari tiap orang yang kemudian dijadikan milik bersama dan dikelola oleh negara, Ensiklik Rerum Novarum mengecam keras hal ini.

Keberpihakkan Gereja kepada kaum buruh ditegaskan dalam kalimat, “mesti diubah situasi kaum buruh yang tidak pantas, yang disebabkan oleh keserakahan dan kekerasan hati pemilik modal, yang menghisap kaum buruh tanpa batas dan memperlakukan mereka bukan sebagi manusia melainkan sebagi barang” (RN art. 64). Selanjutnya dikatakan bahwa kaum buruh diharapkan berusaha menabung hasil upahnya, sehingga mereka dapat menjadi mandiri. (RN art. 70). Berkenaan dengan hal itu, tidak bisa dipisahkan peranan Gereja, buruh dan pemilik modal, serta negara. Gereja dengan menggunakan prinsip-prinsip Injil diharapkan membantu memperdamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial.

Gereja tidak memicu perpecahan antara kaya dan miskin. Justru Gereja perlu mengusahakan pendidikan untuk bertindak adil (RN art. 40-41) dan mengajarkan agar para buruh tidak boleh diperlakukan sebagai budak karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat manusia. Berkenaan dengan pemilik modal dan kaum buruh, buruh diharapkan dapat bekerja dengan baik dan tidak merusak aset pemilik modal dengan menghindari penggunaan kekerasan, ketika berniat hendak melindungi kepentingan. Pemilik modal tidak boleh memperlakukan buruh sebagai budak. Harkat dan martabat kaum buruh harus dihormati. Pemilik modal hendaknya memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kekuatan, jenis kelamin serta usia. Kaum buruh juga harus diberi keleluasaan untuk dapat menabung.

Di balik itu semua, kewajiban pokok pemilik modal memberikan upah yang adil kepada buruh, serta tidak melakukan penindasan (RN art. 31-32). Karena sebenarnya antara pemilik modal dan buruh, saling membutuhkan satu sama lain (RN art. 28). Berkenaan dengan peran negara, perlu ada Undang-Undang yang melayani kesejahteraan umum. Pemerintah harus melindungi kesejahteraan dan hak-hak buruh serta melindungi semua kelas warga negara. Dalam usaha untuk melindungi hak-hak pribadi, perhatian utama negara terutama ditujukan kepada mereka yang lemah.

Gagasan keberpihakkan Gereja perlu dikonkretkan dengan mendukung terbentuknya lembaga struktural yang memihak kaum lemah, dengan memperjelas visi misi keberpihakkan. Selain itu perlu ada sosialisasi dan animasi bahwa Gereja memiliki keprihatinan sekaligus kepedulian untuk memihak kaum buruh. Karena selama ini, umat tidak banyak memahami, sehingga bentuk dukungan masih perlu ditingkatkan. Bentuk pendampingan kepada kaum buruh hendaknya dapat menjawab langsung kebutuhan. Selain dengan karya sosial karitatif, perlu dikembangkan aneka peningkatan kapasitas kaum buruh dalam hal kemampuan negosiasi, advokasi, kepemimpinan, kewirausahaan atau karya sosial pemberdayaan berbasis komunitas, misalnya dengan pembentukan credit union.

Keberpihakkan Gereja dapat diawali dengan menyebarkan dan meresapkan Ajaran Sosial Gereja sebagai pijakan dari sebuah karya pembinaan yang intensif bagi umat beriman. Pembinaan semacam itu hendaknya mengindahkan kewajiban-kewajiban mereka di tengah masyarakat sipil. Umat beriman perlu meresapkan semangat Kristen ke dalam pandangan dan adat kebiasaan umat sehari-hari, ke dalam hukum-hukum dan struktur-struktur masyarakat sipil. (KASG art. 531). Pembinaan Ajaran Sosial Gereja dapat dilakukan di lembaga pendidikan Katolik dan di komunitas basis. Kegiatan seperti itu menjadi kesempatan pertukaran aneka refleksi serta pengalaman, mempelajari masalah-masalah yang timbul dan mengidentifikasi pendekatan-pendekatan operatif yang baru. Pembelajaran ajaran sosial Gereja bertujuan agar ajaran tersebut diketahui secara memadai dan diwujudkan secara sepadan dalam tingkah laku konkret. (KASG art. 528). (Inspirasi, Mei 2012)