Pages

Thursday, October 11, 2012

Bekerja Menurut Ajaran Sosial Gereja

Bekerja berasal dari kata dasar "kerja", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya kegiatan melakukan sesuatu. Sedangkan sebagai kata benda, kerja memiliki arti melakukan sesuatu untuk mencari nafkah. Pada masa sekarang, makna dan nilai bekerja telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Di jaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialis. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis, seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja, dengan melakukan praktek ketidakjujuran.

Pergeseran kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di dalam masyarakat pun tercipta pembedaan, mana pekerjaan yang kelas satu dan mana pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat terjebak kurang menghargai pekerjaan domestik atau pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan itu dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.

Pemahaman yang keliru tentang bekerja, berdampak pada ketimpangan dalam dunia kerja. Relasi majikan dan pekerja kerap kali tidak setara. Kehendak majikan tidak sama kedudukan dengan kemampuan buruh. Fenomena demonstrasi kaum pekerja yang menuntut kenaikan upah demi perbaikan hidup, penghapusan sistem alih daya atau outsourcing merupakan bukti nyata ketegangan itu. Penindasan hanya  melahirkan penderitaan dan kemiskinan, karena membuat kehidupan masyarakat semakin sulit. Ketidakadilan dalam bekerja bahkan mengakibatkan konflik sosial.  

Di kalangan kaum muda terdapat fenomena lain. Mereka terdampak dengan pergeseran makna dan nilai bekerja. Situasi itu melahirkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan yang berjalan seiring dengan merebaknya mentalitas instan. Mereka yang terdampak buruknya dunia kerja, terpaksa menjadi penganggur. Mereka kesulitan mencari pekerjaan atau bahkan pesimis ketika lulus akan bekerja di mana. Memang harus diakui lapangan pekerjaan lebih sedikit dibandingkan dengan angkatan kerja. Lagipula, tidak mudah mengubah mentalitas mereka yang memiliki orientasi sebagai pekerja, berubah menjadi pencipta lapangan kerja, dengan menjadi wirausahawan.

Sementara itu, kaum usia produktif sibuk dengan bekerja. Mereka menomersatukan bekerja dan menomerduakan relasi antar manusia dan persekutuan dalam masyarakat. Mereka lelah bekerja sehingga tidak hadir dalam pertemuan-pertemuan sosial. Tidak jarang, pergeseran nilai dan makna bekerja, mengendorkan semangat pelayanan. Pelayanan yang menjunjung tinggi semangat gotong-royong dan saling menolong perlahan-lahan dapat tergusur.

Krisis makna dan nilai inilah yang menjadi perhatian. Tulisan ini hendak merefleksikan makna kerja dalam terang Ajaran Sosial Gereja. Sebagai orang beriman kita diajak melihat kembali makna bekerja dengan semangat atau berdasarkan iman. Dan demikian, kita dapat memahami makna bekerja secara otentik.  Bekerja sebenarnya merupakan perwujudan iman kepada Tuhan.  Namun karena sibuk bekerja, kita justru jauh dari kehendak Tuhan. Atau sebaliknya, kita hanya sibuk beribadah akan tetapi semangat itu tidak memberi terang dalam bekerja. Pendek kata, kita telah memisahkan dan tidak melihat kaitan erat antara bekerja dan iman.
 
Pandangan Ajaran Sosial Gereja
 
Makna Kerja

Manusia diciptakan menurut gambar Tuhan dan diberi mandat untuk mengubah bumi. Dengan ini, manusia hendaknya menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Dengan tenaganya, manusia memberikan sumbangan merealisasikan rencana Tuhan di bumi. Manusia diharapkan tidak berhenti untuk membangun dunia menjadi lebih baik atau mengabaikan sesama. Manusia memiliki tanggung jawab lebih untuk melakukan hal itu. (Laborem Exercens 25). Karena pekerjaan merupakan kunci atau solusi dari masalah sosial. Pekerjaan sangat  menentukan manusia dalam membuat hidup menjadi lebih manusiawi. (LE 3).

Sebagai citra Tuhan, peran kerja manusia sangat penting sebagai faktor produktif, untuk mememuhi kepenuhan material dan non material. Hal ini jelas, karena dalam melakukan pekerjaan, seseorang secara alami terhubung dengan manusia atau pekerjaan orang lain. Dengan bekerja, manusia berada dengan manusia lain. Lewat bekerja pula, manusia menghasilkan sesuatu untuk orang lain. Dengan demikian, pekerjaan membuat manusia menghasilkan sesuatu, menjadi berbuah dan produktif. Karena sumberdaya manusia yang bekerja, jauh lebih luas daripada sumber daya alam. Dan karena itu membuat manusia semakin sadar untuk mengolahnya. (Centesimus Annus 31)

Manusia mewarisi kerja generasi sebelumnya, yang rela berbagi demi membangun masa depan semua orang. Hal ini hendaknya diingat, ketika manusia memperjuangkan hak-hak dalam pekerjaan dan menjadi motivasi dalam bekerja. Kerja merupakan kewajiban, karena Tuhan menghendaki dan karena untuk mempertahankan dan mengembangkan kemanusiaan manusia. Dalam bekerja, manusia keluar  dari dirinya, memperhatikan sesama, terutama keluarga, masyarakat dan bahkan demi seluruh umat manusia. (LE 16)

Dengan bekerja, manusia tidak hanya mengubah berbagai hal dan masyarakat, manusia juga mengembangkan diri. Manusia belajar mengolah sumber daya, meninggalkan diri sendiri dan menjangkau segala hal di luar dirinya. Hal ini hendaknya dipahami sebagai semacam pertumbuhan pribadi, karena ada nilai yang lebih besar daripada kekayaan eksternal yang diperoleh.  Manusia bisa menyadari bahwa dirinya lebih berharga daripada barang-barang yang mereka miliki. Demikian pula, melalui bekerja manusia mengusahakan keadilan yang lebih besar, persaudaraan yang lebih luas, kondisi yang lebih manusiawi dari hubungan sosial dan menyadari bahwa semua itu memiliki nilai yang lebih besar daripada kemajuan teknologi. Memang kemajuan teknologi membantu manusia untuk mewujudkan kemajuan, tetapi kemajuan teknis itu tidak berarti jika manusia tidak mengupayakan. (Gaudium Et Spes 35)

Tujuan Kerja

Pekerjaan merupakan sesuatu yang baik, bukan hanya karena berguna dan menyenangkan, tetapi karena mengungkapkan dan meningkatkan martabat pekerja. Melalui kerja, manusia tidak hanya mengubah dunia, tetapi mengubah diri sendiri, menjadi lebih manusiawi. (LE 9). Kewajiban untuk mendapatkan penghasilan dan penghidupan merupakan alasan atau hak untuk bekerja. Masyarakat yang menolak hak ini, tidak dapat dibenarkan. Dan jika ada penolakan kerja, maka tidak ada perdamaian sosial. (CA 43)

Namun demikian, hak-hak pekerja tidak dapat ditakdirkan semata-mata sebagai hasil dari sistem ekonomi yang diarahkan hanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Hal yang penting bukan keuntungan, tetapi sistem perekonomian yang menghormati hak-hak para pekerja di manapun mereka bekerja. (LE 17)

Gereja memandang bahwa subjek dan tujuan semua lembaga sosial harus diarahkan untuk kebaikan manusia. Semua orang memiliki hak untuk bekerja, kesempatan untuk mengembangkan kualitas dan kepribadian mereka dalam melaksanakan profesi serta untuk mendapatkan gaji yang adil. Jika hal itu terpenuhi memungkinkan pekerja dan keluarganya memperoleh penghasilan dan menjalani hidup secara layak, secara materi, sosial, budaya dan spiritual. (Octogesima Adveniens 14).

Pengalaman menunjukkan banyak cara di mana tuntutan keadilan masih harus dipenuhi. Tuntutan itu mengarah supaya para pekerja secara bertahap, dapat berbagi kepemilikan dengan perusahaan. Saat ini, perlu ada upaya terus menerus,  agar setidaknya di masa depan, keuntungan produksi tidak selalu menumpuk di tangan orang kaya, melainkan perlu ada batasan atau dibagi secara adil kepada para pekerja. (MEM 77).

Hak Dan Keadilan Dalam Kerja

Pekerja patut  mendapatkan keadilan. Mereka perlu menyadari bahwa bekerja berarti ingin berbagi tanggung jawab dan kreativitas dalam proses kerja. Mereka seolah ingin meyakinkan bahwa mereka tidak bekerja melulu untuk diri sendiri. Kesadaran ini muncul ketika sistem birokrasi menempatkan mereka hanya menjadi semacam "roda" dari sebuah mesin besar yang bergerak dari atas ke bawah (LE 15). Pada prioritas pertama, pekerja harus mendapatkan upah yang cukup, untuk mendukung kehidupan diri  dan keluarganya. (Quadragesimo Anno 71).

Rumusan yang perlu ditekankan ialah, bekerja untuk pekerja dan bukan pekerja untuk bekerja. Bekerja sendiri memiliki memang nilai obyektif, pekerjaaan besar atau kecil. Akan tetapi semua pekerjaan harus dinilai dengan indikator menghormati martabat manusia yang bekerja (LE 6). Karena itu,  hak-hak pekerja tidak dapat ditakdirkan sebagai semata-mata hasil dari sistem ekonomi, yang ditujukan hanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal (LE 17). Sebaliknya yang lebih penting ialah memperhatikan manusia yang bekerja, daripada apa yang dikerjakan. Perwujudan diri pribadi manusia adalah ukuran untuk menilai apakah martabat manusia dihormati dalam bekerja (LE 6)

Berkenaan dengan kehendak kaum pekerja. Selalu ada kebutuhan untuk menggalang gerakan solidaritas antar pekerja. Gereja berkomitmen, sebagaimana Kristus untuk menjadi "Gereja yang memihak kaum miskin." (LE 8). Pemerintah harus melakukan upaya efektif dalam melihat sumber daya manusia dan memastikan, bahwa masyarakat yang memasuki usia kerja, menemukan pekerjaan sesuai dengan bakat mereka. Lagipula, setiap pekerja hendaknya menerima upah sesuai dengan hukum keadilan dan kesetaraan. Ini perlu mendapat perhatian dari otoritas sipil, agar memastikan bahwa pekerja boleh membentuk organisasi di dalam industri dengan bertanggung jawab. Selain itu, perlu ada fasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kelas menengah yang membuat kehidupan sosial semakin baik dan lebih efektif. (Pacem In Terris 64).

Gereja memandang bahwa gaji sebaiknya tidak diserahkan kepada hukum pasar atau menjadi keputusan yang diserahkan hanya kepada kehendak pihak yang lebih kuat. Penentuan keputusan sebaiknya memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan. Artinya, pekerja harus mendapatkan gaji yang memungkinkan mereka untuk hidup semakin manusiawi dan memenuhi kewajiban keluarga secara layak. Faktor-faktor lain yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan gaji yang adil ialah: kontribusi efektif setiap individu dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi, memperhatikan kondisi keuangan tempat kerja, persyaratan upah minimal yang diatur negara dan mengacu pada perwujudan kesejahteraan umum (MEM 71).

Di atas hal-hal semua itu, kita harus mengingat bahwa pekerja lebih utama daripada modal, karena tenaga kerja menghasilkan produksi, sedangkan alat produksi hanyalah alat belaka. (LE 12) Alat produksi bukan barang yang terpisah atau disebut aset yang bertentangan dengan tenaga kerja. Alat produksi tidak bisa dipandang lebih tinggi daripada pekerja atau digunakan untuk mengeksploitasi pekerja. Alat produksi tidak dapat berdiri sendiri. Alat produksi yang dimiliki oleh swasta, publik atau kolektif pun, hendaknya mengabdi kepada pekerja. (LE 14). Sedangkan modal sebagai sumber daya, baik dari alam maupun manusia, diciptakan sebagai sarana yang diarahkan untuk mengabdi kepada manusia. Alat sederhana, sampai yang paling modern, berupa mesin, pabrik, laboratorium dan komputer adalah ciptaan manusia. Karena itu nilainya tidak boleh melebihi manusia (LE 12). Inilah yang perlu diperhatikan dalam sistem ekonomi, yang kerap kali berlaku tidak adil. Karena alat produksi atau modal kerap kali justu merendahkan nilai manusia. (CA 35).

Penutup

Akhirnya, bekerja memiliki 3 kualitas moral. Pertama, bekerja adalah cara manusia melaksanakan kapasitas sebagai manusia, secara khusus sebagai pengungkapan dan perwujudan dirinya. Kedua, bekerja adalah cara yang wajar bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materi. Ketiga, bekerja memungkinkan manusia memberikan sumbangan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih besar. Setiap hasil pekerjaan tidak hanya untuk pekerja saja, melainkan untuk keluarga, untuk bangsa dan untuk kepentingan serta kesejahteraan seluruh umat manusia. (Keadilan Sosial Ekonomi Bagi Semua 97)

Untuk mewujudkan kualitas itu, perlu ada gerakan nyata. Di kelompok teritorial dan kelompok kategorial, sebagai tanda kehadiran Gereja di tengah masyarakat, dapat diawali dengan melakukan kajian masalah, menentukan solusi dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah kerja. Misalnya, menyelenggarakan animasi, seminar, lokakarya, retret dan rekoleksi berdasarkan Ajaran Sosial Gereja tentang: makna kerja, relasi kerja yang adil dan pelayanan. Selain itu, perlu didorong penerapan aturan kerja yang telah disepakati bersama. Khusus untuk orang muda, mereka yang tidak terserap dalam dunia kerja perlu didata dan diberikan alternatif solusi. Misalnya melalui pelatihan, workshop keterampilan atau kewirausahaan dan penyediaan modal kerja yang mendorong penciptaan lapangan kerja mandiri. Selain itu perlu diselenggarakan informasi atau bursa kerja, serta pendampingan pastoral bagi pekerja. . 

Bantuan sosial kewirausahaan tidak cukup hanya dengan memberi modal yang sedikit. Bantuan kewirausahaan perlu dilengkapi dengan peningkatan kapasitas berwirausaha, pengelolaan keuangan, pemasaran, pembelajaran dari proses bisnis yang berhasil (benchmarking), strategi mengakses pinjaman modal serta pendampingan. Prioritas sasaran sebaiknya untuk mereka yang belum bekerja, mau bekerja dan minim akses. 

Lembaga pendidikan, sebagai karya kerasulan dalam rangka pewartaan kabar gembira bagi orang muda, dapat membina dan mengembangkan tenaga kerja yang terampil, produktif dan berdaya saing, tetapi mengedepankan nilai-nilai luhur seperti pengorbanan, kesabaran, kejujuran, hati nurani dan tanggung jawab.

Keluarga, sebagai Gereja kecil, tempat penanaman nilai dan makna kerja, dapat menjadi tempat pembinaan awal mempraktekkan kerja dan pelayanan kepada sesama, dengan melibatkan anggota keluarga dalam pekerjaan rumah tangga. Demikian pula, setiap pribadi perlu memahami dan menyadari makna kerja, sehingga dapat menghayati kerja dan memberikan kesaksian dalam bekerja, dengan mengamalkan nilai kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, ketekunan dalam setiap jenis pekerjaan.

Melalui bahan Ajaran Sosial Gereja ini, kita seakan diingatkan pada perkataan Rasul Yakobus “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”. Iman adalah jawaban kita kepada panggilan Tuhan. Iman itu hendaknya diwujudkan dalam tindakan nyata, termasuk dalam bekerja. Semoga kita semakin terbuka terhadap kehendak Tuhan, untuk bekerja dengan semangat iman, demi kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia, menghargai pekerjaan dan pekerja, peduli terhadap fenomena pengangguran serta bersemangat dalam karya pelayanan.