Bekerja
berasal dari kata dasar "kerja", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya kegiatan melakukan sesuatu. Sedangkan sebagai kata benda, kerja
memiliki arti melakukan sesuatu untuk mencari nafkah. Pada masa sekarang, makna
dan nilai bekerja telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi
belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar
mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di jaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja
identik dengan kepuasan materialis. Manusia bekerja tidak lagi untuk
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan
uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Kerja pun
bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis, seseorang mengabaikan nilai
moral dalam bekerja, dengan melakukan praktek ketidakjujuran.
Pergeseran
kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan
gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi
mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di
dalam masyarakat pun tercipta pembedaan, mana pekerjaan yang kelas satu dan mana
pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat terjebak kurang menghargai pekerjaan
domestik atau pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan itu
dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.
Pemahaman
yang keliru tentang bekerja, berdampak pada ketimpangan dalam dunia kerja. Relasi
majikan dan pekerja kerap kali tidak setara. Kehendak majikan tidak sama
kedudukan dengan kemampuan buruh. Fenomena demonstrasi kaum pekerja yang menuntut
kenaikan upah demi perbaikan hidup, penghapusan sistem alih daya atau outsourcing merupakan bukti
nyata ketegangan itu. Penindasan hanya melahirkan penderitaan dan kemiskinan, karena membuat kehidupan
masyarakat semakin sulit. Ketidakadilan dalam bekerja bahkan mengakibatkan
konflik sosial.
Di
kalangan kaum muda terdapat fenomena lain. Mereka terdampak dengan pergeseran
makna dan nilai bekerja. Situasi itu melahirkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan yang berjalan seiring dengan merebaknya mentalitas instan. Mereka
yang terdampak buruknya dunia kerja, terpaksa menjadi penganggur. Mereka
kesulitan mencari pekerjaan atau bahkan pesimis ketika lulus akan bekerja di mana.
Memang harus diakui lapangan pekerjaan lebih sedikit dibandingkan dengan
angkatan kerja. Lagipula, tidak mudah mengubah mentalitas mereka yang memiliki
orientasi sebagai pekerja, berubah menjadi pencipta lapangan kerja, dengan
menjadi wirausahawan.
Sementara
itu, kaum usia produktif sibuk dengan bekerja. Mereka menomersatukan bekerja
dan menomerduakan relasi antar manusia dan persekutuan dalam masyarakat. Mereka lelah bekerja sehingga tidak hadir dalam
pertemuan-pertemuan sosial. Tidak jarang, pergeseran nilai dan makna bekerja,
mengendorkan semangat pelayanan.
Pelayanan yang menjunjung tinggi semangat gotong-royong dan saling menolong
perlahan-lahan dapat tergusur.
Krisis makna dan nilai inilah yang menjadi perhatian. Tulisan ini hendak merefleksikan makna kerja dalam terang Ajaran Sosial Gereja. Sebagai orang beriman kita diajak melihat kembali makna bekerja dengan semangat atau berdasarkan iman. Dan demikian, kita dapat memahami makna bekerja secara otentik. Bekerja sebenarnya merupakan perwujudan iman kepada
Tuhan. Namun karena sibuk
bekerja, kita justru jauh dari kehendak Tuhan. Atau sebaliknya, kita hanya
sibuk beribadah akan tetapi semangat itu tidak memberi terang dalam bekerja. Pendek kata, kita telah memisahkan dan tidak melihat kaitan erat antara bekerja
dan iman.
Pandangan Ajaran Sosial Gereja
Makna
Kerja
Manusia
diciptakan menurut gambar Tuhan dan diberi mandat untuk mengubah bumi. Dengan ini,
manusia hendaknya menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Dengan
tenaganya, manusia memberikan sumbangan merealisasikan rencana Tuhan di bumi. Manusia
diharapkan tidak berhenti untuk membangun dunia menjadi lebih baik atau
mengabaikan sesama. Manusia memiliki tanggung jawab lebih
untuk melakukan hal itu. (Laborem Exercens 25). Karena pekerjaan merupakan kunci
atau solusi dari masalah sosial. Pekerjaan sangat menentukan manusia dalam membuat hidup
menjadi lebih manusiawi. (LE
3).
Sebagai
citra Tuhan, peran kerja manusia sangat penting sebagai faktor produktif, untuk
mememuhi kepenuhan material dan non material. Hal ini jelas, karena dalam
melakukan pekerjaan, seseorang secara alami terhubung dengan manusia atau pekerjaan
orang lain. Dengan bekerja, manusia berada dengan manusia lain. Lewat bekerja pula, manusia menghasilkan sesuatu untuk orang lain. Dengan demikian, pekerjaan
membuat manusia menghasilkan sesuatu, menjadi berbuah dan produktif. Karena
sumberdaya manusia yang bekerja, jauh lebih luas daripada sumber daya alam. Dan
karena itu membuat manusia semakin sadar untuk mengolahnya. (Centesimus Annus 31)
Manusia
mewarisi kerja generasi sebelumnya, yang rela berbagi demi membangun masa depan
semua orang. Hal ini hendaknya diingat, ketika manusia
memperjuangkan hak-hak dalam pekerjaan dan menjadi motivasi dalam bekerja.
Kerja merupakan kewajiban, karena Tuhan menghendaki dan karena untuk mempertahankan dan mengembangkan kemanusiaan manusia.
Dalam bekerja, manusia keluar dari
dirinya, memperhatikan sesama, terutama keluarga, masyarakat dan
bahkan demi seluruh umat manusia. (LE 16)
Dengan
bekerja, manusia tidak hanya mengubah berbagai hal dan masyarakat, manusia juga
mengembangkan diri. Manusia belajar mengolah sumber daya, meninggalkan diri
sendiri dan menjangkau segala hal di luar dirinya. Hal ini hendaknya dipahami
sebagai semacam pertumbuhan pribadi, karena ada nilai yang lebih besar daripada
kekayaan eksternal yang diperoleh. Manusia bisa menyadari bahwa dirinya lebih berharga daripada barang-barang yang mereka
miliki. Demikian pula, melalui bekerja manusia mengusahakan keadilan yang lebih besar, persaudaraan yang lebih luas, kondisi yang lebih
manusiawi dari hubungan sosial dan menyadari bahwa semua itu memiliki nilai yang
lebih besar daripada kemajuan teknologi. Memang kemajuan teknologi membantu
manusia untuk mewujudkan kemajuan, tetapi kemajuan teknis itu tidak
berarti jika manusia tidak mengupayakan. (Gaudium Et Spes 35)
Tujuan
Kerja
Pekerjaan
merupakan sesuatu yang baik, bukan hanya karena berguna dan menyenangkan,
tetapi karena mengungkapkan dan meningkatkan martabat pekerja. Melalui
kerja, manusia tidak hanya mengubah dunia, tetapi mengubah diri sendiri, menjadi
lebih manusiawi. (LE 9). Kewajiban untuk mendapatkan penghasilan
dan penghidupan merupakan alasan atau hak untuk bekerja. Masyarakat yang
menolak hak ini, tidak dapat dibenarkan. Dan jika ada penolakan kerja, maka tidak
ada perdamaian sosial. (CA 43)
Namun
demikian, hak-hak pekerja tidak dapat ditakdirkan semata-mata sebagai hasil
dari sistem ekonomi yang diarahkan hanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Hal yang penting bukan keuntungan, tetapi sistem perekonomian yang menghormati
hak-hak para pekerja di manapun mereka bekerja. (LE 17)
Gereja
memandang bahwa subjek dan tujuan semua lembaga sosial harus diarahkan
untuk kebaikan manusia. Semua orang memiliki hak untuk bekerja, kesempatan untuk
mengembangkan kualitas dan kepribadian mereka dalam melaksanakan profesi serta untuk
mendapatkan gaji yang adil. Jika hal itu terpenuhi memungkinkan pekerja dan keluarganya
memperoleh penghasilan dan menjalani hidup secara layak, secara materi,
sosial, budaya dan spiritual. (Octogesima Adveniens 14).
Pengalaman
menunjukkan banyak cara di mana tuntutan keadilan masih harus dipenuhi. Tuntutan itu mengarah supaya para pekerja secara bertahap, dapat berbagi kepemilikan dengan perusahaan. Saat ini, perlu ada upaya terus menerus, agar setidaknya di masa depan, keuntungan produksi tidak selalu menumpuk di tangan orang kaya, melainkan perlu ada batasan atau dibagi secara adil kepada para pekerja. (MEM 77).
Hak
Dan Keadilan Dalam Kerja
Pekerja
patut mendapatkan keadilan. Mereka perlu menyadari
bahwa bekerja berarti ingin berbagi tanggung jawab dan kreativitas dalam proses
kerja. Mereka seolah ingin meyakinkan bahwa mereka tidak bekerja melulu untuk diri sendiri. Kesadaran ini muncul ketika sistem birokrasi menempatkan mereka
hanya menjadi semacam "roda" dari sebuah mesin besar yang
bergerak dari atas ke bawah (LE 15). Pada prioritas pertama, pekerja harus mendapatkan
upah yang cukup, untuk mendukung kehidupan diri
dan keluarganya. (Quadragesimo Anno 71).
Rumusan
yang perlu ditekankan ialah, bekerja untuk pekerja dan bukan pekerja untuk
bekerja. Bekerja sendiri memiliki memang nilai obyektif, pekerjaaan besar atau kecil.
Akan tetapi semua pekerjaan harus dinilai dengan indikator menghormati martabat manusia
yang bekerja (LE 6). Karena itu, hak-hak
pekerja tidak dapat ditakdirkan sebagai semata-mata hasil dari sistem ekonomi, yang
ditujukan hanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal (LE 17). Sebaliknya yang lebih
penting ialah memperhatikan manusia yang bekerja, daripada apa yang dikerjakan. Perwujudan
diri pribadi manusia adalah ukuran untuk menilai apakah martabat manusia
dihormati dalam bekerja (LE 6)
Berkenaan
dengan kehendak kaum pekerja. Selalu ada kebutuhan untuk menggalang gerakan
solidaritas antar pekerja. Gereja berkomitmen, sebagaimana Kristus
untuk menjadi "Gereja yang memihak kaum miskin." (LE 8). Pemerintah
harus melakukan upaya efektif dalam melihat sumber daya manusia dan memastikan,
bahwa masyarakat yang memasuki usia kerja, menemukan pekerjaan sesuai
dengan bakat mereka. Lagipula, setiap pekerja hendaknya menerima upah sesuai
dengan hukum keadilan dan kesetaraan. Ini perlu mendapat perhatian dari
otoritas sipil, agar memastikan bahwa pekerja boleh membentuk organisasi di dalam industri dengan bertanggung jawab. Selain itu, perlu ada fasilitasi
pembentukan kelompok-kelompok kelas menengah yang membuat kehidupan sosial semakin baik dan lebih efektif. (Pacem In Terris 64).
Gereja
memandang bahwa gaji sebaiknya tidak diserahkan kepada hukum pasar atau
menjadi keputusan yang diserahkan hanya kepada kehendak pihak yang lebih kuat. Penentuan
keputusan sebaiknya memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan. Artinya, pekerja
harus mendapatkan gaji yang memungkinkan mereka untuk hidup semakin manusiawi
dan memenuhi kewajiban keluarga secara layak. Faktor-faktor
lain yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan gaji yang adil ialah: kontribusi
efektif setiap individu dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi, memperhatikan
kondisi keuangan tempat kerja, persyaratan upah minimal yang diatur negara dan
mengacu pada perwujudan kesejahteraan umum (MEM 71).
Di atas hal-hal semua itu, kita harus mengingat bahwa pekerja lebih utama daripada
modal, karena tenaga kerja menghasilkan produksi, sedangkan alat produksi
hanyalah alat belaka. (LE 12) Alat produksi bukan barang yang terpisah atau
disebut aset yang bertentangan dengan tenaga kerja. Alat produksi tidak bisa
dipandang lebih tinggi daripada pekerja atau digunakan untuk mengeksploitasi
pekerja. Alat produksi tidak dapat berdiri sendiri. Alat produksi yang dimiliki
oleh swasta, publik atau kolektif pun, hendaknya mengabdi kepada pekerja. (LE 14).
Sedangkan modal sebagai sumber daya, baik dari alam maupun manusia, diciptakan sebagai sarana yang diarahkan untuk mengabdi kepada manusia.
Alat sederhana, sampai yang paling modern, berupa mesin, pabrik,
laboratorium dan komputer adalah ciptaan manusia. Karena itu nilainya
tidak boleh melebihi manusia (LE 12). Inilah yang perlu diperhatikan dalam sistem
ekonomi, yang kerap kali berlaku tidak adil. Karena alat produksi atau modal kerap kali justu merendahkan nilai manusia. (CA 35).
Penutup
Akhirnya, bekerja memiliki 3 kualitas moral. Pertama, bekerja adalah cara manusia melaksanakan kapasitas sebagai manusia, secara khusus sebagai pengungkapan dan perwujudan dirinya. Kedua, bekerja adalah cara yang wajar bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materi. Ketiga, bekerja memungkinkan manusia memberikan sumbangan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih besar. Setiap hasil pekerjaan tidak hanya untuk pekerja saja, melainkan untuk keluarga, untuk bangsa dan untuk kepentingan serta kesejahteraan seluruh umat manusia. (Keadilan Sosial Ekonomi Bagi Semua 97)
Untuk mewujudkan kualitas itu, perlu ada gerakan nyata. Di kelompok teritorial dan kelompok kategorial, sebagai
tanda kehadiran Gereja di tengah masyarakat, dapat diawali dengan melakukan kajian masalah, menentukan solusi dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi
masalah kerja. Misalnya, menyelenggarakan animasi, seminar, lokakarya,
retret dan rekoleksi berdasarkan Ajaran Sosial Gereja tentang:
makna kerja, relasi kerja yang adil dan pelayanan. Selain itu, perlu didorong
penerapan aturan kerja yang telah disepakati bersama. Khusus untuk orang muda, mereka yang tidak terserap dalam dunia kerja perlu didata dan diberikan alternatif solusi. Misalnya melalui pelatihan, workshop keterampilan atau kewirausahaan dan penyediaan modal kerja yang mendorong penciptaan lapangan kerja mandiri. Selain itu perlu diselenggarakan informasi atau bursa kerja, serta pendampingan pastoral bagi pekerja. .
Bantuan sosial kewirausahaan tidak cukup hanya dengan memberi modal yang sedikit. Bantuan kewirausahaan perlu dilengkapi dengan peningkatan kapasitas berwirausaha, pengelolaan keuangan, pemasaran, pembelajaran dari proses bisnis yang berhasil (benchmarking), strategi mengakses pinjaman modal serta pendampingan. Prioritas sasaran sebaiknya untuk mereka yang belum bekerja, mau bekerja dan minim akses.
Bantuan sosial kewirausahaan tidak cukup hanya dengan memberi modal yang sedikit. Bantuan kewirausahaan perlu dilengkapi dengan peningkatan kapasitas berwirausaha, pengelolaan keuangan, pemasaran, pembelajaran dari proses bisnis yang berhasil (benchmarking), strategi mengakses pinjaman modal serta pendampingan. Prioritas sasaran sebaiknya untuk mereka yang belum bekerja, mau bekerja dan minim akses.
Lembaga pendidikan, sebagai karya kerasulan
dalam rangka pewartaan kabar gembira bagi
orang muda, dapat membina dan mengembangkan tenaga kerja yang terampil,
produktif dan berdaya saing, tetapi mengedepankan nilai-nilai luhur
seperti pengorbanan, kesabaran, kejujuran, hati nurani dan tanggung jawab.
Keluarga, sebagai Gereja kecil, tempat penanaman
nilai dan makna kerja, dapat menjadi tempat pembinaan awal mempraktekkan kerja
dan pelayanan kepada sesama, dengan melibatkan anggota keluarga dalam pekerjaan
rumah tangga. Demikian pula, setiap pribadi perlu memahami dan menyadari makna kerja,
sehingga dapat menghayati kerja dan memberikan kesaksian dalam bekerja, dengan mengamalkan
nilai kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, ketekunan dalam setiap jenis
pekerjaan.
Melalui bahan Ajaran Sosial Gereja ini, kita seakan
diingatkan pada perkataan Rasul Yakobus “Demikian juga halnya dengan iman:
Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah
mati”. Iman adalah jawaban kita kepada panggilan Tuhan. Iman itu hendaknya
diwujudkan dalam tindakan nyata, termasuk dalam bekerja. Semoga kita semakin
terbuka terhadap kehendak Tuhan, untuk bekerja dengan semangat iman, demi
kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia, menghargai pekerjaan dan pekerja, peduli
terhadap fenomena pengangguran serta bersemangat dalam karya pelayanan.