Iman
dapat dimengerti sebagai jawaban manusia kepada Tuhan yang mewahyukan diriNya.
Dengan bantuan rahmat Illahi, manusia menjawab Tuhan dengan ketaatan iman, yang
berarti penyerahan diri manusia kepada Tuhan secara penuh dan menerima
kebenaran-kebenaran sebagaimana dijamin oleh sang Kebenaran sejati. (bdk., Katekismus Gereja Katolik, 25)
Iman
adalah keutamaan adikodrati yang mutlak perlu bagi keselamatan. Iman adalah
anugerah cuma-cuma dari Tuhan dan tersedia bagi semua orang yang dengan rendah
hati mencarinya. Tindakan iman adalah tindakan manusiawi, yaitu tindakan dari
intelek manusia, terdorong oleh kehendak yang digerakkan oleh Tuhan, dengan
mengamini kebenaran ilahi (bdk., KGK, 27-28)
Beriman
kepada Tuhan berarti, setia kepada Tuhan, mempercayakan hidup kepadaNya dan
mengamini semua kebenaran yang diwahyukan Tuhan, karena Tuhan adalah Kebenaran.
Ini berarti percaya kepada satu Tuhan dalam tiga Pribadi, yaitu Bapa, Putra,
dan Roh Kudus.
Melalui
wahyuNya, Tuhan yang tidak kelihatan dengan cinta kasihNya, menyapa manusia
sebagai sahabat-sahabatNya dan bergaul dengan mereka. Tuhan mengundang manusia dalam
persekutuan dengan diriNya dan menyambut mereka di dalamNya (Dei Verbum 2). Jawaban untuk undangan itu ialah iman. Melalui
iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Tuhan. Dengan
segenap pribadinya, manusia menyetujui Tuhan yang mewahyakan diri (bdk., DV 5) Kitab
Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu
sebagai ketaatan iman (bdk., Rm 1:5;
16:26)
Iman
adalah anugerah adikodrati dari Tuhan. Supaya percaya, manusia membutuhkan
pertolongan batin dari Roh Kudus. Beriman adalah kegiatan manusia yang sadar
dan bebas, yang sesuai dengan martabat pribadi manusiawi. Beriman adalah satu
kegiatan gerejani. Iman Gereja mendahului iman kita, memberi kesaksian,
menopang dan memupuknya. Kita mengimani segala sesuatu dalam Sabda Tuhan yang
diwariskan oleh Gereja sebagai kebenaran yang diwahyukan Tuhan. Iman itu perlu
untuk keselamatan. Tuhan sendiri berkata, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum" (Mrk 16:16).
(bdk., KGK 180-184)
Hanya dengan rahmat Roh Kudus, manusia mampu percaya. Walaupun demikian, iman adalah satu kegiatan manusiawi. Percaya kepada Tuhan dan menerima kebenaran-kebenaran yang diwahyukan olehNya, tidak bertentangan dengan kebebasan dan pikiran manusia. Dalam iman, manusia memberikan tanggapan kepada Tuhan yang mewahyukan, berupa ketaatan pikiran, kehendak yang utuh dan dengan demikian masuk ke dalam persekutuan yang mesra denganNya. (KGK 154-155)
Menghidupkan Iman
Paus Benediktus XVI melalui Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Kepada Iman) telah mengumumkan Tahun Iman. Tahun Iman telah dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012 dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam pada tanggal 24 November 2013. Tahun lalu, dalam perbicangan dengan salah seorang kepala Program Radio Vatikan, Paus telah menjelaskan mengapa perlu merayakan Tahun Iman. Paus menggunakan serangkaian kata kerja aktif, seperti memberi, melakukan, menguatkan, menyumbangkan dan tentu saja, mengumumkan. Dalam pembicaraan tersebut, Paus ingin memberikan dorongan baru bagi Gereja. Hal ini diungkapkannya sekali lagi dalam kotbah Angelus ketika Paus menekankan tujuan Tahun Iman sebagai sesuatu yang bersifat aktif atau membuat iman lebih baik lagi. Hal itu yang dimaksud dengan menghidupkan kembali iman.
Gagasan menghidupkan iman itu tampak jelas dalam Surat Apostolik Porta Fidei, berupa ajakan Paus untuk menemukan kembali iman yang benar, melalui pertobatan, membaharui iman lewat pewartaan, renungan, pernyataan iman yang sadar dan tak ketinggalan mewujudkannya dalam tindakan iman. Paus menyebutkan bahwa menemukan iman yang benar itu melalui aneka sarana seperti Katekismus Gereja Katolik, memupuk iman dengan liturgi, sakramen, ajaran iman serta mengenal kesaksian para Kudus, Yesus dan Bunda Maria. Tidak hanya itu, Tahun Iman menjadi kesempatan yang baik untuk menguatkan kesaksian amal kasih, sebagai tindakan iman. Karena sebagaimana kata-kata Santo Yakobus. “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (bdk., Yak 2: 17). (Surabaya Post, 2 November 2012)