Pages

Tuesday, January 07, 2003

Natal Menyongsong Pasar Bebas, Makin Banyak Orang Miskin


Perayaan Natal selalu mengingatkan kehadiran Yesus Sang Pemerdeka umat manusia, Allah yang hadir dalam rupa manusia dina yang penuh komitmen untuk membawa keselamatan dan pemerdekaan manusia, khususnya kaum miskin, lemah dan hina dina.

Dalam konteks seperti itulah, pesan Natal tahun ini agaknya harus disikapi dengan merenungkan kembali semangat memerdekakan kaum miskin papa, dan hina dina, mereka yang kurang beruntung dan tertindas berkait dengan akan diberlakukannya liberalisasi ekonomi pada tahun 2003 lewat perdagangan bebas di kawasan ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA).

Pasar bebas ASEAN yang sudah berkali-kali ditunda itu pada akhirnya memang tidak bisa dielakkan. Akan tetapi, sungguhkah pasar bebas yang menjadi trend di era globalisasi ini mampu menjawab kebutuhan untuk menyejahterakan umat manusia.

Sindhunata, (Basis, No. 3-4, Maret-April 2002) menyebutkan asumsi bahwa pasar bebas hanya akan membawa kesejahteraan bagi kelompok kecil manusia sekaligus mewujudkan sistem yang mempermiskin kaum miskin dalam jumlah lebih banyak.

Sisi negative pasar bebas telah mengakibatkan pekerja sebuah pabrik sepatu di-PHK (pemutusan hubungan kerja) pada akhir bulan November lalu. Para buruh pabrik PT Sony Elektronik Indonesia juga mulai cemas mendengar kabar akan dialihkannya pabrik ke Malaysia. Sejumlah buruh dikabarkan sampai shock mendengar kabar itu (Kompas, 28/11/2002).

Keadaan itu sungguh memilukan bila dikaitkan dengan kerinduan sebagian besar warga Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan demi mencukupi kehidupannya. Semakin sedikit dan tertutupnya peluang kerja di sektor lain juga berpengaruh pula pada kaum petani dan buruh tani untuk “naik kelas”

Teori pasar bebas oleh Adam Smith, penggagasnya, secara ontologis dan moral memang mewujudkan kebebasan kodrati dan keadilan. Dari sudut pandang teori utiliter, pasar bebas adalah sistem sosial yang paling baik karena memungkinkan setiap individu memenuhi keinginan kodrati manusia sekaligus membuat keadaan lebih baik.

Dalam kaitannya dengan efisiensi ekonomi, sistem ini memungkinkan seorang pekerja memiliki posisi yang kuat jika pemerintah menjalankan fungsinya secara efektif dan adil.

Sedangkan Friedrich A Von Hayek mengatakan bahwa pasar bebas berfungsi di bawah hukum kodrat atau yang khas disebutnya sebagai nomos (prinsip keadilan yang tidak merugikan orang lain). Di bawah keadilan, akan terwujud keuntungan timbal balik secara spontan dan kesempatan yang sama bagi pelaku ekonomi sehingga memperbaiki kondisi setiap orang.

Akan tetapi, mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik jika tidak ada usaha mempertahankan suatu kesetaraan. Padahal distribusi awal dari asset-aset untuk suatu periode tertentu akan sangat dipengaruhi oleh keadaan alamiah dan sosial yang tidak sama. Inilah yang memunculkan pendapat bahwa pasar bebas justru menimbulkan ketidakadilan.

Kaum miskin, dina dan lemah dengan mudah akan tersingkir. Meskipun kondisi sosial yang kebetulan tadi telah diperbaiki, tidak lalu berarti pasar bebas dengan sendirinya akan mendistribusikan kekayaan ekonomi secara sama. Justru bisa muncul kepincangan baru.

Sisi negative pelaksanaan pasar bebas sebenarnya telah terjadi setelah AFTA 2003 mengalami penundaan sekian lama. Transisi yang lama dianggap sebagai persiapan negara-negara ASEAN masuk dalam pasar bebas. Akan tetapi, jangka waktu yang lama dapat menjadi bumerang karena lamanya waktu membuat negara-negara terlena dengan praktik-praktik proteksionisme, monopoli dan subsidi yang mengakibatkan ketidakadilan.

Akibatnya, ketika pasar bebas tiba, belum ada kesiapan yang mendasar dari negara-negara tersebut untuk menjadi pemain inti dalam pasar bebas. Pelaksanaan AFTA 2003, dapat menjadi ancaman bagi negara-negara anggotanya.

Perbedaan budaya dalam berbisnis di antara anggota AFTA juga menimbulkan ketidakmampuan untuk mencapai suatu taraf yang sama. Indonesia dengan latar belakang budaya agrarianya akan tertinggal dengan negara lain yang lebih berpengalaman dalam perdagangan internasional.

Di Indonesia, ribuan wiraswastawan bermodal kecil kesulitan mendapat pinjaman karena dalih kalkulasi untung atau rugi. Para nelayan kelas teri tidak kebagian ikan yang dikeruk pemodal dengan alat canggih, para pekerja mendapat upah yang amat rendah sehingga tak cukup untuk hidup layak.

Sementara itu transformasi teknologi dari negara maju ke negara berkembang mengakibatkan proses yang tidak efektif karena dioperasikan oleh pekerja berupah rendah, bahkan cenderung polutif, teknologi pun berdampak mengurangi kesempatan kerja.

Sedangkan subsidi untuk rakyat kecil dicabut demi ideologi liberalisasi dan privatisasi, sementara kaum kapitalis bekerjasama dengan pemerintah otoriter yang kebanyakan korup, memonopoli sumber daya alam yang mengakibatkan polusi, bencana alam, penggusuran serta pemiskinan.

Oleh karena itu, Natal kali ini harus berhadapan dengan aneka masalah yang menimpa kaum miskin, dina, lemah yang terjadi saat ini maupun kelak ketika negara Indonesia masuk dalam era AFTA 2003. Natal bagaimanapun harus tetap membawa pesan abadi: Allah hadir dalam sosok Yesus untuk membela kaum miskin, dina dan lemah.

Kelahiran Yesus di kandang hina Betlehem membawa pesan, Ia memang lair dalam pangkuan orang miskin, dina dan lemah. Ia mengalami nasib sebagai pengungsi di Mesir akibat kesewenangan kaum kuat kuasa. Kehidupan publik Yesus di Galilea, Samaria dan Yudea diserahkan kepada mereka yang justru menderita, yang tergusur dan terbuang.

Ia memulai arus baru dalam praksis keagamaan, yaitu merintis praksis beragama yang terarah kepada manusia. Yesus mengangkat nasib manusia, menyembuhkan manusia dari berbagai penderitaan, penyakit, kesewenang-wenangan dan eksploitasi agar manusia mengalami pemerdekaan sehingga sungguh-sungguh menjadi manusia utuh. Karena bagi Yesus, kaum miskin yang lemah lembut, rendah hati dan setia adalah ahli waris Kerajaan Allah (Mat 5:3).

KomitmenNya sebagaimana ditulis oleh Lukas ialah: “Roh Kudus ada padaKu, karena Ia mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberikan pemerdekaan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang tertindas, untuk memberitahukan: tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19).

Hal itulah yang dalam refleksi Mangunwijaya disebutkan bahwa bagi Yesus, ketuhanan dan kemanusiaan merupakan hal yang tak terpisahkan. Yesus mengajak manusia memiliki pegangan bahwa yang terutama bukan agama, melainkan sikap dasar, orientasi dasar, semangat dasar dan religiositas dasar.

Peringatan Natal kali ini menantang kita semua untuk mewujudnyatakan teladan Yesus dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi memasuki era AFTA 2003, di mana telah dan akan lebih banyak orang yang menjadi miskin, dina, dan lemah dibandingkan yang sejahtera.

Patutlah kita meneladani Yesus yang solider dengan kaum miskin, menghayati sikap anawim yang mempercayakan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan, mengambil sikap kemiskinan sukarela sebagai wujud solidaritas kepada kaum miskin sekaligus bentuk protes terhadap praktik penindasan. Suatu sikap paradoks dan anti kasih jika yang muncul justru sikap tak peduli.

Kaum miskin sendiri harus disadarkan bahwa situasi kemiskinan dapat diubah dengan perjuangan gotong-royong mereka sendiri. Upaya menjalin kerjasama antara mereka yang kuat kuasa dan mereka yang miskin, dina, lemah perlu ditingkatkan.

Bentuk konkretnya dapat berupa pemberian upah yang memungkinkan seorang pekerja hidup layak, perlindungan hak asasi manusia, penegakkan hukum demi menindak oknum-oknum yang mencari keuntungan sendiri, subsidi untuk rakyat kecil yang bukan hanya suatu sikap membari ikan belaka, tetapi beserta kailnya, kesadaran meningkatkan produktifitas dna menjalankan ugahari untuk menjauhi sikap tamak dan korup.

Pendek kata, berupaya memerdekakan manusia dari segala hal yang merusak tatanan Tuhan, agar manusia menjadi manusiawi dan mengalami kepenuhan secara pribadi maupun sosial.

Jika hal-hal positif tersebut ditumbuhkembangkan, niscaya hakikat kehadiran Yesus menemukan bentuknya yang nyata. (Kompas Edisi Jatim, 24 Desember 2002)