Ada kisah menarik ketika tahun lalu saya bersama penggurus Dewan Pastoral Paroki berkunjung ke lingkungan-lingkungan (kelompok-kelompok basis umat). Ada lingkungan yang menyambut kedatangan kami dengan hangat, satu sama lain anggotanya kelihatan saling mengenal, canda tawa terdengar menjadi penyegar suasana, apalagi jumlah anggota yang hadir banyak. Aneka masalah, kritik dan saran seakan mudah disampaikan dan diselesaikan dalam kebersamaan dan saling pengertian.
Namun ada pula lingkungan yang tampak dingin, para anggotanya tampak kurang saling mengenal, entah jarang berkumpul atau jarang bertegur sapa, suasana begitu kaku tanpa canda tawa, jumlah anggota yang hadir pun tak sebanyak jumlah yang sebenarnya. Persoalan atau keluhan yang ada disampaikan dengan nada tinggi dan penuh emosi, lebih tampak kesan saling menyalahkan daripada memahami satu sama lain.
Dari dua suasana yang berbeda itu tampak sekali kelompok mana yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang kuat dan kelompok mana yang tidak. Guyub merupakan kata dasar dari paguyuban. Paguyuban artinya, masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang sangat kuat. Tanda-tandanya antara lain, satu sama lain anggota menampakkan pertemanan atau persahabatan yang rukun, satu sama lain bergaul sebagai teman yang ramah, satu sama lain berhubungan simpatik, tak ada permusuhan, justru ada kecenderungan untuk saling membantu dan mendukung.
Dalam suasana yang guyub ada kerukunan atau harmoni. Kerukunan itu berarti suasana damai, tidak ada pertengkaran. Kerukunan itu berarti pula ada perasaan satu hati, ada kesepakatan. Itulah mengapa dalam struktur masyarakat di Indonesia ada istilah rukun tetangga dan rukun warga. Maksudnya tidak lain agar di dalam kelompok masyarakat itu tercipta damai, ada perasaan satu hati, ada kesepakatan bersama dan menghindari pertengkaran. Jika toh ada pertengkaran, maka yang perlu dilakukan oleh seluruh anggota kelompok itu ialah usaha untuk merukunkan, menjadikan rukun dan mendamaikan kembali, sehingga kelompok itu bersatu hati lagi dan menjauhi sikap saling bermusuhan. Kelompok yang rukun ditandai dengan semacam perjanjian dalam perasaan, sikap atau tindakan setiap anggotanya untuk gembira hati membangun kebersamaan sehingga yang terjadi adalah hal-hal yang menyenangkan bagi semua anggotanya.
Satu kelompok yang guyub akan bisa melakukan apapun. Suatu kelompok yang memiliki jiwa satu hati dan satu tubuh akan mampu mencapai apa yang menjadi tujuan bersama. Seberat apapun rintangan, jika dihadapi oleh kelompok yang guyub, satu hati dan satu tubuh maka akan dapat teratasi dengan baik. Kelompok yang guyub niscaya mengalami proses pembentukan kelompok. Ada proses saling mengenal, ada proses saling belajar, ada trial dan error dalam kebersamaan, ada pengalaman dalam kebersamaan yang dirasakan manfaatnya dan saling memiliki komitmen demi kelompok yang satu. Jadi betapa berharganya keguyuban dalam kelompok.
Begitu berharganya keguyuban dalam paguyuban itu hendaknya menjadi perhatian bagi siapapun untuk menghidupi kelompoknya. Kelompok hendaknya dilihat kembali sebagai salah satu cara baru dalam hidup dalam masyarakat. Kelompok sebagai komunitas di mana setiap orang mengalami secara pribadi kebersamaan. Komunitas di mana setiap orang memainkan peranan aktif dan didorong untuk ambil bagian dalam tugas bersama. Komunitas yang didasari nilai-nilai kasih, peduli, pertemanan yang rukun, ramah, simpatik, saling membantu dan mendukung.
Di dalam Gereja Katolik, komunitas basis digambarkan sebagai komunitas yang berdoa, disatukan oleh Sabda Tuhan dan saling mensharingkan Injil, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, saling mendukung dan bekerja sama, serta bersatu sehati dan sepikiran. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, mendefinisikan komunitas basis sebagai satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan Sabda Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya dalam terang Sabda Tuhan. Tidak hanya itu, umat diharapkan juga terbuka untuk membangun komunitas insani dengan saudara-saudari yang beriman lain. Dengan demikian, cara baru hidup menggereja dan memasyarakat melalui komunitas basis ini membantu menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik.
Kesadaran akan kebersamaan dengan orang lain, dengan umat beragama lain merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi siapapun untuk menggalang keguyuban, kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama dan umat kepercayaan yang ada di Indonesia, sebagai model dalam hubungan sosial. Keguyuban, kerukunan dan persaudaraan itu akan menghasilkan kerukunan sebagai prinsip hubungan sosial. Maka dalam kebersamaan perlu diupayakan menjaga moralitas hidup yang baik, yang ditandai dengan kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan luhur dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hidup bersama dalam masyarakat. Sebagaimana disebut dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Pepatah Jawa mengatakan, guyub rukun agawe sentosa, yang artinya keguyuban, kebersamaan, kerukunan akan membuat atau menciptakan kesejahteraan. Tanpa keguyuban dan kerukunan, mustahil masyarakat Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune) yang adil makmur dan merata, terutama dalam pilihan mengutamakan mereka yang miskin. Maka, hal terbaik yang perlu dilakukan ialah sadar untuk kembali menghidupi kelompok, komunitas atau paguyuban di dalam struktur masyarakat, di dalam rukun tetangga dan rukun warga masing-masing, dengan kehadiran dalam kebersamaan, saling mengenal, mengusahakan pertemanan atau persahabatan yang rukun. Satu sama lain bergaul sebagai teman yang ramah, berhubungan dengan simpatik, saling membantu dan mendukung, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya. (Surabaya Post, 21 Januari 2011)
Namun ada pula lingkungan yang tampak dingin, para anggotanya tampak kurang saling mengenal, entah jarang berkumpul atau jarang bertegur sapa, suasana begitu kaku tanpa canda tawa, jumlah anggota yang hadir pun tak sebanyak jumlah yang sebenarnya. Persoalan atau keluhan yang ada disampaikan dengan nada tinggi dan penuh emosi, lebih tampak kesan saling menyalahkan daripada memahami satu sama lain.
Dari dua suasana yang berbeda itu tampak sekali kelompok mana yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang kuat dan kelompok mana yang tidak. Guyub merupakan kata dasar dari paguyuban. Paguyuban artinya, masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang sangat kuat. Tanda-tandanya antara lain, satu sama lain anggota menampakkan pertemanan atau persahabatan yang rukun, satu sama lain bergaul sebagai teman yang ramah, satu sama lain berhubungan simpatik, tak ada permusuhan, justru ada kecenderungan untuk saling membantu dan mendukung.
Dalam suasana yang guyub ada kerukunan atau harmoni. Kerukunan itu berarti suasana damai, tidak ada pertengkaran. Kerukunan itu berarti pula ada perasaan satu hati, ada kesepakatan. Itulah mengapa dalam struktur masyarakat di Indonesia ada istilah rukun tetangga dan rukun warga. Maksudnya tidak lain agar di dalam kelompok masyarakat itu tercipta damai, ada perasaan satu hati, ada kesepakatan bersama dan menghindari pertengkaran. Jika toh ada pertengkaran, maka yang perlu dilakukan oleh seluruh anggota kelompok itu ialah usaha untuk merukunkan, menjadikan rukun dan mendamaikan kembali, sehingga kelompok itu bersatu hati lagi dan menjauhi sikap saling bermusuhan. Kelompok yang rukun ditandai dengan semacam perjanjian dalam perasaan, sikap atau tindakan setiap anggotanya untuk gembira hati membangun kebersamaan sehingga yang terjadi adalah hal-hal yang menyenangkan bagi semua anggotanya.
Satu kelompok yang guyub akan bisa melakukan apapun. Suatu kelompok yang memiliki jiwa satu hati dan satu tubuh akan mampu mencapai apa yang menjadi tujuan bersama. Seberat apapun rintangan, jika dihadapi oleh kelompok yang guyub, satu hati dan satu tubuh maka akan dapat teratasi dengan baik. Kelompok yang guyub niscaya mengalami proses pembentukan kelompok. Ada proses saling mengenal, ada proses saling belajar, ada trial dan error dalam kebersamaan, ada pengalaman dalam kebersamaan yang dirasakan manfaatnya dan saling memiliki komitmen demi kelompok yang satu. Jadi betapa berharganya keguyuban dalam kelompok.
Begitu berharganya keguyuban dalam paguyuban itu hendaknya menjadi perhatian bagi siapapun untuk menghidupi kelompoknya. Kelompok hendaknya dilihat kembali sebagai salah satu cara baru dalam hidup dalam masyarakat. Kelompok sebagai komunitas di mana setiap orang mengalami secara pribadi kebersamaan. Komunitas di mana setiap orang memainkan peranan aktif dan didorong untuk ambil bagian dalam tugas bersama. Komunitas yang didasari nilai-nilai kasih, peduli, pertemanan yang rukun, ramah, simpatik, saling membantu dan mendukung.
Di dalam Gereja Katolik, komunitas basis digambarkan sebagai komunitas yang berdoa, disatukan oleh Sabda Tuhan dan saling mensharingkan Injil, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, saling mendukung dan bekerja sama, serta bersatu sehati dan sepikiran. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, mendefinisikan komunitas basis sebagai satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan Sabda Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya dalam terang Sabda Tuhan. Tidak hanya itu, umat diharapkan juga terbuka untuk membangun komunitas insani dengan saudara-saudari yang beriman lain. Dengan demikian, cara baru hidup menggereja dan memasyarakat melalui komunitas basis ini membantu menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik.
Kesadaran akan kebersamaan dengan orang lain, dengan umat beragama lain merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi siapapun untuk menggalang keguyuban, kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama dan umat kepercayaan yang ada di Indonesia, sebagai model dalam hubungan sosial. Keguyuban, kerukunan dan persaudaraan itu akan menghasilkan kerukunan sebagai prinsip hubungan sosial. Maka dalam kebersamaan perlu diupayakan menjaga moralitas hidup yang baik, yang ditandai dengan kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan luhur dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hidup bersama dalam masyarakat. Sebagaimana disebut dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Pepatah Jawa mengatakan, guyub rukun agawe sentosa, yang artinya keguyuban, kebersamaan, kerukunan akan membuat atau menciptakan kesejahteraan. Tanpa keguyuban dan kerukunan, mustahil masyarakat Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune) yang adil makmur dan merata, terutama dalam pilihan mengutamakan mereka yang miskin. Maka, hal terbaik yang perlu dilakukan ialah sadar untuk kembali menghidupi kelompok, komunitas atau paguyuban di dalam struktur masyarakat, di dalam rukun tetangga dan rukun warga masing-masing, dengan kehadiran dalam kebersamaan, saling mengenal, mengusahakan pertemanan atau persahabatan yang rukun. Satu sama lain bergaul sebagai teman yang ramah, berhubungan dengan simpatik, saling membantu dan mendukung, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya. (Surabaya Post, 21 Januari 2011)