Pages

Sunday, March 27, 2011

Menghadirkan Wajah Gereja Di Dunia

Karitas merupakan lembaga di dalam Gereja yang bekerja untuk menghadirkan wajah sosial Gereja di dunia. Dengan kata lain, aktualisasi iman Kristiani mendapatkan bentuk rupanya pada kegiatan Karitas. Karena itu, dengan sendirinya Karitas memiliki konsekuensi bahwa semua karyanya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ajaran sosial Gereja (ASG).

Seperti diketahui, kompendium ajaran sosial gereja menyebutkan bahwa ia merupakan roh, spiritualitas dan menjadi jiwa bagi karya kasih kemanusiaan. Itulah sebabnya Gereja didorong untuk memberikan kesempatan pembelajaran dan pekan-pekan khusus kepada umat agar semangat ajaran sosial Gereja menjadi dasar bagi semua aktivitas sosial mereka.

Dari titik tolak ini, menarik untuk mengetahui, seberapa mesra bentuk hubungan antara Karitas India dengan ajaran sosial Gereja? Apakah Karitas India menganggap, setiap aktivitas mereka bertujuan utama untuk menyebarluaskan ajaran sosial Gereja? Atau, justru pemikiran karena di dalam karya merupakan perwujudan ajaran sosial Gereja sehingga tidak perlu membawa nama ASG secara tersurat? Dan yang tak kalah menarik, karena penyebarluasan ASG itu identik dengan kekatolikan, kitab suci dan dokumen-dokumen Gereja, bagaimana strategi sosialisasinya untuk masyarakat yang non-Katolik?

Metamorfosis Peran

Pagi itu, belum ada aktivitas berarti di kantor Karitas Nasional yang terletak di kompleks kantor Konferensi Waligereja India, di bilangan Ashok Place (Gole Dakhana), New Delhi, India. Semua pegawai sudah berdatangan, namun mereka belum memulai bekerja. Tepat pukul 09.00, tanpa dikomando, semua penghuni kantor itu bersiap-siap untuk berdoa bersama. Renungan singkat dan kutipan Kitab Suci juga tak ketinggalan dibacakan. Suasananya sungguh khusyuk. Padahal, tak semua pegawai di kantor itu beragama Katolik. Mereka berjajar satu deret, berkeliling membentuk lingkaran besar memenuhi ruangan. Salah satu di antara mereka memulai dengan mengajak menyanyikan lagu penuh khidmat, ”Give me Oil for my Lamp, Keep me burning. Give me Oil for my lamp I pray…”. Seusai lagu disambung dengan doa pembukaan, kembali menyanyikan pujian dan mendengarkan bacaan Kitab Suci. Semua hening mendengarkan renungan singkat yang diberikan oleh salah satu peserta.

Begitulah. Doa pagi adalah tradisi untuk mengawali hari. Mungkin kesannya sepele, namun lewat kegiatan yang sederhana inilah Karitas India seperti meneguhkan, bahwa pendalaman spiritualitas tidak pernah mereka tinggalkan. Kegiatan spiritualitas tidak diletakkan dalam menara gading, melainkan melebur dalam praksis sehari-hari.

Harus diakui, usia 40 tahun telah memungkinkan Karitas India menemukan bentuk geraknya. Harus juga diakui, sejarah perjalanan yang panjang telah mengubah mereka sehingga mendapatkan bentuknya seperti sekarang. Karitas India pada awalnya lebih mengutamakan karya. Penyebarluasan ajaran sosial Gereja bukan tugas utama mereka. Karitas justru sebagai institusi yang bergerak ke luar, masuk ke dalam dunia yang profan seraya menghadirkan wajah kasih Gereja.

Meskipun tampak berjarak dengan ASG, sebetulnya nilai-nilai ajaran sosial Gereja, khususnya kasih dan solidaritas, diwujudnyatakan dalam praktik sehari-hari Karitas India. Selain berdoa bersama, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan Karitas yang telah mendapatkan beragam pembekalan ilmu-ilmu profan, tetap mendapatkan pendalaman spiritualitas ASG. Sosialisasi nilai-nilai ASG diberikan pertama-tama kepada seluruh unsur pegawai Karitas, sejak dari dari posisi tertinggi hingga tingkat state officer (perpanjangan tangan Karitas India di tingkat regional). Tanpa pandang bulu, mereka semua mendapatkan pembinaan spiritualitas dalam rupa pembekalan rohani maupun retret.

Berkunjung ke kantor mereka seperti di kantor Karitas Nasional dan di kantor Komunitas Sosial Keuskupan Madurai, Tamilnadu, aura kesederhaan dengan mudah terasa. Penampilan para pegawai tidak berlebihan. Begitupun suasana kantornya yang dihiasi berbagai ornamen khas Katolik yang tidak mencolok. Namun, dalam soal penguasaan bidang kerja, jangan dipertanyakan. Para pegawai sangat menguasai bidang kerja mereka. Mereka bisa dengan lancar menjelaskan setiap pertanyaan mengenai apa saja yang mereka lakukan dan sistem apa yang mereka pakai dalam kagiatan harian. Dan yang tak kalah penting, Karitas India juga menerapkan pelaksanaan prosedur kerja yang teratur, transparan dan dapat ditanggung gugat. Mereka juga melibatkan orang yang termarginalisir secara kasta, agama dan gender, baik dalam struktur organisasi maupun dalam pendampingan untuk kelompok dampingan.

Berbicara soal pendampingan, perjuangan atau isu yang ditampilkan identik dengan perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan umum. Dan hal itu tidak terbatas untuk warga seiman. Salah satu perjuangan mereka adalah mendorong keterlibatan kaum perempuan yang tertindas secara kasta agar bisa hidup lebih baik. Caranya, tim pendamping Karitas menganimasi supaya salah seorang dari mereka berani memimpin. Tentu saja membuat kaum wanita yang terbiasa di belakang itu berani tampil di depan bukan pekerjaan mudah. Ada proses panjang yang harus dijalani sebelumnya. Biasanya, setiap kali hadir dalam pertemuan kelompok target dampingan, tim Karitas akan mengawali dengan pengorganisasian warga. Lalu, kelompok tersebut diajak untuk menabung. Menabung merupakan contoh nyata bahwa bila kaum perempuan ingin hidupnya lebih sejahtera, mereka harus memberdayakan dirinya.

Ternyata, sistem menabung yang dikembangkan itu ’berbuah’ lebih banyak. Menabung bukan hanya menjadi sarana pemersatu warga, juga menjadi bentuk nyata swadaya warga untuk mendukung sebuah kegiatan. Terbukti sudah, bahwa suatu awal yang sederhana itu kemudian menjadi tabungan yang lebih tertata yang dijalankan dengan disiplin. Dari tabungan ini para anggota dapat mengakses dana, baik untuk kebutuhan mendesak maupun kebutuhan produktif, untuk modal usaha misalnya.

Dalam pengorganisasian kelompok dampingan, keterlibatan warga yang didampingi mendapat tempat penting. Dengan berpegang pada prinsip subsidiaritas, pengambilan keputusan dilakukan oleh warga. Pegawai Karitas bertindak sebagai animator saja. Peran ini juga merupakan hasil metamorfosis. Bila ditelusuri kembali, pada tahun-tahun pertama Karitas India, pegawai Karitas berfungsi sebagai pekerja sosial. Di masa lalu, pegawai Karitas India menjadi pekerja sosial. Mereka menjadi pedamping yang datang ke tengah komunitas (go to the people), berperan untuk melakukan intervensi dalam komunitas, mengelola dinamika komunitas, mendampingi komunitas dengan tidak mengenal waktu.

Begitu banyak peran yang disandang, tak mengherankan bila akhirnya masyarakat memandang sosok pendamping sebagai “orang serba tahu”. Mereka menjadi guru sekaligus memberi contoh, memberikan pelatihan secara formal dan informal sesuai kebutuhan, menganalisa dan membuat keputusan, mengatur administrasi keuangan dan sebagainya.

Setelah beberapa tahun, pegawai Karitas India menjalankan peran sebagai fasilitator, yaitu pendamping yang berperan mengorganisir komunitas sekaligus agen pembawa perubahan, menganimasi (meleburkan diri ke komunitas), mediasi, negoisasi, mengembangkan kesepakatan bersama, memfasilitasi kelompok, mendayagunakan ketrampilan dan sumber daya serta mengorganisir kegiatan.

Sampai akhirnya, kini pegawai Karitas India berperan sebagai animator, artinya ’hanya’ menjadi pendamping yang memberikan inspirasi, menumbuhkan minat, mengaktivasi dan memotivasi kelompok untuk melakukan tindakan nyata, misalnya: pertemuan kelompok, menumbuhkan usaha bersama secara partisipatif dan menumbuhkan lembaga lokal di tengah komunitas. Pendamping mendampingi komunitas secara bertahap agar komunitas semakin partisipatif, mandiri dan berkelanjutan sehingga komunitas menjadi lebih berdaya (self-reliance) menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Perubahan peran pegawai Karitas India berlangsung secara bertahap, melewati kurun waktu 4 dekade bersamaan dengan perubahan strategis organisasi. Pada awal berdirinya periode 1962-1976, Karitas India menjadi organisasi yang belajar seraya memperkuat kelembagaan. Pada periode transisi, 1977-1982, Karitas India mengambil langkah-langkah definitif menuju perubahan visi, menciptakan kesadaran dan mempersiapkan perubahan Karitas Keuskupan dari karya amal dan bantuan karitatif menuju karya pembangunan (project development).

Pada periode 1983-1994, Karitas India menegaskan menjadi organisasi animasi. Kesadaran ini muncul karena karya pembangunan bertitik tolak dari manusia dan manusia merupakan sumber daya. Maka, Karitas India meneruskan program pelatihan di berbagai tingkatan dan menyiapkan bahan pembelajaran yang terfokus pada animasi. Badan Pengurus Karitas India, yang tak lain adalah para Uskup dari Konferensi Waligereja India, menghargai upaya ini setelah melewati serangkaian refleksi dan konsultasi, sampai akhirnya menetapkan animasi sebagai kekuatan utama Karitas India dalam karya untuk transformasi masyarakat.

Melintas Perbedaan

Sejak adanya pendampingan Karitas, nilai partisipasi dan demokrasi masyarakat dan kaum awam perlahan tumbuh. Paling nyata terlihat bagaimana kesungguhan warga kelompok dampingan untuk memahami persoalan, menjelaskan situasi awal kehidupan mereka, kehidupan mereka sekarang dan yang akan datang. Setidaknya, mereka kini berani bersuara dan berani bertindak.

Seorang ibu dari komunitas sekitar daerah wisata di Kodaikanal bisa dijadikan contoh. Wanita bertubuh subur dan berpenampilan sederhana itu merupakan pemimpin komunitas dampingan menabung kaum ibu. Sekedar informasi, untuk meyakinkan ibu itu untuk menjadi pemimpin bukan kerja mudah. ”Awalnya, saya tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Apalagi, pekerjaan rumah tangga pun tidak kalah penting. Namun karena semangat maju, semangat belajar serta didukung oleh peran pendamping akhirnya saya memberanikan diri dan mau memimpin,” tuturnya.

Lebih lanjut, ibu tersebut bercerita bagaimana situasi awal mereka sebelum didampingi Karitas sejak tahun 2005. Mereka menghadapi kehidupan sekitar daerah wisata yang identik dengan hura-hura, menghamburkan uang dan pesta. Uang mudah didapatkan, tetapi mudah dikeluarkan untuk aneka kesenangan, sehingga kebutuhan sehari-hari, untuk sekolah dan masa depan anak tidak terpikirkan. Bahkan di antara mereka ada yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, saat menjumpai suami pulang malam dalam keadaan mabuk dan memukul atau saat dimintai uang untuk biaya hidup harian atau biaya sekolah.

Menyimak bagaimana ibu itu mengungkapkan semua kesulitan yang dihadapi, pemecahan masalah yang dilakukan serta aneka istilah yang keluar dari bibirnya (bayangkan, istilah canggih seperti ’peningkatan kapasitas’ dan ’pemberdayaan’ keluar dari bibir seorang ibu sederhana) menunjukkan, ibu itu memahami persoalan dan benar-benar menginternalisasikan pembelajaran yang diperolehnya melalui pengembangan komunitas.

Situasi ini menunjukkan bahwa kaum perempuan yang terpinggirkan pun sesungguhnya memiliki kesadaran untuk mau menjadi pemimpin. Tidak hanya itu, kaum perempuan telah berdaya untuk menyadarkan dan mengorganisir kaum perempuan lain sehingga memiliki kesadaran yang sama untuk memperbaiki kehidupan mereka dalam situasi budaya patriaki India yang menempatkan perempuan sebagai ”nomer dua”.

Di dalam struktur Karitas sendiri juga menunjukkan wajah yang plural. Bahkan di tingkat nasional pun ada pegawai dan para imam yang berasal dari kalangan kasta terbawah. Tak hanya itu, kaum perempuan dan warga non-Katolik juga mendapat tempat dalam jenjang kepangkatan dan kepengurusan organisasi. Dari sini ingin disampaikan bahwa Karitas India itu berada dalam satu perjuangan bersama untuk mengusahakan kesejahteraan umum.

Semangat solidaritas juga menjadi tiang utama Karitas India. Berkenaan dengan nilai solidaritas, jelas sekali bahwa yang ditampilkan Karitas India dalam karya adalah solidaritas kepada mereka yang terpinggirkan, baik secara sistem kasta, agama, gender dan sosial-ekonomi. Solidaritas tersebut juga tampak dalam kerja sama dengan beberapa unsur dalam Gereja. Misalnya di tingkat nasional, regional dan keuskupan, ada isu dan gerak bersama yang sangat dirasakan. Pertemuan-pertemuan rutin di beberapa tingkat tersebut menjadi forum penentuan bersama prioritas pastoral. Dengan prioritas tersebut, maka dukungan solidaritas di beberapa tingkatan Gereja bahkan hingga tingkat antar komisi dapat semakin kuat.

Solidaritas terlihat jelas dalam kegiatan pengumpulan dana masa Pra-Paskah, penentuan isu bersama, gerakan bersama di semua tingkat Gereja. Meski gaji mereka tidak besar, beberapa orang yang bekerja di Karitas juga memberikan sepuluh persen dari pendapatannya untuk mendukung karya yang sedang dijalankan. Dengan solidaritas itu, proyek-proyek mikro dapat didukung secara finansial oleh kelompok regional atau Keuskupan setempat dan tidak perlu mengajukan sampai ke Karitas nasional.

Selain itu semua, penyebaran nilai-nilai sosial Gereja dengan cara yang sangat cair juga dilakukan. Antara lain melalui penerbitan bahan penuntun kerja, poster untuk internal Gereja, atau kerjasama dengan Komisi Komunikasi Sosial lewat red nose theatre (model teater yang menggelar pertunjukan di komunitas dengan membawa misi penyadaran).

Seni teater menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai yang relevan dengan keadaan masyarakat. Cara ini menjadi alat komunikasi yang efektif dengan warga kelompok target untuk menyebarluaskan isu secara lebih halus namun mengena. Seperti kisah yang ditampilkan red nose theater kelompok dampingan lain di Kodaikanal siang hari itu. Mereka bercerita mengenai realita masyarakat setempat.

Situasi masyarakat yang semakin hedonis digambarkan dengan kaum pria suka menghambur-hamburkan uang, minum-minuman keras dan berpesta. Mereka tidak peduli dengan kehidupan rumah tangga. Sementara, istri mengeluh karena uang untuk kebutuhan rumah tangga sangat minim dan anak terlambat membayar uang sekolah. Dalam keadaan terjepit, pemeran suami bertanya secara interaktif kepada para penonton tentang apa yang harus dilakukan. Penonton pun memberi masukan berupa nasehat, gurauan bahkan cemoohan.

Pemeran lain kemudian masuk untuk menawarkan solusi yaitu ajakan untuk bergabung dalam koperasi. Tak hanya itu, nasehat-nasehat yang selaras dengan nilai-nilai sosial gereja seperti perlunya mengusahakan kesejahteraan bersama, solidaritas dan keluhuran martabat manusia juga diberikan sambil meminta konfirmasi penonton secara interaktif. Ada memang keragu-raguan yang muncul, namun kebimbangan itu justru menjadi kesempatan untuk memberi penjelasan dan peneguhan. Akhir dari drama tersebut adalah sikap setuju terhadap ajakan bergabung dalam koperasi, yang berarti sepakat dengan nilai-nilai luhur khas ASG. Seruan para penonton pun memberi dukungan.

Di sini, teater memiliki aneka fungsi. Menjadi media yang menampilkan realita masyarakat, memberi penjelasan alternatif solusi, sekaligus menyemaikan nilai-nilai ASG. Jelas terlihat di sini bagaimana kejelian Karitas India dalam memanfaatkan media komunikasi rakyat yang populer menjadi sarana menanamkan nilai-nilai sosial Gereja yang melewati aneka batasan dan perbedaan, dengan jangkauan yang lebih luas, bagi masyarakat non Katolik.

Bisa Belajar Apa ?

Dari kiprahnya selama ini, Karitas India telah berusaha menebarkan wajah sosial Gereja secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui pendalaman spiritualitas ASG, sosialisasi nilai-nilai ASG kepada seluruh unsur pegawai Karitas, dari posisi tertinggi hingga tingkat state officer (perpanjangan tangan Karitas India di tingkat regional), termasuk pada kesempatan doa bersama harian atau retret. Ajaran sosial Gereja mesti menjadi pijakan dari sebuah karya pembinaan yang intensif lagi berkanjang, khususnya dari kaum awam beriman. Sesuai kompendium Ajaran Sosial Gereja, pembinaan semacam itu hendaknya mengindahkan kewajiban-kewajiban mereka di tengah masyarakat sipil.

Secara tidak langsung, dalam kegiatan pendampingan, isu yang di kedepankan tak lain demi menciptakan kesejahteraan umum. Karena gagasan kesejahteraan umum mencakup semua anggota masyarakat, tak ada satu pun yang dikecualikan dari kerja sama, seturut kemampuan masing-masing orang, dalam menggapai dan mengembangkannya.

Dalam karyanya, Karitas India melibatkan orang-orang dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan yang tidak seiman dan yang terpinggirkan. Hal ini merupakan sebuah pengakuan bahwa jalan cinta kasih terbuka bagi semua orang dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan universal tidak akan percuma.

Karitas India mendorong keterlibatan warga yang didampingi, menumbuhkan partisipasi dan demokrasi, selaras dengan prinsip subsidiaritas. Hal ini berarti warga masyarakat pada setiap tingkatan diberi tahu, didengarkan dan dilibatkan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi yang dikerjakan. Kekuatan Karitas India yang lain mengedepankan nilai solidaritas yang tampak dalam diri para pegawai yang merupakan kesediaan yang lebih besar bahwa mereka adalah orang-orang yang berutang pada masyarakat di mana mereka menjadi bagiannya.

Karitas India pada awalnya mencanangkan karya amal dan bantuan karitatif, lalu berubah melaksanakan karya pembangunan hingga akhirnya menetapkan animasi sebagai kekuatan karya untuk transformasi masyarakat. Perubahan ini penting karena melenyapkan ketidakadilan berarti memajukan kebebasan dan martabat manusia, namun hal pertama yang mesti dilakukan ialah bersandar pada kemampuan spiritual dan kemampuan moral individu dan pada kebutuhan permanen akan pertobatan batin. Beberapa hal itu penting agar kehadiran Karitas dapat menggapai perubahan-perubahan ekonomi dan sosial yang benar-benar akan melayani manusia.

Karitas India pun terus menyemaikan nilai-nilai sosial gereja melalui media alternatif yang melampaui aneka batasan dan perbedaan demi menjunjung harkat dan martabat manusia. Dengan demikian, ASG ditempatkan dalam wawasan pastoral evangelisasi baru yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia, termasuk pewartaan ajaran sosial Gereja.

Dari perjalanan hidup Karitas India selama ini, tentu ada poin-poin penting yang bisa dipetik sebagai pelajaran bagi Karitas Indonesia (Karina). Berikut ini di antaranya:

1. Materi ASG yang relevan selalu dijadikan salah satu bahan dalam kegiatan capacity building, baik di tingkat nasional secara internal/ keuskupan.

2. Unsur Karitas Keuskupan yang langsung kontak dengan kelompok target binaan yang plural, dalam rangka community building, hendaknya menanamkan nilai-nilai universal khas ASG, kesejahteraan umum, solidaritas dan subsidiaritas dalam kemasan yang kontekstual

3. Karina dapat mulai menyegarkan kembali ingatan terhadap pokok-pokok ASG melalui terbitan bahan penuntun, guidelines yang menyertakan penanaman nilai-nilai universal yang disarikan dari ASG

4. Karina di tingkat nasional ataupun keuskupan, dapat bekerjasama dengan komisi-komisi lain (misalnya Komisi Katekese) untuk menerbitkan buku yang mengeksplorasi ASG atau bekerjasama dengan Komisi Komunikasi Sosial untuk merilis video CD dalam kemasan populer, berisi refleksi atas situasi (see), animasi dan sosialisasi ASG (judge) dan panggilan untuk bertindak (act). Misalnya, film tentang situasi kelompok dampingan sejak dari situasi terpuruk mereka hingga berhasil berdaya dan mandiri. Diharapkan pembuatan dan penyebaran kisah sukses semacam ini menggerakkan sebanyak mungkin orang agar terinspirasi untuk berdaya atau memberikan dukungan. (Catatan Exposure Visit Karina ke Caritas India, September 2009)