Pages

Tuesday, September 13, 2011

Ketulusan Berpartisipasi dalam Masyarakat

Ketulusan berpartisipasi dalam masyarakat bisa membawa kedamaian, hal tersebut terungkap dalam Pertemuan Pleno Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan, Keuskupan Se-Indonesia di Bandung, Juli lalu.

Gereja Katolik mengajarkan dalam agama-agama yang ada serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri. Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. (Nostra Aetate, art. 2)

Ketulusan ditekankan oleh Paus Benediktus XVI. Ketulusan itu berarti bahwa karya kasih dan partisipasi dalam masyarakat harus bebas dari kepentingan partai dan ideologis, serta tidak boleh memaksakan iman pada orang lain. Kegiatan amal kasih bukan sarana untuk mengubah dunia secara ideologis, juga bukan demi kepentingan yang bersifat duniawi, tetapi suatu cara menghadirkan kasih yang diperlukan manusia. (Deus Caritas Est, art. 31). Amal kasih jangan dijadikan alat melakukan apa yang disebut proselitisme. Kasih itu cuma-cuma, jangan dijadikan cara untuk mencapai tujuan-tujuan lain (Pedoman Pelayanan Pastoral Uskup Apostolorum Successores, art. 196). Pelaksanaan amal kasih tidak boleh memaksakan iman pada orang lain. (Deus Caritas Est, art. 31)

Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Dr. Rumadi S.Ag, Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Wahid Institut. Beliau mengakui dahulu takut jika bergaul dengan agama lain, karena khawatir kualitas imannya akan terkurangi. Sampai akhirnya beliau sadar bahwa itu tidak benar. Menyinggung perihal permusuhan antaragama, itu bisa dimaklumi karena berdasarkan sejarah, hubungan antar agama kerap kali dikotori oleh kekerasan. Namun hendaknya lembaran hitam itu ditutup dan mulai menatap kehidupan ini bersama dengan yang lain. Beliau mengajak untuk berani berdialog dengan agama lain. Dalam dialog maka mata akan terbuka, melihat banyak jendela untuk memandang keluar dan memahami yang lain. Dialog diawali dengan proses perjumpaan. Kecurigaan terhadap agama lain biasanya berawal dari ketidaktahuan. Dalam dialog harus ada ketulusan. Dialog tidak mesti mencari kesamaan tapi untuk mengetahui perbedaan.

Partisipasi umat beragama dalam masyarakat sangat diperlukan. Umat beragama tidak boleh pasif. Saat ini, tantangan demikian besar, maka umat hendaknya memiliki kesadaran partisipasi untuk memajukan kehidupan bersama. Lagipula, kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dalam aneka persoalan hidup. Karena itu, diperlukan ketulusan partisipasi umat beragama di dalam masyarakat. Tanpa ketulusan, yang ada hanya kecurigaan, konflik kepentingan dan bahkan dapat mengakibatkan konflik dengan kekerasan. Sinergi ketulusan dan partisipasi aktif dari para pemeluk agama dalam dialog karya, akan menampilkan agama yang ramah, yang tidak hanya membawa damai tetapi mencari solusi atas aneka persoalan. Dengan demikian, agama hadir untuk karya nyata demi kehidupan masyarakat yang sejahtera. (Surabaya Post, 5 Agustus 2011).