Pages

Friday, September 16, 2011

Menghormati Nama Tuhan

Seorang kawan pernah menceritakan bagaimana ia merasa kecewa kepada Tuhan. Sejak usaha kedua orang tuanya bangkrut, kemudian membuat mereka berpisah. Ia yang saat itu masih kanak-kanak terpaksa dititipkan kepada kakek dan neneknya. Kepergiaan ayah meninggalkan ibunya, sungguh membuat ibu tak berdaya. Masih terkenang sepintas, bagaimana setiap hari, orang datang menagih hutang kepada ibunya. Keputusan ibu menyerahkan ia dan kedua adiknya ke rumah kakek membuatnya tidak bisa lagi merasakan kasih sayang kedua orang tua, yang masih sangat didambakannya. Sampai sekarang, ia tidak pernah bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia masih bertanya dalam kecewa, mengapa semua harus terjadi ? Mengapa Tuhan tidak memberikan pertolongan kepada ayah dan ibunya ? Itulah alasan yang membuatnya selalu menjelek-jelekkan Tuhan.

Perintah kedua dalam 10 Perintah Allah mengatakan, “Jangan menyebut Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan” (Kel 20:7). Perintah tersebut menetapkan supaya manusia menghormati nama Tuhan. Seperti perintah pertama, hal itu merupakan keutamaan agar manusia menaruh hormat terhadap perkara-perkara yang dianggap suci, kudus atau sakral.

Kitab Wahyu menyebutkan bahwa nama Tuhan diwahyukan. Tuhan mengakukan namaNya kepada mereka yang percaya kepadaNya. Ia menyatakan diri dalam misteri. Maka, apabila seseorang menyebut nama Tuhan, hal itu merupakan karunia dan tanda kedekatan. Karena itu siapapun tidak boleh menyalahgunakan nama Tuhan. Seseorang harus menyimpan dan memahaminya dalam pikiran, dalam diam dan keheningan. Seseorang hendaknya menyebut nama Tuhan demi tujuan untuk memberkati, memuji dan memuliakan Tuhan.

Seseorang yang menghormati nama Tuhan merupakan ungkapan rasa hormat kepada misteri Allah dan kepada seluruh realitas sakral yang ditimbulkannya. Perasaan tentang kekudusan itu sendiri merupakan bagian dari keutamaan agama. Seakan seperti perasaan takut sekaligus kagum di hadapan Tuhan. Inilah perasaan yang identik dengan melihat Tuhan atau sungguh-sungguh menyadari kehadiranNya.

Wujud dari seseorang mengimani keberadaan Tuhan ialah memberi kesaksian tentang nama Tuhan. Karena percaya kepada Tuhan tampak pula dalam pewartaan. Katekese merupakan penanaman agar para pendengar menghormati nama Tuhan. Memang, perintah kedua seakan membatasi bahwa larangan itu hanya untuk penyalahgunaan nama Tuhan. Namun setiap orang diajak menghormati semua orang kudus yang suci dan saleh, termasuk Yesus Kristus, Perawan Maria dan semua orang kudus.

Menghormati nama Tuhan, berlaku pula dalam pengungkapan janji dalam nama Tuhan. Janji yang dibuat untuk diri sendiri maupun dengan orang lain dalam nama Tuhan, mengundang mereka yang mengucapkan janji itu terlibat dalam kehormatan Ilahi, untuk memupuk kesetiaan, menjunjung tinggi kebenaran dan kuasa Tuhan.

Sebaliknya, tindakan menghujat Tuhan secara langsung, bertentangan dengan perintah kedua. Hal ini misalnya, mengucapkan janji yang melawan Allah, baik yang terucap dalam kata-kata, maupun yang tidak terungkap. Misalnya, kata-kata kebencian, celaan, pembangkangan atau berbicara buruk tentang Tuhan. Larangan untuk menghujat Tuhan, meluas kepada larangan menghujat nama Yesus, orang kudus dan hal-hal yang dianggap sakral. Hal ini juga berarti larangan menggunakan nama Allah demi menutupi praktek-praktek kriminal, untuk membenarkan perbudakan, penyiksaan atau untuk menghukum mati. Penyalahgunaan nama Tuhan untuk melakukan kejahatan dapat memprovokasi orang untuk menolak agama. Karena agama ada, bukan untuk membenarkan tindakan kejahatan, namun untuk membawa manusia mengalami keselamatan.

Konsekuensi perintah kedua dalam 10 Perintah Allah ialah melarang sumpah palsu. Tindakan mengambil sumpah berarti memohon Allah sebagai saksi atas tindakan yang dilakukan. Ini berarti memohon kebenaran Ilahi sebagai jaminan kebenaran. Sumpah yang melibatkan nama Tuhan merupakan tanda bahwa seseorang takut akan Tuhan, kesediaan untuk memenuhi perintahNya dengan bersumpah demi namaNya. Jika ternyata sumpah tersebut adalah sumpah palsu, maka harus ditolak. Sebagai Pencipta, Tuhan adalah norma semua kebenaran. Ucapan manusia disebut baik, jika sesuai dengan kehendak Tuhan, yang adalah Kebenaran itu sendiri. Kata-kata manusia disebut benar dan sah, jika hal itu selaras dengan kebenaran Tuhan. Seseorang yang melakukan sumpah palsu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menjaga, memenuhi dan mewujudkan janji tersebut. Sumpah palsu menandakan, seseorang tidak sungguh-sungguh menghormati Tuhan. Seseorang yang berjanji, bahkan dengan sumpah untuk melakukan perbuatan jahat, menentang kekudusan nama Tuhan.

Dalam Kotbah di Bukit, Yesus menjelaskan perintah kedua “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyangmu: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah.” Selanjutnya Yesus mengatakan, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” Yesus mengajarkan bahwa setiap sumpah melibatkan Tuhan dan bahwa kehadiran Tuhan dan kebenaranNya dalam setiap perkataan harus dipegang dengan penuh hormat.

Kekudusan nama Tuhan mengundang seseorang tidak memakai nama Tuhan dengan sembarangan. Juga jika seseorang mengalami kecewa, putus asa atau menderita. Pengalaman tersebut sebaiknya mengarahkan seseorang untuk memahami rancangan Tuhan, dalam diam dan keheningan. Karena nama Tuhan adalah suci, kudus atau sakral. Nama Tuhan hendaknya selalu dipuji dan dimuliakan. Memuji dan memuliakan Tuhan tidak hanya dengan kata-kata, namun juga dengan tindakan nyata. Tindakan nyata itu adalah tindakan yang menghormati martabat manusia dan tidak melawan kekudusan nama Tuhan. (Surabaya Post, 16 September 2011)